Khazanah
Beranda » Berita » Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan: Refleksi Pesan dari Kitab Bidayatul Hidayah untuk Generasi Muda

Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan: Refleksi Pesan dari Kitab Bidayatul Hidayah untuk Generasi Muda

ilustrasi generasi muda menjadi cahaya di tengah kegelapan menurut ajaran Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Lukisan realistik seorang pemuda duduk di tempat gelap sambil memegang lentera yang menyala, dengan latar kota modern yang redup. Cahaya dari lentera memantul lembut di wajahnya—simbol harapan dan kesadaran spiritual.

Surau.co. Kita hidup di zaman yang serba terang. Lampu kota terus menyala tanpa jeda, layar ponsel tak pernah padam, dan informasi mengalir deras hanya dengan ujung jari. Namun ironisnya, di tengah cahaya yang melimpah, banyak hati justru tenggelam dalam kegelapan. Kita mengetahui banyak hal, tetapi sering kali kehilangan arah hidup.

Generasi muda hari ini—Generasi Z—hidup dalam keterhubungan tanpa batas. Mereka terhubung dengan dunia, tetapi kerap kehilangan koneksi dengan makna. Arus informasi dan opini yang deras membuat batas antara benar dan salah semakin kabur. Banyak yang terlihat hidup aktif, tetapi dalam diam, hatinya terasa hampa.

Imam al-Ghazali, ulama dan pemikir besar Islam klasik, sejak lama memperingatkan bahaya “terang palsu” ini. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis bahwa ilmu tanpa amal dan amal tanpa keikhlasan hanyalah cahaya yang meredup. Beliau menegaskan:

العِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُونٌ، وَالعَمَلُ بِلَا عِلْمٍ لَا يَكُونُ
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan ada.”

Kalimat itu terdengar seperti teguran lembut bagi kita semua—terutama bagi anak muda yang haus validasi, namun miskin refleksi. Menjadi cahaya di tengah kegelapan bukan berarti menjadi yang paling bersinar, melainkan menjadi penerang bagi diri sendiri dan lingkungan, melalui ilmu, amal, dan ketulusan hati.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menyalakan Cahaya dari Dalam Diri

Banyak orang ingin mengubah dunia, tetapi mereka sering lupa menyalakan cahaya dalam dirinya sendiri. Imam al-Ghazali menekankan bahwa perjalanan menuju kebaikan harus berawal dari hati. Beliau menerangkan:

اعْلَمْ أَنَّ أَوَّلَ مَا تُبْتَلَى بِهِ نَفْسُكَ هِيَ أَنْتَ
“Ketahuilah, ujian pertama yang menimpa dirimu adalah dirimu sendiri.”

Dengan kata lain, perjuangan sejati tidak terletak pada pertempuran melawan dunia luar, melainkan pada perang melawan kegelapan batin—kesombongan, iri, cinta dunia, dan hawa nafsu yang menipu.

Generasi muda kini menghadapi tekanan sosial yang luar biasa berat. Media sosial sering menampilkan ilusi bahwa semua orang bahagia, sukses, dan sempurna. Namun di balik unggahan yang menawan, banyak hati berjuang melawan kecemasan, rasa minder, dan kesepian. Dalam keadaan seperti ini, pesan Imam al-Ghazali terasa sangat relevan: sebelum menuntut perubahan besar, rawatlah hatimu terlebih dahulu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh; jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cahaya sejati tumbuh dari hati yang jernih. Maka sebelum seseorang menjadi “influencer kebaikan”, ia perlu terlebih dahulu menjadi “pemimpin bagi dirinya sendiri”.

Hidup Terang Tidak Selalu Nyaman

Menjadi cahaya memang bukan perkara mudah. Cahaya selalu menantang gelap. Dalam dunia yang penuh godaan, orang yang memilih jalan benar sering dianggap kuno, sok suci, atau tidak relevan. Namun, di situlah letak keberanian sejati.

Imam al-Ghazali mengingatkan dalam Bidayatul Hidayah:

إِيَّاكَ وَمُجَالَسَةَ أَهْلِ الْبَاطِلِ
“Jauhilah duduk bersama orang-orang yang mengikuti kebatilan.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Peringatan ini tidak mengajak kita untuk mengasingkan diri, melainkan untuk tetap menjaga nilai di tengah tekanan sosial. Generasi muda perlu menyadari bahwa integritas adalah cahaya yang tidak bisa dibeli.

Dalam praktik sehari-hari, cahaya itu bisa tampak sederhana: menolak mencontek, berlaku jujur dalam tugas, sopan di media sosial, dan menahan diri dari menghina orang lain.

Al-Qur’an menggambarkan sumber cahaya sejati:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang di dalamnya ada pelita.” (QS. An-Nur [24]: 35)

Ayat ini mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki potensi cahaya ilahi. Namun, pelita itu hanya akan menyala bila kita menjaga amal saleh dan ketulusan.

Menjadi Cahaya di Dunia yang Gelap Nilai

Kegelapan zaman digital tidak selalu muncul dalam bentuk menakutkan. Ia justru sering hadir dalam rupa yang memikat—likes, views, popularitas, atau uang cepat. Banyak anak muda mengejar cahaya luar, tetapi lupa menyalakan cahaya dalam.

Imam al-Ghazali menerangkan bahwa:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”

Ungkapan ini bukan seruan untuk menjauhi kehidupan dunia, tetapi peringatan agar kita mengendalikan kesenangan duniawi, bukan menjadi budaknya.

Generasi muda harus belajar untuk melek nilai. Menjadi terang bukan berarti menjadi sempurna, tetapi berarti sadar dan bertanggung jawab atas setiap pilihan. Saat dunia menawarkan gemerlap yang menipu, pilihlah kesederhanaan yang jujur dan bermakna.

Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan

Zaman ini menghadirkan tantangan besar berupa banjir informasi. Semua orang bisa tahu segalanya, tetapi tidak semua bisa bersikap bijak. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu tanpa amal hanya akan menambah beban. Beliau berkata:

العِلْمُ يَدْعُو إِلَى الْعَمَلِ، فَإِنْ أُجِيبَ وَإِلَّا ارْتَحَلَ
“Ilmu memanggil kepada amal. Jika disambut, ia menetap; jika tidak, ia pergi.”

Ilmu sejati bukan sekadar pengetahuan, melainkan cahaya yang menuntun tindakan. Dalam konteks anak muda, pesan ini sangat penting. Tidak cukup hanya tahu bahwa menolong sesama itu baik, mereka juga perlu benar-benar melakukannya. Tidak cukup tahu bahwa menjaga lisan itu mulia, mereka juga harus menahan jari dari komentar jahat di media sosial.

Cahaya bukan hanya tentang apa yang kita ketahui, tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan sesama dengan kasih dan tanggung jawab.

Menemukan Cahaya dalam Kebermaknaan Hidup

Banyak anak muda merasa hidupnya kosong di tengah keramaian. Segala sesuatu tampak baik-baik saja, tetapi hatinya tetap hampa. Imam al-Ghazali memahami fenomena ini jauh sebelum istilah burnout dikenal. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau mengingatkan bahwa:

وَاعْلَمْ أَنَّ فِي ذِكْرِ اللَّهِ حَيَاةَ الْقُلُوبِ
“Ketahuilah, dalam mengingat Allah terdapat kehidupan bagi hati.”

Zikir bukan sekadar ritual lisan, tetapi kesadaran batin yang membuat hidup lebih bermakna. Bagi generasi muda, zikir bisa dimaknai sebagai bentuk refleksi dan syukur di tengah kesibukan dunia. Dengan zikir, seseorang belajar hidup dengan kesadaran, ketenangan, dan rasa cukup.

Ketenangan sejati tidak lahir dari pencapaian eksternal, tetapi dari hubungan yang sehat dengan diri, sesama, dan Tuhan. Di situlah cahaya sejati memancar.

Refleksi: Cahaya Tidak Bicara, Tapi Terlihat

Menjadi cahaya bukan tentang banyak bicara soal kebaikan, melainkan tentang bagaimana kebaikan itu memancar lewat tindakan nyata. Imam al-Ghazali menerangkan:

الإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ
“Keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya.”

Cahaya sejati tidak butuh panggung. Ia bekerja dalam diam, tanpa pamrih, dan tanpa haus pengakuan. Ia mungkin tak viral, tetapi tetap mampu menerangi sekitar.

Dalam budaya ekspresi dan pencitraan, tantangan terbesar bagi generasi muda bukan untuk bersinar paling terang, melainkan untuk tetap tulus meski tidak dilihat orang. Dalam kegelapan moral dan kebingungan zaman, satu hati yang jujur cukup untuk memberi arah bagi banyak jiwa.

Penutup

Dunia akan selalu memiliki kegelapan. Akan selalu ada kebohongan, keserakahan, dan keputusasaan. Namun, sejarah selalu bergerak oleh orang-orang yang berani menyalakan cahaya, meski kecil.

Generasi muda tidak perlu menjadi sempurna. Cukup menjadi lentera yang jujur, rendah hati, dan mau belajar. Imam al-Ghazali menasihati dalam Bidayatul Hidayah:

كُنْ نُورًا فِي نَفْسِكَ تَهْتَدِي بِهِ، وَلَا تَنْتَظِرْ أَنْ يُنِيرَ لَكَ غَيْرُكَ
“Jadilah cahaya dalam dirimu sendiri agar engkau mendapat petunjuk, dan jangan menunggu orang lain untuk menerangimu.”

Cahaya sejati bukanlah sinar yang menyilaukan, tetapi penerang yang menuntun langkah. Di tengah dunia yang kian gelap oleh ego dan kebingungan, menjadi cahaya adalah bentuk ibadah paling indah dari seorang manusia.

*Gerwin Satria N

Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement