Khazanah
Beranda » Berita » Akal yang Murni, Cinta yang Abadi: Jalan Jiwa Menuju Pengetahuan Ilahi

Akal yang Murni, Cinta yang Abadi: Jalan Jiwa Menuju Pengetahuan Ilahi

Ilustrasi akal dan cinta sebagai dua cahaya yang menuntun jiwa menuju pengetahuan Ilahi menurut Al-Ghazālī.
Gambaran perjalanan spiritual manusia yang menyatukan kejernihan akal dan kemurnian cinta dalam menemukan pengetahuan Ilahi.

Surau.co. Filsafat akal dan cinta – Ada titik di mana akal berhenti bertanya, dan cinta mulai berbicara. Namun sebelum sampai ke sana, manusia perlu berjalan melalui keduanya — akal yang jernih dan cinta yang abadi. Inilah perjalanan yang dibicarakan Imam Abu Hamid al-Ghazālī dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, ketika ia menelusuri hakikat pengetahuan Ilahi — pengetahuan yang tidak hanya diukur oleh logika, tapi juga dimurnikan oleh cinta.

Filsafat pengetahuan dalam pandangan Al-Ghazālī bukan sekadar soal berpikir, melainkan soal menjadi sadar. Ia mengajarkan bahwa akal dan cinta bukan dua kutub yang berlawanan, tapi dua sayap yang mengantarkan jiwa menuju langit pengetahuan sejati.

Akal Sebagai Cahaya Pertama

Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis dengan lembut namun tajam:

“العقل نورٌ يهدي النفس إلى معرفة الحق، كما تهدي الشمس الأبصار إلى رؤية الأشياء.”
“Akal adalah cahaya yang menuntun jiwa menuju kebenaran, sebagaimana matahari menuntun mata untuk melihat segala sesuatu.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Akal, menurut Al-Ghazālī, bukan sekadar alat berpikir, tapi sinar Ilahi yang ditanamkan dalam diri manusia agar ia mampu mengenali hakikat. Namun, sebagaimana cahaya, ia bisa redup bila tertutup kabut hawa nafsu atau kesombongan intelektual.

Dalam kehidupan modern, kita sering melihat banyak orang cerdas yang kehilangan arah. Pengetahuan mereka tinggi, tapi jiwanya kering. Di sinilah filsafat akal menurut Al-Ghazālī menjadi relevan: akal harus dimurnikan oleh kesadaran, bukan hanya diasah oleh logika.

Murninya akal bukan berarti ia berhenti berpikir, melainkan ia berpikir dengan tunduk — sadar bahwa cahaya itu bukan miliknya, tetapi pinjaman dari Tuhan.

Ketika Cinta Menjadi Jalan Pengetahuan

Di sisi lain, Al-Ghazālī menulis tentang cinta (mahabbah) bukan sebagai emosi, tapi sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan:

“المعرفة الحقة لا تُدرك إلا بالمحبة، فمن لم يحب لم يعرف.”
“Pengetahuan sejati tidak akan dicapai kecuali melalui cinta; siapa yang tidak mencintai, ia tidak akan mengenal.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Cinta yang dimaksud bukan sekadar perasaan lembut, melainkan dorongan eksistensial yang membuat jiwa bergerak mendekati sumber cahaya. Ia adalah energi rohani yang menghidupkan akal. Tanpa cinta, akal menjadi kering; tanpa akal, cinta menjadi buta.

Fenomena ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang belajar dengan cinta akan menemukan keindahan dalam setiap pengetahuan; sebaliknya, yang belajar hanya untuk kebanggaan akan mudah lelah. Cinta membuat belajar menjadi ibadah, bukan beban.

Jiwa yang Berjalan Antara Akal dan Cinta

Dalam filsafatnya, Al-Ghazālī menyebut bahwa jiwa adalah ruang pertemuan antara akal dan cinta. Ia menulis:

“النفس إذا صفَت من كدر الشهوة، صار عقلها بصيرة، وصارت محبتها عبادة.”
“Ketika jiwa telah bersih dari kekeruhan nafsu, akalnya menjadi penglihatan batin, dan cintanya menjadi ibadah.”

Ini adalah titik keseimbangan yang jarang dicapai manusia: akal yang jernih dan cinta yang murni. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, karena pengetahuan tanpa cinta akan melahirkan kesombongan, sedangkan cinta tanpa pengetahuan akan melahirkan kesesatan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Akal dan cinta adalah dua jalan yang akhirnya bertemu dalam kesadaran Ilahi. Saat keduanya menyatu, manusia tidak lagi melihat dunia dengan mata, tapi dengan hati yang bercahaya.

Allah berfirman:

“فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ” (QS. Al-Hajj: 46)
“Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.”

Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan sejati bukan diukur dari banyaknya informasi, melainkan dari hati yang hidup.

Pengetahuan Ilahi: Ketika Akal Menyentuh Cahaya

Dalam bagian lain Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī berkata:

“العقل إذا اتصل بنور الله، علم الأشياء على ما هي عليه، لا كما يتوهمها.”
“Ketika akal tersambung dengan cahaya Allah, ia mengenali segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana ia bayangkan.”

Pengetahuan Ilahi adalah keadaan ketika manusia tidak lagi melihat dunia dengan persepsi ego, tapi dengan pandangan yang disinari oleh kesadaran Tuhan.

Dalam hidup sehari-hari, keadaan ini tampak dalam keikhlasan. Orang yang ikhlas bekerja bukan untuk pujian, tapi untuk makna. Ia tidak hanya berpikir apa yang terlihat, tapi juga apa yang dimaksud.

Di sinilah letak perbedaan antara orang berilmu dan orang bijak: yang satu tahu banyak hal, yang lain mengerti makna dari sedikit hal.

Ketika Akal Menjadi Cinta, dan Cinta Menjadi Cahaya

Al-Ghazālī akhirnya menyatukan dua jalan itu dalam satu kesimpulan yang menenangkan:

“غاية العقل أن يعرف الله، وغاية المحبة أن تذوق معرفته.”
“Tujuan akal adalah mengenal Allah, dan tujuan cinta adalah merasakan pengetahuan tentang-Nya.”

Akal membawa manusia pada pemahaman, sementara cinta membawanya pada pengalaman. Ketika keduanya berpadu, maka pengetahuan menjadi penyatuan — bukan sekadar teori tentang Tuhan, tapi perjumpaan dengan-Nya.

Hidup modern sering memisahkan antara berpikir dan mencinta. Kita mengejar data, tapi kehilangan rasa. Padahal, kata Al-Ghazālī, akal yang murni akan melahirkan cinta, dan cinta yang sejati akan melahirkan pengetahuan yang abadi.

Penutup: Jalan Jiwa Menuju Cahaya

Filsafat akal dan cinta dalam Maqāṣid al-Falāsifah mengajarkan bahwa manusia sejati bukan hanya yang berpikir benar, tapi juga yang mencintai dengan tulus.

Pengetahuan Ilahi bukan milik para filsuf besar, tetapi milik siapa pun yang mau membersihkan akalnya dan melembutkan hatinya. Dalam keheningan dzikir, dalam tangis yang tulus, dalam kerja yang ikhlas—di sanalah cahaya pengetahuan Ilahi turun perlahan.

Ketika akal telah murni dan cinta telah jernih, jiwa pun menjadi jembatan antara bumi dan langit. Di sanalah manusia menemukan hakikatnya: bukan sekadar makhluk berpikir, tapi makhluk yang mengenal karena mencinta.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplati Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement