Khazanah
Beranda » Berita » Dari Filsafat ke Fana’: Ketika Akal Bersujud di Hadapan Cahaya Ilahi

Dari Filsafat ke Fana’: Ketika Akal Bersujud di Hadapan Cahaya Ilahi

Manusia duduk di bawah cahaya bulan, simbol akal yang bersujud di hadapan cahaya Ilahi.
Ilustrasi menggambarkan pertemuan antara filsafat dan tasawuf: manusia yang mencari dengan akal lalu menemukan dengan hati.

Surau.co. Akal bersujud di hadapan cahaya Ilahi – Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Al-Ghazālī memulai perjalanan intelektualnya dengan kesungguhan seorang pencari kebenaran sejati. Ia menyelami samudra filsafat, menelaah pandangan para pemikir Yunani dan Islam, dan menelusuri logika dengan ketelitian luar biasa. Namun, di balik ketajaman akal itu, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan: akal memiliki batas, sedangkan kebenaran tidak.

Frasa kunci “akal bersujud di hadapan cahaya Ilahi” menggambarkan momen di mana akal, setelah berjuang panjang dalam ranah rasionalitas, akhirnya tunduk pada keheningan iman. Al-Ghazālī menyadari bahwa pengetahuan sejati bukanlah hasil dari banyaknya berpikir, melainkan dari cahaya yang menyingkap tabir hati.

Beliau menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:

“العقل آلةٌ للبحث، لا سبيل له إلى إدراك النور الإلهي إلا إذا استضاء بنور الوحي.”
“Akal adalah alat untuk mencari, namun ia takkan sampai pada cahaya Ilahi kecuali bila diterangi oleh cahaya wahyu.”

Pernyataan ini tidak menolak akal, tapi menempatkannya di posisi yang mulia sekaligus rendah hati: akal adalah jembatan, bukan tujuan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Logika Tak Selalu Menemukan Makna

Di dunia modern, banyak manusia yang menjadikan logika sebagai dewa baru. Segalanya diukur dengan data, angka, dan rumus. Namun seperti yang diingatkan Al-Ghazālī, tidak semua yang benar dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung berarti benar.

Beliau menulis dengan lembut namun tegas:

“النظر العقلي يُوصِل إلى العلم الجزئي، أما العلم الكلي فلا يُنال إلا بتجرد النفس عن العلائق.”
“Pemikiran rasional hanya mampu mencapai pengetahuan sebagian, sedangkan pengetahuan yang utuh takkan diraih kecuali dengan pelepasan jiwa dari keterikatan dunia.”

Betapa banyak orang hari ini hidup dengan kepala yang penuh, tapi hati yang kosong. Kita sibuk memahami dunia, namun lupa memahami diri. Di sinilah filsafat berhenti, dan tasawuf mulai berbicara. Al-Ghazālī tidak berhenti di batas logika; ia menembusnya dengan cinta kepada Allah.

Maka, ketika akal sampai pada batasnya, ia tak menyerah—ia bersujud. Karena hanya dengan sujud, akal menemukan arti dari pengetahuan itu sendiri.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Fenomena Jiwa yang Rindu Pulang

Ada saat dalam hidup ketika segala yang logis tak lagi menenangkan. Kita tahu jawabannya secara intelektual, namun hati tetap gelisah. Dalam titik inilah ajaran Al-Ghazālī terasa begitu dekat dengan manusia modern: pengetahuan tanpa kehadiran Tuhan hanyalah keramaian tanpa makna.

Beliau menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:

“إذا سكنت النفس إلى العقل وحده، ظلت في ظلمة الفكر، وإن استضاءت بنور الحق، أبصرت ما وراء الفكر.”
“Apabila jiwa bersandar pada akal semata, ia akan tetap berada dalam kegelapan pikiran; namun jika disinari oleh cahaya kebenaran, ia akan melihat yang melampaui pikiran.”

Kegelisahan jiwa adalah panggilan dari alam Ilahi. Ketika semua hal dunia terasa hambar, itu tandanya jiwa sedang dipanggil untuk kembali. Bukan kembali ke masa lalu, tapi kembali ke asalnya—kepada Allah.

Fenomena ini bisa kita rasakan setiap kali berada di bawah langit malam yang sunyi. Kita menatap bintang, dan tiba-tiba sadar: ada sesuatu yang jauh lebih besar dari kita, namun terasa sangat dekat. Itulah cahaya Ilahi yang menembus batas logika, seperti embun yang jatuh tanpa suara, namun membasahi seluruh jiwa.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dari Filsafat ke Fana’: Jalan Kepulangan Seorang Pencari

Perjalanan Al-Ghazālī adalah kisah tentang seseorang yang berjalan melalui jalan panjang filsafat, lalu menemukan rumahnya di kesunyian fana’. Fana’ dalam bahasa tasawuf bukan berarti hilang, tapi melebur—lenyapnya ego agar yang tersisa hanya Allah.

Beliau menulis dengan kedalaman spiritual yang lembut:

“من عرف عقله عرف حدَّه، ومن عرف ربه فني عن حدِّه.”
“Barang siapa mengenal akalnya, ia akan mengenal batasnya; dan barang siapa mengenal Tuhannya, ia akan lenyap dari batas itu.”

Inilah puncak perjalanan: dari mengetahui menjadi menyaksikan, dari berpikir menjadi berzikir, dari memahami menjadi mengalir dalam cahaya-Nya.

Al-Qur’an mengingatkan hal ini dalam ayat penuh makna:

“وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي”
(QS. Al-Hijr [15]: 29)
“Dan Aku tiupkan ke dalamnya sebagian dari ruh-Ku.”

Akal adalah bagian dari penciptaan, tapi ruh adalah napas dari Pencipta. Maka, ketika akal bersujud kepada cahaya Ilahi, ia sedang kembali kepada sumbernya. Filsafat menemukan maknanya bukan dengan menolak wahyu, tapi dengan berlutut di hadapan-Nya.

Ketika Ilmu Menjadi Ibadah, Akal Menjadi Cinta

Apa gunanya ilmu jika tidak menuntun pada kebaikan? Apa makna kecerdasan bila tidak melahirkan kasih? Al-Ghazālī menyadarkan kita bahwa pengetahuan sejati bukanlah banyaknya teori, melainkan sejauh mana ia menumbuhkan cinta kepada Sang Pencipta.

Ketika akal dan iman menyatu, hidup menjadi perjalanan yang tenang. Tidak lagi dipenuhi kebanggaan atas logika, tapi kerendahan hati untuk selalu belajar dari keindahan ciptaan.

Jiwa yang telah fana’ tidak lagi membedakan antara berpikir dan berdoa, antara belajar dan mencinta. Karena dalam setiap tindakan, ia melihat Allah.

Dan di situlah kebahagiaan sejati bermukim: bukan pada banyaknya pengetahuan, tapi pada tenangnya penyerahan.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement