Nasional Opinion
Beranda » Berita » Runtuhnya Surau Al-Khoziny: Cermin Empati dan Adab di Tengah Kritik Publik

Runtuhnya Surau Al-Khoziny: Cermin Empati dan Adab di Tengah Kritik Publik

runtuhnya-surau-al-khoziny-refleksi-empati

Runtuhnya Surau Al-Khoziny sebagai refleksi empati sosial dan tanggung jawab pesantren.

Tragedi yang Mengguncang Empati: Lebih dari Sekadar Bangunan Runtuh

Runtuhnya surau di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, bukan sekadar peristiwa fisik yang mematahkan tiang dan menimbun sajadah-sajadah santri. Ia juga mengguncang fondasi batin masyarakat yang menyaksikannya. Dalam sekejap, lantunan doa dari tempat ibadah tersebut berubah menjadi puing dan debu. Namun, lebih dalam dari itu, tragedi ini mengetuk kesadaran kita bahwa setiap bata yang runtuh membawa cerita: tentang harapan, pengabdian, dan perjuangan manusia yang sedang belajar ikhlas.

Lantunan doa bagi para syuhada santri belum selesai terucap, linimasa sudah sesak oleh tudingan dan penghakiman. Nama pesantren dan kiai seolah menjadi tersangka utama dalam narasi digital yang cepat dan beringas. Di negeri yang lebih suka menyimpulkan sebelum memahami, duka sering kehilangan momentumnya. Padahal di balik reruntuhan itu ada air mata para pencari ilmu, ada doa guru yang mungkin belum sempat sempurna, dan ada niat baik yang terhenti oleh takdir.

Namun begitulah wajah zaman: di mana simpati sering kalah cepat dari sensasi, dan empati tenggelam di antara komentar yang ingin terlihat paling tahu. Tragedi Al-Khoziny akhirnya menjadi cermin: apakah kita masih mampu berduka dengan cara yang beradab? Apakah kita masih bisa menahan jari untuk tidak menambah luka dengan kata? Sebab di tengah masyarakat yang terbiasa menghukum lebih cepat daripada mendengar, kesedihan sering berubah menjadi bahan olok-olok — dan dari situlah nalar kemanusiaan kita mulai retak.

 

Kritik Tanpa Adab: Arogansi Zaman Algoritma

Seorang kiai bisa saja melakukan kelalaian dalam urusan teknis pembangunan, sebab beliau juga manusia yang bekerja dalam keterbatasan. Namun penguasaan ruang publik oleh ‘algoritma’, seringkali kesalahan kecil menjadi besar tanpa konteks, tanpa empati, dan tanpa adab. Tangan-tangan netizen lebih cepat menekan tombol share ketimbang menundukkan hati untuk memahami duduk perkaranya. Kritik yang semestinya menjadi jalan menuju perbaikan justru berubah menjadi senjata untuk mempermalukan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dalam tradisi pesantren, hubungan antara kiai dan santri tidak sekadar administratif, melainkan spiritual dan penuh penghormatan. Di sana, ilmu bukan sekadar kumpulan data, melainkan cahaya yang turun melalui adab. Maka, ketika seorang kiai dihina di ruang digital tanpa batas, bukan hanya nama beliau yang tercoreng, tetapi juga rantai keilmuan dan tradisi penghormatan yang telah dijaga berabad-abad. Menjaga kehormatan guru bukan berarti menutup mata dari kekurangan, tetapi menempatkan kritik pada ruang yang beradab.

Ironisnya, di era algoritma, kecepatan sering mengalahkan kebijaksanaan. Setiap orang merasa berhak menjadi juri moral, padahal belum tentu memahami konteks sosial, struktural, bahkan spiritual di balik sebuah peristiwa. Di sinilah muncul arogansi zaman algoritma—ketika popularitas pendapat lebih dihargai daripada kebenaran, dan nada sarkas lebih viral daripada doa. Kita sedang hidup di masa ketika orang mudah membela agama di kolom komentar, tapi sulit menjaga adab dalam berbicara tentang ulama.

Maka, kritis boleh, bahkan penting, tetapi jangan kehilangan empati. Kritik tanpa adab hanyalah bentuk lain dari kesombongan intelektual; ia mungkin tajam, tetapi tidak menyembuhkan. Pesantren mengajarkan bahwa menegur guru pun ada caranya, menasihati dengan kasih sayang, dan memperbaiki dengan niat tulus, bukan dengan sorak di media sosial. Sebab jika adab telah roboh, maka seluruh bangunan keilmuan akan ikut runtuh—dan itulah kerugian terbesar dari generasi yang lebih pandai berdebat daripada berendah hati.

