Khazanah
Beranda » Berita » Doa yang Diselubungi Kesombongan

Doa yang Diselubungi Kesombongan

Ilustrasi doa dan bayangan diri dalam makna Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī
Ilustrasi simbolik tentang doa yang diselubungi kesombongan, menggambarkan pesan Talbīs Iblīs karya Ibn al-Jawzī.

Surau.co. Dalam Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī, ada satu peringatan yang menusuk kalbu: tidak semua doa yang diucapkan manusia berasal dari ketulusan hati. Sebagian lahir dari kesombongan yang terselubung halus—seperti asap dupa yang harum namun menyesakkan dada.
Ibn al-Jawzī membuka pintu pemahaman bahwa iblis tidak menyesatkan manusia hanya lewat maksiat, tapi juga melalui ibadah. Doa, zikir, dan amal saleh dapat menjadi jalan kebinasaan jika hati diselubungi rasa “aku lebih baik”.

“من تلبيس إبليس أنه يزين للعبد كثرة الدعاء والذكر ليغفل عن حضور القلب.”
“Termasuk tipu daya Iblis adalah menghias bagi hamba banyaknya doa dan zikir hingga ia lalai dari kehadiran hati.”

Di sinilah letak kehalusan jebakan itu. Kita berdoa, tapi bukan lagi kepada Allah yang Maha Mendengar—melainkan kepada bayangan diri yang ingin tampak saleh.

Ritual yang Kehilangan Ruh

Pernahkah engkau merasa puas setelah menengadahkan tangan, lalu berkata dalam hati, “Aku telah berdoa panjang”? Di situ, kata Ibn al-Jawzī, iblis bersembunyi. Ia menukar makna doa dengan kebanggaan, bukan pengharapan.
Fenomena ini begitu dekat dengan kehidupan modern. Di media sosial, doa kini kerap menjadi status, zikir menjadi caption, dan istighfar berubah menjadi konten motivasi. Tidak ada yang salah dengan menuliskannya, tetapi ketika niat berubah dari mencari ridha Allah menjadi mencari “likes”, maka iblis telah bekerja dengan sangat rapi.

“إن إبليس يدخل على العابد من باب الطاعة ليوقعه في الرياء والعجب.”
“Sesungguhnya Iblis memasuki hati seorang ahli ibadah dari pintu ketaatan untuk menjatuhkannya dalam riya dan rasa kagum pada diri.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Doa yang sejati bukan sekadar kata-kata yang diulang, tapi keheningan batin yang mengakui kelemahan. Dan keheningan itu hanya bisa lahir jika hati tidak sibuk menilai dirinya sendiri.

Ketika Keikhlasan Terasa Berat

Setiap orang ingin ikhlas, tetapi sedikit yang menyadari bahwa keikhlasan itu sering menuntut perlawanan terhadap diri sendiri. Ibn al-Jawzī menulis, banyak orang berdoa bukan karena butuh Allah, tapi karena ingin tampak butuh di hadapan manusia.
Kadang kita berkata “InsyaAllah” atau “Alhamdulillah” bukan sebagai dzikir, melainkan untuk memperkuat citra bahwa kita orang beriman. Dalam kesalehan yang tampak itu, iblis menari dengan lembut.

“ومن تلبيسه أنه يرضي العبد بظاهر الدعاء، فيترك الإخلاص والافتقار.”
“Termasuk tipu dayanya ialah ketika ia membuat hamba puas dengan tampilan lahir doa, lalu meninggalkan keikhlasan dan rasa bergantung.”

Doa yang benar, tulis Ibn al-Jawzī, adalah tangisan hati, bukan kemerduan lisan.
Dan terkadang, doa paling suci adalah diam yang jujur—ketika lidah tak mampu berkata apa-apa, tapi hati bersujud dalam kepasrahan total.

Kesombongan yang Menyamar Sebagai Rasa Syukur

Fenomena ini juga tampak dalam keseharian. Ada orang yang berdoa dengan ucapan syukur, namun di dalamnya tersembunyi rasa “lebih beruntung daripada orang lain”.
Syukur berubah menjadi pembandingan; doa menjadi alat pembuktian sosial.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ibn al-Jawzī menulis:

“ومن أعظم تلبيسه أن يحول الدعاء إلى فخرٍ على الناس، فيقول: أنا كثير الدعاء، وهم مقصرون.”
“Termasuk tipu daya terbesarnya adalah ketika ia menjadikan doa sebagai kebanggaan atas manusia, hingga seseorang berkata: aku banyak berdoa, sedang mereka lalai.”

Kalimat ini menampar lembut siapa pun yang pernah merasa dirinya lebih dekat kepada Allah dibanding orang lain. Padahal, justru perasaan itu yang menjauhkan kita.
Doa yang sombong tidak pernah sampai ke langit, sebab ia tidak lahir dari kerendahan, melainkan dari rasa “aku”.

Cahaya di Balik Kerendahan Hati

Al-Qur’an menuntun kita dengan lembut:

﴿ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً﴾
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.” — (QS. Al-A’rāf: 55)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ayat ini bukan sekadar ajaran tentang cara berdoa, melainkan peringatan agar doa tidak berubah menjadi pameran. Tadharru‘ (kerendahan hati) adalah inti doa. Ia lahir dari kesadaran bahwa manusia tidak memiliki daya apa pun tanpa pertolongan Allah.

Di sinilah, Talbīs Iblīs menjadi kitab reflektif yang relevan untuk zaman ini. Ia tidak sekadar mengulas godaan iblis di masa silam, tapi menyingkap jebakan baru yang kini menyelinap dalam budaya religius modern: kesalehan yang terukur, spiritualitas yang ditampilkan.

Menemukan Doa yang Murni

Ibn al-Jawzī tidak menulis dengan nada menghakimi, tapi dengan kelembutan seorang guru. Ia mengingatkan bahwa doa sejati adalah perjalanan menuju kefanaan, bukan pencapaian spiritual.
Doa adalah saat ketika manusia kembali kecil, lemah, dan tak memiliki apa-apa kecuali harapan.
Dan justru di situlah kekuatan sejatinya.

Ketika lidah bergetar karena takut kepada Allah, bukan karena ingin tampak baik, maka iblis pun menjauh. Karena ia tidak bisa tinggal di hati yang hancur karena cinta.

Ibn al-Jawzī menutup satu bagian dengan kalimat yang begitu indah:

“إن القلب إذا امتلأ بتعظيم الله صغر كل ما سواه، فلا يبقى فيه موضع للعجب.”
“Apabila hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allah, maka segala sesuatu selain-Nya menjadi kecil, hingga tidak tersisa tempat bagi kesombongan.”

Kalimat ini bukan hanya penawar bagi para ahli ibadah, tapi juga bagi siapa pun yang ingin kembali tulus.
Kesombongan tidak akan lahir di hati yang mengenal kebesaran Allah, sebab hanya ada satu yang pantas diagungkan—Dia, bukan doa-doa kita.

Penutup: Doa yang Tidak Butuh Penonton

Membaca Talbīs Iblīs Ibn al-Jawzī membuat kita menyadari, iblis tidak selalu datang untuk menggoda agar kita berhenti berdoa. Ia justru ingin kita terus berdoa, tetapi dengan hati yang sombong.
Dan di situlah musuh sejati bekerja: bukan menghapus kebaikan, tapi menukar maknanya.

Doa yang murni tidak butuh penonton. Ia tidak perlu diposting, tidak menunggu disukai, dan tidak mengharap diakui. Ia hanya butuh satu hal: hati yang jujur.
Ketika doa keluar dari kerendahan, bukan dari kesalehan yang dipamerkan, maka pintu langit terbuka.

Dan di saat itu, kesombongan tak lagi punya tempat—karena yang tersisa hanyalah antara hamba dan Tuhannya.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement