Surau.co. Ada masa ketika hati merasa tenang, doa mengalir ringan, dan ibadah terasa manis. Kita pun mengira: “Aku sudah sembuh dari penyakit batin.” Namun di situlah, menurut Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs, setan paling halus bekerja — membuat manusia merasa telah selamat, padahal baru saja jatuh dalam jebakan ilusi. Inilah inti dari hati yang mengira dirinya sudah sembuh, sebuah keadaan spiritual yang menipu, di mana luka batin diselimuti oleh kebanggaan rohani.
Ketika Luka Batin Menyamar Sebagai Ketenangan
Di zaman ini, banyak orang menenangkan diri dengan dzikir, meditasi, atau ritual. Kita merasa damai, namun sering lupa bertanya: apakah kedamaian ini benar berasal dari Allah, atau dari ego yang merasa berhasil? Ibn al-Jawzī dalam Talbīs Iblīs mengingatkan bahwa penyakit rohani bisa menyamar seperti kesembuhan.
Beliau menulis:
«إِنَّ الشَّيْطَانَ لَمْ يَزَلْ يَتَخَلَّلُ فِي أَحْوَالِ الْعَابِدِينَ حَتَّى يُزَيِّنَ لَهُمُ الْعِبَادَةَ وَيُحَبِّبَ إِلَيْهِمُ الزُّهْدَ لِغَيْرِ اللهِ»
“Setan senantiasa menyusup dalam keadaan para ahli ibadah hingga ia menghiasi ibadah bagi mereka, dan menjadikan kezuhudan dicintai bukan karena Allah.”
Maknanya, seseorang bisa menjadi rajin beribadah tetapi kehilangan orientasi. Ia sujud bukan karena cinta, melainkan karena ingin merasa suci. Ia mengira sembuh, padahal luka lama sedang tersenyum di balik dinding ego.
Fenomena ini terasa nyata dalam keseharian kita. Ketika seseorang sudah berhenti marah, ia merasa sabar; ketika sudah berhenti bergosip, ia merasa bijak. Padahal, diam belum tentu sabar, dan diam belum tentu bijak. Di sinilah hati sering salah diagnosis — mengira sembuh, padahal masih tertutup debu.
Kebanggaan Rohani: Luka yang Disembunyikan dengan Cahaya
Kebanggaan rohani adalah penyakit yang paling lembut suaranya. Ia tidak menjerit seperti iri, tidak berbisik seperti riya’, melainkan menampakkan diri dalam bentuk ketenangan yang palsu. Ibn al-Jawzī menulis dalam Talbīs Iblīs:
«وَمِنْ تَلْبِيسِهِ أَنْ يُرِيَ العَابِدَ نَفْسَهُ كَامِلًا وَيَحْجُبَهُ عَنْ عُيُوبِهِ»
“Termasuk tipu daya setan adalah memperlihatkan kepada ahli ibadah bahwa dirinya telah sempurna, lalu menutup pandangannya dari aib-aibnya sendiri.”
Kita mungkin merasa sudah sabar, padahal hanya lelah marah. Kita merasa sudah ikhlas, padahal hanya menyerah pada keadaan. Di sinilah iblis bertepuk tangan — bukan karena kita jahat, tetapi karena kita berhenti mencari kebenaran.
Nabi ﷺ pernah bersabda:
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ»
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarrah kesombongan.” (HR. Muslim)
Ayat dan hadits ini menegaskan: bahkan sebutir kesombongan bisa membatalkan kesembuhan hati. Ia seperti racun kecil di dalam air bening — tak terlihat, tapi mematikan.
Fenomena Zaman: Spiritualitas yang Sibuk Menyembuhkan Diri
Kini banyak orang mencari “healing spiritual”. Kita menonton video motivasi, ikut kelas dzikir, membaca buku mindfulness. Semua tampak baik, tetapi Ibn al-Jawzī seolah berbisik dari abad ke-6 Hijriah: “Hati-hati, jangan-jangan engkau menyembah ketenangan, bukan Tuhan.”
Dalam Talbīs Iblīs beliau menulis:
«وَمِنْ تَلْبِيسِهِ عَلَى الْعُبَّادِ أَنْ يُشْغِلَهُمْ بِالْعِبَادَةِ عَنِ الْمَعْبُودِ»
“Termasuk tipuan setan terhadap ahli ibadah ialah menyibukkan mereka dengan ibadah dari (mengingat) yang disembah.”
Bait itu menghantam lembut: betapa sering kita sibuk memperbaiki diri, tapi lupa kepada Allah. Kita fokus kepada rasa damai, bukan kepada Sang Pemberi damai. Kita kejar kesembuhan, tapi lupa menyerah pada Dzat yang menyembuhkan.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‘d: 28)
Maka, bukan teknik penyembuhan yang menenangkan hati, melainkan kehadiran Allah di tengah luka.
Jalan Kembali: Dari Sembuh Semu ke Sadar Sejati
1. Mengakui bahwa luka masih ada
Kesembuhan sejati dimulai dari pengakuan. Hati yang mengira sudah sembuh biasanya berhenti memeriksa dirinya. Ibn al-Jawzī menulis:
«العِلاجُ فِي المَعْرِفَةِ، وَالجهْلُ دَاءٌ مُقِيمٌ»
“Obat ada pada pengetahuan, dan kebodohan adalah penyakit yang menetap.”
Artinya, introspeksi adalah terapi utama. Mengakui kesalahan bukan kelemahan, tapi pintu kembali kepada Allah.
2. Merawat niat sebelum amal
Sebelum berdzikir, tanyakan: “Apakah ini untuk Allah atau untuk menenangkan diri?” Jika jawabannya campur, berdoalah agar Allah membersihkan niat.
3. Menjaga rasa gentar dalam kebaikan
Rasa gentar, bukan rasa aman, adalah tanda hati hidup. Orang yang merasa aman dari kesalahan sering tersesat dalam kebaikan yang dibungkus kesombongan.
4. Berdoa agar tidak tertipu oleh kesembuhan palsu
Doa Nabi ﷺ yang sangat indah menjadi pegangan:
«اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ»
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran, dan karuniakanlah kami kemampuan untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan, serta berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.”
Doa ini adalah pengingat agar kita tak puas dengan kesembuhan semu, tetapi terus mencari cahaya hakiki.
Penutup: Luka yang Mengantar ke Tuhan
Hati yang mengira dirinya sudah sembuh adalah hati yang berhenti belajar. Ibn al-Jawzī, dengan kelembutan dan ketajaman, mengajak kita memeriksa diri: jangan biarkan ketenangan menipu, dan jangan biarkan cahaya palsu membuat kita buta.
Kesembuhan sejati bukan ketika tak ada luka, tapi ketika setiap luka menjadi jembatan menuju Allah. Maka, bila engkau masih merasa sakit, syukurlah — karena itu tanda hatimu belum mati. Dalam kejujuran luka, Allah sedang menyiapkan kesembuhan yang sebenarnya.
* Sugianto al-jawi
Budayaawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