 

Antara Takdir, Tanggung Jawab, dan Empati Publik

Sebagian orang menenangkan diri dengan berkata: “Ini takdir Allah.” Pernyataan itu benar secara teologis, tapi bisa menyesatkan jika dijadikan dalih untuk menghindari tanggung jawab. Takdir tidak meniadakan kewajiban manusia untuk berbenah. Di situlah kebijaksanaan Islam bekerja: menerima musibah dengan sabar, sekaligus mengambil pelajaran dengan sungguh-sungguh. Membedakan antara takdir yang harus diterima dan tanggung jawab yang harus diperbaiki adalah ujian kedewasaan kita sebagai manusia beragama.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Namun, yang lebih menakutkan dari runtuhnya bangunan adalah runtuhnya empati publik. Netizen ramai-ramai menjadi hakim tanpa toga, jaksa tanpa empati, dan arsitek tanpa data. Di dunia maya, tragedi sering diubah jadi konten; duka dijadikan panggung moral. Padahal, di dunia nyata, hukum butuh bukti dan hati butuh waktu untuk berduka. Yang tenggelam di tengah riuh komentar justru suara keluarga korban—dan doa para santri yang masih berusaha menyembuhkan diri pasca terjadinya tragedi.

Kita juga perlu jujur: sebagian stigma terhadap pesantren muncul dari bias lama. Begitu ada musibah, publik langsung mengaitkan dengan “ketertinggalan” atau “ketidakteraturan.” Padahal banyak pesantren kini telah bertransformasi menjadi lembaga modern dengan tata kelola yang jauh lebih baik. Tapi karena pandangan sebagian masyarakat terhadap pesantren masih terjebak pada stereotip kuno, setiap tragedi dipandang sebagai bukti keterbelakangan, bukan ujian kemanusiaan.

 

Saatnya Pesantren Berbenah: Ikhlas Saja Tak Cukup

Pesantren dikenal karena keikhlasannya. Tapi keikhlasan tanpa manajemen yang kokoh bisa menjadi titik rawan. Kini sudah saatnya pesantren berjalan dengan dua kaki: niat tulus dan sistem profesional. Bukan untuk menyalip nilai keagamaan, tapi untuk meneguhkannya. Karena menjaga keselamatan santri adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Dalam bahasa sederhana: membangun pesantren bukan hanya membangun tempat mengaji, tapi juga membangun tanggung jawab sosial.

Kiai pun manusia—bisa salah, bisa letih, bisa terluka. Tapi yang membedakan mereka dari banyak orang adalah keberaniannya untuk tetap bangkit, bahkan saat dunia menuding dengan beringasnya. Maka jangan buru-buru menilai seorang kiai dari musibahnya; nilai dari cara beliau bertanggungjawab serta ikhtiar memperbaikinya. Kiai yang tertunduk bukan berarti kalah, justru sedang menata batin agar kelak bisa berdiri lebih tegak.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Santri hari ini juga punya tanggung jawab baru: tidak cukup hanya menguasai kitab, tapi juga harus mampu membaca tanda-tanda zaman. Mereka harus menjadi penghubung antara nilai-nilai spiritualitas dan profesionalisme modern. Mencintai pesantren bukan berarti membiarkan kelemahannya, tapi menjaga agar ia terus tumbuh dan relevan.

 

Menjadi Bangsa yang Dewasa dan Beradab

Bangsa yang besar bukan yang bebas dari kesalahan, melainkan yang mampu belajar tanpa kehilangan kasih sayang. Kita boleh menuntut keadilan, tapi jangan kehilangan empati. Kita boleh menegur, tapi jangan menghina. Dari tragedi Al-Khoziny, semoga kita belajar bahwa membangun negeri tidak cukup dengan menegakkan tiang-tiang fisik, tapi juga menegakkan pilar moral. Bahwa membangun pesantren berarti juga membangun karakter bangsa yang tidak mudah mencaci dalam duka.

Surau Al-Khoziny boleh runtuh, tapi semoga adab kita tidak ikut roboh. Sebab yang paling berbahaya dari tragedi ini bukan hanya tiang yang patah, melainkan hati yang kehilangan arah. Maka mari jadikan musibah ini sebagai cermin untuk berbenah—bagi pesantren agar lebih siap menghadapi zaman, dan bagi masyarakat agar lebih lembut dalam berempati. Karena peradaban tidak tumbuh dari kritik yang kasar, tetapi dari kasih sayang yang tulus namun cerdas. Surau boleh ambruk, tapi harapan dan adab kita harus tetap berdiri.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement