Mode & Gaya
Beranda » Berita » Oversharing Masalah Pribadi di Medsos, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?

Oversharing Masalah Pribadi di Medsos, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?

Oversharing Masalah Pribadi di Medsos, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam?
Oversharing Masalah Pribadi di Medsos, Bagaimana Hukumnya Dalam Islam? Dalam Islam, kehormatan seseorang sangat dijaga. Oversharing Bisa Menjadi Dosa Sosial. Gambar Ilustrasi : SURAU.CO

SURAU.CO – Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Hampir setiap orang memiliki akun media sosial, entah itu untuk berinteraksi, berbagi informasi, mengekspresikan diri, ataupun sekadar mencari hiburan. Namun, sebaliknya dari manfaat besar media sosial, muncul pula fenomena yang cukup memprihatinkan, yaitu oversharing — kecenderungan seseorang untuk membagikan terlalu banyak hal pribadi dalam dunia maya.

Fenomena ini tidak sekadar berkaitan dengan etika bermedia sosial, tetapi juga menyentuh aspek moral, sosial, bahkan agama. Islam, sebagai agama yang sempurna, tentu memiliki panduan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam hal menjaga aib dan batasan dalam berbagi cerita pribadi. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum oversharing masalah pribadi di media sosial menurut Islam?

Fenomena Oversharing Dalam Kehidupan Modern

Istilah oversharing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “berbagi secara berlebihan”. Dalam konteks media sosial, ini berarti seseorang mengungkapkan terlalu banyak hal pribadi yang seharusnya tidak untuk publik. Contohnya, seseorang menceritakan konflik rumah tangga, masalah keuangan, pertengkaran dengan pasangan, bahkan kisah aib diri sendiri atau orang lain, melalui unggahan di Facebook, Instagram, TikTok, atau platform lainnya.

Motifnya beragam. Ada yang melakukannya karena ingin mencari dukungan emosional, ingin orang menganggapnya terbuka, ingin mendapat perhatian, atau bahkan melakukannya untuk motif mendapatkan uang. Adapula sekadar tidak sadar bahwa apa yang ia bagikan dapat berdampak buruk kemudian hari.

Sayangnya, budaya oversharing seringkali justru membuka pintu fitnah, mempermalukan diri sendiri, atau bahkan menimbulkan dosa karena menyebarkan aib orang lain. Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan menutup aib, baik aib sendiri maupun orang lain.

Mengenal Perbedaan Hijab, Jilbab, dan Khimar dalam Tren Fashion Muslimah

Islam Mengajarkan Untuk Menjaga Aib

Rasulullah sangat menekankan pentingnya menjaga aib diri dan sesama. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

“Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk tidak membuka aib orang lain, termasuk aib sendiri. Orang yang menutupi aibnya akan mendapat perlindungan Allah, sementara orang yang dengan sengaja menyiarkannya akan kehilangan kehormatan.

Rasulullah juga memperingatkan:

“Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Di antara bentuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan dosa di malam hari, lalu di pagi harinya ia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu,’ padahal Allah telah menutupi dosanya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Hadis ini relevan sekali dengan fenomena oversharing di media sosial. Ketika seseorang dengan sadar menuliskan atau menceritakan hal-hal buruk yang pernah ia lakukan, atau membuka masalah pribadi yang seharusnya ditutupi, ia termasuk orang yang “mujahir” — yaitu orang yang menyingkap apa yang Allah sudah tutupi.

Jangan Pamerkan Aib Diri Sendiri

Dalam Islam, kehormatan seseorang sangat dijaga. Allah memerintahkan manusia untuk menutupi segala keburukan yang bisa merendahkan martabatnya. Membuka aib diri sendiri di media sosial bukanlah tanda kejujuran atau keterbukaan, tetapi justru bisa menjadi bentuk kelemahan iman dan kurangnya rasa malu (haya’).

Rasa malu adalah bagian dari iman. Rasulullah bersabda:

“Malu itu adalah cabang dari iman.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang masih memiliki rasa malu tidak akan mudah mengumbar masalah pribadi, apalagi hal-hal yang menyangkut dosa, rumah tangga, atau urusan batin. Sebaliknya, orang yang hilang rasa malunya akan dengan ringan menulis status seperti:

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

“Aku sudah tak tahan lagi dengan suamiku…”
“Kenapa hidupku selalu sial…”
“Aku kecewa dengan keluarga sendiri…”

Unggahan seperti ini bisa memancing komentar, simpati, bahkan gosip yang semakin memperkeruh keadaan. Padahal, masalah pribadi lebih bijak diselesaikan secara tertutup, bukan di ruang publik yang bisa diakses jutaan orang.

Menyebar Masalah Rumah Tangga Termasuk Perbuatan Tercela

Salah satu bentuk oversharing yang paling sering terjadi adalah membagikan masalah rumah tangga di media sosial. Banyak suami atau istri yang mengeluh tentang pasangannya secara terbuka, menceritakan kekurangan, atau bahkan membeberkan konflik mereka kepada khalayak.

Padahal Rasulullah mengajarkan bahwa urusan rumah tangga adalah rahasia yang harus dijaga. Dalam hadis disebutkan:

“Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya, kemudian menyebarkan rahasia istrinya.”
(HR. Muslim)

Walaupun hadis ini secara spesifik berbicara tentang hubungan suami istri, namun secara makna juga mencakup segala bentuk rahasia dan persoalan rumah tangga yang seharusnya dijaga. Media sosial bukan tempat untuk menumpahkan keluh kesah tentang keluarga. Karena ketika aib rumah tangga terbuka, kehormatan keluarga ikut jatuh.

Oversharing Bisa Menjadi Dosa Sosial

Selain berdampak buruk pada diri sendiri, oversharing juga dapat membawa dosa sosial. Misalnya, ketika seseorang menceritakan keburukan orang lain dengan alasan “curhat”, padahal sebenarnya itu termasuk ghibah (menggunjing).

Allah berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik.”
(QS. Al-Hujurat: 12)

Ketika kita menuliskan status atau cerita tentang seseorang yang berbuat salah, lalu pembaca tahu siapa seseorang tersebut, itu sama saja dengan menyebarkan aibnya. Walaupun tidak menyebut nama, jika orang lain bisa menebak siapa yang menjadi obyek pembicaraan, tetap termasuk ghibah.

Begitu pula jika seseorang membagikan video atau foto yang mempermalukan dirinya sendiri atau orang lain, maka ia telah membuka pintu dosa. Dunia maya tidak pernah benar-benar melupakan — sekali sesuatu diunggah, sulit untuk dihapus sepenuhnya. Maka dari itu, berhati-hatilah sebelum menekan tombol “unggah”.

Islam Menganjurkan untuk Introspeksi dan Meminta Nasihat Secara Tertutup

Jika seseorang sedang mengalami masalah pribadi, Islam mengajarkan untuk mencari solusi dengan cara yang bijak dan terhormat. Rasulullah bersabda:

“Agama itu nasihat.”
(HR. Muslim)

Namun, memberikan nasihat dalam Islam tidak dengan cara membuka aib  depan umum. Cara terbaik adalah mendatangi orang yang terpercaya — seperti ulama, sahabat dekat yang saleh, atau konselor — dan menceritakan masalah dengan batas yang wajar.

Introspeksi diri (muhasabah) juga merupakan langkah penting. Terkadang kita ingin segera meluapkan emosi di media sosial, padahal dengan menenangkan diri dan berdoa kepada Allah, hati menjadi lebih ringan tanpa harus mengumbar masalah.

Menjaga Kehormatan Diri di Era Digital

Sebagai seorang Muslim, menjaga kehormatan diri adalah kewajiban. Dalam dunia digital yang serba cepat, sekali seseorang membuka aib, efeknya bisa menyebar luas dan sulit terkendali.

Beberapa panduan praktis agar terhindar dari oversharing:

  1. Pikirkan sebelum mengunggah. Tanyakan pada diri sendiri: apakah yang saya tulis bermanfaat, atau justru membuka aib?
  2. Pisahkan antara ruang pribadi dan publik. Tidak semua hal layak diceritakan di dunia maya.
  3. Jaga kehormatan orang lain. Jangan menyebarkan kisah pribadi teman, pasangan, atau keluarga tanpa izin.
  4. Gunakan media sosial untuk kebaikan. Sebarkan ilmu, inspirasi, dan hal-hal yang membawa pahala, bukan keluhan dan dosa.

Bijaklah Dalam Berbagi

Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan — antara keterbukaan dan penjagaan diri. Tidak salah berbagi pengalaman hidup atau kisah inspiratif di media sosial, selama tidak mengandung aib, fitnah, atau keburukan. Namun, jika berbagi justru menyingkap hal yang seharusnya tersembunyikan, maka Allah tidak merestui perbuatan itu.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu Maha Menutupi dan mencintai orang yang menutupi (aib).”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Maka, jadilah Muslim yang bijak di dunia digital. Gunakan media sosial sebagai sarana dakwah, silaturahmi, dan kebaikan, bukan tempat curhat dan membuka rahasia. Dunia boleh tahu kita bahagia, tetapi tidak perlu tahu setiap luka yang kita rasa. Karena sejatinya, menjaga rahasia diri adalah bagian dari menjaga kehormatan yang Allah titipkan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement