SURAU.CO – Isu mengenai “Makan Bergizi Gratis” (MBG) yang diduga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya berdasarkan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) serta prinsip progressive realization (realisasi secara progresif) dan semangat pemajuan dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945, dapat dianalisis dari berbagai dimensi: ontologi, etimologi, terminologi, dan konteksnya dalam pembangunan nasional dan kebijakan anggaran.
Inti dari argumen pelanggaran ini seringkali terletak pada kualitas, aksesibilitas, dan keberlanjutan program, serta potensi retrogression (kemunduran) dalam pemenuhan hak atas pangan yang layak, terutama jika pelaksanaannya tidak memenuhi standar minimum dan mengganggu program sosial-ekonomi yang sudah ada.
Analisis Konsep HAM dan Kewajiban Negara
A. Ontologi (Hakikat)
Secara ontologis, HAM, termasuk Hak Ekosob (seperti hak atas pangan yang layak dan gizi), berakar pada martabat manusia (inherent human dignity). Hak atas pangan yang layak adalah hak fundamental untuk mempertahankan hidup dan kehidupan yang bermartabat.
Implikasi MBG: Jika program MBG, dalam praktiknya, justru menimbulkan masalah kesehatan (misalnya keracunan) atau menyajikan makanan dengan kualitas gizi di bawah standar layak, maka hal itu secara fundamental melanggar hakikat martabat manusia yang seharusnya dijamin oleh negara melalui hak atas pangan yang aman dan bergizi.
B. Etimologi (Asal Kata)
Hak Asasi Manusia (HAM): Hak (kewenangan/milik) yang asasi (dasar/pokok) yang dimiliki oleh manusia karena kemanusiaannya.
Kovenan Ekosob: Merujuk pada hak-hak yang bersifat ekonomi, sosial, dan budaya yang pemenuhannya membutuhkan intervensi aktif dari negara.
Implikasi MBG: Program MBG, dari namanya, bertujuan memenuhi hak dasar (asasi) atas gizi/pangan. Namun, jika pelaksanaannya gratis (pemenuhan oleh negara) tapi tidak bergizi (kualitas) atau tidak aman, maka ia gagal memenuhi makna dasar dari hak tersebut, yaitu memastikan hak hidup yang layak.
C. Terminologi (Istilah)
Kovenan Hak Ekosob dan Prinsip Progressive Realization
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) melalui UU No. 11 Tahun 2005.
Hak Atas Pangan: Pasal 11 ICESCR mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak, termasuk pangan yang memadai. Hak ini mencakup ketersediaan, aksesibilitas, dan kecukupan (gizi dan keamanan).
Progressive Realization (Realisasi Progresif)
Pasal 2 ICESCR menyatakan negara pihak berjanji untuk mengambil langkah-langkah, secara bertahap dan dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia, menuju realisasi penuh hak-hak tersebut.
Kewajiban Pokok Minimum (Core Minimum Obligation): Ada kewajiban segera bagi negara untuk menjamin pemenuhan tingkat minimum esensial dari setiap hak, misalnya memastikan tidak ada seorang pun yang mati kelaparan (jaminan subsistensi minimal).
>>>Non-Retrogression (Non-Kemunduran): Langkah-langkah yang diambil tidak boleh mundur dari tingkat pemenuhan yang sudah dicapai (misalnya mengurangi anggaran pendidikan atau kesehatan secara drastis tanpa pembenaran yang kuat).
Implikasi Pelanggaran MBG:
>>>Jika MBG, meskipun program baru, terbukti tidak memenuhi standar gizi dan keamanan (kewajiban minimum) atau bahkan menimbulkan kerugian kesehatan, ini dapat dianggap sebagai pelanggaran langsung terhadap hak atas pangan yang layak.
>>>Jika anggaran besar-besaran untuk MBG menyebabkan pemotongan anggaran pada program-program Ekosob esensial lainnya yang sudah berjalan dan efektif (misalnya program bantuan gizi balita, kesehatan ibu hamil), ini dapat dianggap sebagai kemunduran (retrogression), yang merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip progressive realization.
>Kata “Pemajuan” Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945
Pasal 28 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.”
Pemajuan (Promotion): Merujuk pada tindakan aktif negara untuk memperluas cakupan dan kualitas pemenuhan HAM. Ini sejalan dengan semangat progressive realization.
Implikasi Pelanggaran MBG: Jika program MBG gagal secara kualitas dan mengganggu program yang lebih efektif, itu tidak hanya gagal dalam “pemenuhan” tetapi juga kontraproduktif terhadap tujuan “pemajuan” HAM, karena berpotensi merusak standar kualitas hidup yang sudah ada atau yang seharusnya dicapai.
Analisis Kontekstual dan Tekstual dalam Pembangunan Nasional dan Kebijakan Anggaran
A. Kontekstual (Konteks Kebijakan)
Dalam konteks pembangunan nasional, kebijakan MBG harus dilihat sebagai upaya mencapai salah satu tujuan pembangunan: meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan gizi.
Perspektif HAM Kontekstual: Pelaksanaan MBG harus holistik (menyeluruh). Pelanggaran terjadi jika MBG dipaksakan tanpa studi kelayakan yang memadai, mengabaikan konteks lokal (kebutuhan gizi spesifik per daerah), dan menimbulkan distorsi pasar pangan atau melumpuhkan inisiatif pemenuhan gizi yang sudah berbasis komunitas dan teruji.
Pelanggaran Kontekstual: Penggunaan MBG sebagai alat politik populis yang mengesampingkan prinsip tata kelola yang baik (akuntabilitas, transparansi, partisipasi) dianggap sebagai pelanggaran HAM kontekstual karena mengorbankan kualitas dan efektivitas pemenuhan hak demi kepentingan non-HAM.
B. Tekstual (Regulasi dan Anggaran)
Secara tekstual, kebijakan anggaran negara (APBN/APBD) harus mencerminkan kewajiban konstitusional dan internasional tentang HAM.
Kewajiban Anggaran: Anggaran yang dialokasikan untuk HAM (termasuk hak atas pangan) harus memadai dan tidak diskriminatif.
Pelanggaran Tekstual
Pengalihan Anggaran (Retrogression): Jika alokasi anggaran MBG yang sangat besar dialihkan dari pos-pos anggaran Ekosob krusial (misalnya jaminan kesehatan, pendidikan, atau program pangan spesifik untuk kelompok rentan seperti ibu hamil dan balita) yang sudah terbukti efektif, maka secara tekstual hal ini melanggar semangat progressive realization dan kewajiban negara untuk memenuhi HAM tanpa diskriminasi.
Efisiensi Anggaran: Jika program MBG dijalankan dengan pemborosan atau ketidakefisienan yang disebabkan oleh korupsi atau salah urus (misalnya penyediaan makanan dengan biaya tinggi tetapi kualitas rendah), maka itu dianggap gagal memaksimalkan sumber daya yang tersedia, sebuah pelanggaran eksplisit terhadap Pasal 2. I CESCR.
Secara ringkas, dugaan pelanggaran HAM oleh program MBG bukan terletak pada niat pemenuhan hak atas pangan itu sendiri, melainkan pada pelaksanaan yang buruk (kualitas/keamanan makanan, potensi keracunan).
Dampak regresif terhadap program Ekosob yang sudah ada, dan kegagalan memenuhi prinsip efisiensi dan transparansi anggaran sesuai dengan semangat progressive realization Kovenan Ekosob dan mandat pemajuan HAM dalam Pasal 28I UUD NRI 1945. (Konsep dan bahan dari berbagai Sumber, Narasi dikembangkan oleh Edi Fakhri, 15-10-2025)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
