SURAU.CO-Tokoh yang biasa dipanggil Abu Ya‘qub atau al-Buwaithi ini sebenarnya bernama Yusuf bin Yahya. Ia bermazhab Syafi‘i dan lahir di dataran rendah wilayah Bani Yusuf. Al-Buwaithi merupakan murid utama Imam asy-Syafi‘i, dikenal sebagai seorang yang saleh dan sangat rajin beribadah. Hari-harinya selalu ia manfaatkan untuk berdzikir kepada Allah Swt. Rabi‘ bin Sulaiman berkata,
“Dua bibirnya selalu bergerak menyebut nama Allah dan tidak pernah berhenti.”
Sebagai murid khusus Imam asy-Syafi‘i, al-Buwaithi sering menggantikan gurunya dalam memberikan fatwa, dan Imam asy-Syafi‘i merestui hal itu. Dalam majelis pengajian sang Imam, ia selalu duduk di tengah, menandakan kedudukannya yang istimewa.
Persaingan penerus Imam asy-Syafi‘i
Ketika Imam asy-Syafi‘i jatuh sakit, para muridnya berdebat mengenai siapa yang pantas menggantikannya bila beliau wafat. Saat hal itu ditanyakan kepada Imam asy-Syafi‘i, beliau menunjuk al-Buwaithi dan berkata,
“Tidak ada seorang pun yang lebih ahli daripada al-Buwaithi.”
Namun, penunjukan itu menimbulkan kemarahan Muhammad bin Abdul Hakam, murid lain yang menjadi saingan berat al-Buwaithi dan berambisi menggantikan sang Imam.
Abu Bakar as-Sukari menceritakan bahwa saat Imam asy-Syafi‘i sakit keras, Muhammad bin Abdul Hakam menantang al-Buwaithi di majelis. Al-Buwaithi berkata,
“Aku lebih berhak menggantikan beliau daripada engkau.” Namun Ibnu Abdul Hakam menimpali, “Akulah yang lebih pantas.”
Pesan Imam asy-Syafi‘i
Ketika perdebatan memanas, datanglah al-Humaidi yang membawa pesan dari Imam asy-Syafi‘i. Ia berkata,
“Al-Imam berpesan bahwa tidak ada orang di majelis ini yang lebih berhak menggantikanku selain Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Tidak ada seorang pun dari sahabat-sahabatku yang lebih pandai darinya.”
Mendengar itu, Ibnu Abdul Hakam dengan marah berkata, “Engkau bohong!” Al-Humaidi pun membalas, “Justru engkaulah yang bohong.” Karena malu, Ibnu Abdul Hakam meninggalkan tempat duduk dekat sang Imam dan berpindah ke lingkaran ketiga. Sejak saat itu, al-Buwaithi tampil menggantikan Imam asy-Syafi‘i dan duduk di kursi gurunya.
Kecemburuan hakim bermazhab Hanafi
Kedudukan dan popularitas al-Buwaithi menimbulkan kecemburuan seorang hakim bermazhab Hanafi bernama Muhammad bin Abu al-Laits. Hakim ini mengajukan protes kepada Khalifah al-Watsiq, yang kemudian memerintahkan agar al-Buwaithi dibawa ke Baghdad.
Dalam perjalanan menuju Baghdad, leher, perut, dan kaki al-Buwaithi diikat dengan rantai besi seberat 40 kilogram. Meski demikian, ia tetap tegar dan berkata,
“Allah menciptakan makhluk-Nya dengan kalimat Kun. Jika kalimat ini diciptakan, berarti ia ciptaan makhluk. Demi Allah, aku akan mati oleh besi yang mengikat ini. Kelak, manusia akan tahu bahwa mereka pun akan mati oleh besi yang mengikat mereka. Jika aku bertemu al-Watsiq, aku akan berusaha meyakinkannya.”
Menolak pandangan penguasa
Sesampainya di Baghdad, al-Buwaithi mendapat perlakuan buruk hanya karena ia menolak ajaran tentang “kemakhlukan al-Qur’an”. Ia menolak mengikuti pandangan penguasa dan harus menjalani hukuman penjara hingga wafat.
Di dalam penjara, setiap kali mendengar azan Jumat, al-Buwaithi segera mandi, mengenakan pakaian bersih, dan memakai minyak wangi untuk shalat. Namun sipir penjara melarangnya keluar dari sel. Ia hanya dapat berdoa lirih,
“Ya Allah, aku memenuhi seruan-Mu, tetapi mereka melarangku.”
Dalam masa tahanannya, al-Buwaithi menulis surat kepada sahabatnya, Rabi‘,
“Sering kali aku tidak merasakan beratnya besi-besi yang melilit tubuhku. Aku merabanya, dan ternyata masih melekat. Jika engkau membaca surat ini, aku berpesan kepadamu: berbuat baiklah kepada orang-orang yang hadir di majelismu, terutama mereka yang datang dari jauh. Aku pernah mendengar guru kita, asy-Syafi‘i, berkata:
Aku hinakan jiwaku sendiri,
Agar mereka mau menghargai jiwaku,
Jiwa takkan pernah terhormat,
Bila ia tak mau merendahkan diri.”
Imam asy-Syafi‘i sendiri pernah menubuatkan akhir hayat muridnya itu,
“Buwaithi, engkau akan mati dalam lilitan besi.” Ucapan itu terbukti benar.
Murid-Murid dan Karya-Karya
Banyak ulama besar belajar kepada al-Buwaithi. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Ismail at-Tirmidzi, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, al-Qasim bin al-Mughirah al-Jauhari, dan Ahmad bin al-Manshur ar-Ramadi.
Pemikiran dan pendapatnya dalam bidang ushul fiqh cukup banyak, dan tersebar melalui karya-karyanya, antara lain: Al-Mukhtashar al-Kabir, Al-Mukhtashar ash-Shaghir, dan kitab al-Faraidh.
Semua karya tersebut ia tulis dengan berpijak pada kaidah dan prinsip ushul fiqh yang kuat. Al-Buwaithi wafat di Baghdad pada tahun 231 H, meskipun sebagian riwayat menyebut 232 H. Ia meninggal sebagai syahid ilmu dan aqidah, tetap teguh pada keyakinannya hingga akhir hayat.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
