SURAU.CO-Tokoh ini lebih terkenal dengan panggilan Abu Ibrahim. Nama lengkapnya adalah Ismail bin Yahya bin Ismail bin Amir bin Ishaq al-Muzani. Kata al-Muzani merujuk pada nama sebuah kabilah di Yaman. Ia lahir di Mesir pada tahun 175 H / 791 M.
Sejak muda, al-Muzani merupakan sosok yang rajin belajar dan haus ilmu. Ketika Imam asy-Syafi‘i tiba di Mesir, ia segera berguru kepada sang Imam dan menjadi salah satu murid utamanya.
Dari ilmu kalam ke ilmu fiqh
Suatu hari, al-Muzani berbicara tentang ilmu kalam di hadapan Imam asy-Syafi‘i. Namun, sang guru menasihatinya agar meninggalkan ilmu kalam dan lebih mendalami ilmu fiqh. Imam asy-Syafi‘i berkata kepadanya,
“Anakku, Muzani, jika kamu mempelajari ilmu kalam, meskipun kamu menemukan kebenaran, kamu tidak akan mendapat pahala. Tetapi jika kamu salah, kamu bisa menjadi kafir. Jika kamu ingin mempelajari ilmu yang ketika benar mendapat dua pahala dan ketika salah tidak berdosa, pelajarilah fiqh.”
Mendengar nasihat itu, al-Muzani berubah haluan. Ia pun menekuni ilmu fiqh dengan penuh semangat dan ketekunan di bawah bimbingan Imam asy-Syafi‘i.
Selain berguru kepada sang Imam, ia juga belajar kepada Nu‘aim bin Muhammad dan beberapa ulama lainnya. Di kemudian hari, al-Muzani memiliki banyak murid terkenal, antara lain Ibnu Khuzaimah, ath-Thahawi, Zakariya as-Saji, Ibnu Shuha, dan Ibnu Abi Hatim.
Kepribadian dan Kecerdasan
Al-Muzani dikenal sebagai ulama cerdas, sederhana, dan rendah hati. Ia bahkan sering menolong memandikan jenazah sebagai cara untuk melembutkan hatinya.
Imam asy-Syafi‘i pernah memujinya dengan berkata,
“Muzani adalah pendukung kuat mazhabku. Jika ia berdebat dengan setan, niscaya ia akan mengalahkannya.”
Rabi‘ bin Sulaiman al-Muradi, sahabat dekatnya, pernah menceritakan pengalaman pribadi:
“Suatu hari, kami duduk bersama dalam majelis Imam asy-Syafi‘i. Saat itu, al-Imam berkata kepadaku, ‘Ingatlah, suatu masa nanti, zaman akan datang kepada Muzani. Ia akan mampu menafsirkannya tanpa kesalahan.’”
Menurut Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muzani adalah seorang zahid, alim, mujtahid, cerdas, dan orator ulung. Ia terkenal pandai berargumen dan sangat tangguh dalam berdiskusi.
Dialog dengan Qadhi Bakkar al-Khanqi
Ketika Qadhi Bakkar al-Khanqi datang dari Baghdad untuk menjabat sebagai hakim di Mesir, ia ingin bertemu langsung dengan al-Muzani. Mereka akhirnya bertemu di rumah seseorang yang sedang sakit keras.
Kepada temannya, Bakkar berpesan, “Tolong, bicaralah dengan al-Muzani tentang persoalan ilmiah. Aku ingin mendengarkan.”
Temannya pun menuruti permintaan itu dan mendekati al-Muzani. Ia bertanya,
“Abu Ibrahim, dalam beberapa hadis Nabi Saw., aku menemukan teks yang mengharamkan nabidz (sejenis minuman fermentasi), namun ada juga hadis yang menghalalkannya. Aku melihat Anda lebih memilih hadis yang mengharamkan. Mengapa demikian?”
Al-Muzani menjawab tegas,
“Tidak ada satu ulama pun yang berpendapat bahwa nabidz pada masa Jahiliah adalah minuman haram, kemudian dihalalkan. Semua sepakat bahwa nabidz adalah halal pada awalnya. Maka, hadis yang mengharamkan nabidz lebih kuat keshahihannya.”
Mendengar jawaban tersebut, Qadhi Bakkar merasa puas dan tidak berkomentar lagi. Sikap diamnya menandakan pengakuan atas ketangguhan argumentasi al-Muzani.
Warisan pemikiran al-Muzani
Banyak pendapat al-Muzani yang berbeda dengan gurunya, Imam asy-Syafi‘i, baik dalam bidang fiqh maupun ushul fiqh. Semua pandangannya dapat ditemukan dalam karya-karya yang ia tulis sendiri.
Sebagian besar bukunya menjadi rujukan penting bagi para pengikut mazhab Syafi‘i. Di antara karyanya yang terkenal adalah: Al-Mukhtashar, Al-Jami‘ al-Kabir, Al-Jami‘ ash-Shaghir, Al-Mantsur, Al-Masā’il al-Mu‘tabarah, At-Targhīb fī al-‘Ilm, Al-Watsaiq, Kitāb al-‘Aqārib, Nihāyat al-Ikhtishār. Selain itu, ia juga menyusun ringkasan kitab Al-Umm karya Imam asy-Syafi‘i yang sangat monumental. Ringkasan tersebut kini dicetak berdampingan dengan kitab induknya, menunjukkan penghargaan tinggi terhadap kontribusinya.
Wafatnya al-Muzani
Al-Muzani wafat di Mesir pada 6 Ramadhan 264 H / 878 M. Mereka menyalatkan jenazahnya di Masjid Amru bin Ash, dengan Rabi‘ bin Sulaiman al-Muradi sebagai imam shalatnya.
Setelah itu, jasadnya mereka makamkan di Qurafah ash-Shughra, berdekatan dengan makam gurunya yang tercinta, Imam asy-Syafi‘i. Ia meninggalkan warisan ilmu yang agung serta teladan kesederhanaan, kecerdasan, dan keteguhan prinsip.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
