Khazanah
Beranda » Berita » Guru Adalah Pelita: Menghargai Ilmu dan Orang yang Mengajarkannya

Guru Adalah Pelita: Menghargai Ilmu dan Orang yang Mengajarkannya

Ilustrasi guru sebagai pelita kehidupan menurut ajaran Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah
Lukisan realistik seorang guru tua menyalakan lentera di ruang gelap, sementara murid-murid muda duduk memperhatikan dengan wajah bersinar. Nuansa hangat, filosofis, dan penuh makna spiritual.

Surau.co. Dalam hiruk-pikuk dunia modern, ketika hampir semua hal bisa dicari lewat gawai dan algoritma, kita mungkin lupa bahwa ilmu tidak pernah lahir dari ruang kosong. Di balik setiap pengetahuan yang kita genggam, ada seseorang yang menyalakan api—seorang guru. Guru, dalam pengertian paling sederhana, adalah pelita yang menuntun manusia keluar dari gelap ketidaktahuan menuju cahaya pemahaman.

Sayangnya, di era serba cepat ini, penghargaan terhadap guru dan ilmu sering tergerus oleh budaya instan. Kita ingin tahu tanpa belajar, ingin pandai tanpa menunduk, ingin sukses tanpa proses. Banyak anak muda yang lebih percaya pada potongan video motivasi berdurasi satu menit ketimbang duduk sabar mendengar nasihat dari seorang guru.

Padahal, Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengingatkan bahwa menuntut ilmu tanpa menghormati guru ibarat menanam benih di atas batu—tidak akan tumbuh. Beliau menulis:

فَلْيَكُنْ أَدَبُكَ مَعَ مُعَلِّمِكَ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبِكَ مَعَ أَبِيكَ
“Hendaklah adabmu kepada gurumu lebih baik daripada adabmu kepada ayahmu.”

Pernyataan itu bukan berlebihan. Karena jika ayah memberi kehidupan, guru memberi arah hidup.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menuntut Ilmu: Ibadah yang Membutuhkan Kesabaran

Menuntut ilmu bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan perjalanan spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah meninggikan derajat orang berilmu:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādalah [58]: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu adalah kemuliaan. Tetapi, kemuliaan itu tidak datang tanpa harga. Generasi muda sekarang sering terjebak pada hasil, bukan proses. Mereka ingin menjadi “pintar” secepat mungkin, padahal dalam tradisi Islam, ilmu sejati hanya lahir dari kesabaran dan kerendahan hati di hadapan guru.

Imam al-Ghazali menekankan bahwa sebelum menuntut ilmu, seseorang harus menata niat dan membersihkan hati dari kesombongan. Beliau menulis:

طَهِّرْ قَلْبَكَ مِنَ الْأَغْرَاضِ الدُّنْيَوِيَّةِ
“Sucikan hatimu dari kepentingan duniawi.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Artinya, mencari ilmu bukan untuk status, bukan pula untuk validasi sosial, tapi sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Inilah yang sering terlupakan di era digital, ketika belajar kadang dilakukan sekadar demi konten atau popularitas.

Guru Sebagai Cermin: Bukan Sekadar Pemberi Informasi

Guru dalam pandangan Imam al-Ghazali bukan hanya pengajar, tapi pembimbing jiwa. Beliau menulis:

الْمُعَلِّمُ هُوَ الدَّالُّ عَلَى اللَّهِ
“Guru adalah penunjuk jalan menuju Allah.”

Artinya, guru bukan sekadar sosok yang mentransfer pengetahuan, tetapi yang mengarahkan hati murid untuk menemukan makna dan kebijaksanaan. Di sinilah pentingnya hubungan spiritual antara guru dan murid—sebuah relasi yang melampaui ruang kelas.

Sayangnya, relasi itu sering pudar di zaman sekarang. Dalam sistem pendidikan modern, guru sering direduksi menjadi “pekerja pengajar,” dan murid hanya menjadi “konsumen ilmu.” Padahal, dalam tradisi Islam klasik, hubungan itu sakral. Murid yang datang kepada gurunya bukan hanya membawa buku catatan, tapi juga kerendahan hati.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Bagi Generasi Z yang terbiasa dengan kebebasan dan egalitarianisme, menghormati guru tidak berarti menundukkan akal. Justru sebaliknya: menghargai guru adalah bentuk penghormatan terhadap ilmu yang ia bawa. Karena ilmu tidak akan bersemayam di hati yang angkuh.

Menghormati Guru: Adab Sebelum Ilmu

Salah satu pesan paling terkenal dari Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah adalah:

العِلْمُ بِغَيْرِ الأَدَبِ كَالنَّارِ بِغَيْرِ الْحَطَبِ
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar.”

Beliau mengingatkan bahwa ilmu akan padam jika tidak disertai adab. Adab kepada guru adalah fondasi utama dalam menuntut ilmu. Mulai dari cara mendengarkan, cara bertanya, hingga cara berbicara di hadapan guru—semuanya mencerminkan sikap hati terhadap ilmu itu sendiri.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengenal hak ulama.” (HR. Ahmad)

Hadis ini memberi landasan moral yang kuat: menghargai guru bukan formalitas, tapi bentuk keimanan.

Menghormati guru berarti menghormati ilmu, dan menghormati ilmu berarti menghormati Sang Pemberi Ilmu.

Generasi Z dan Krisis Figur Guru

Generasi Z tumbuh dengan akses informasi yang tak terbatas. Internet menjadi “guru” baru yang tak kenal lelah, tapi juga tak kenal arah. Mereka bisa belajar dari siapa pun, tapi juga tersesat oleh siapa pun.

Di tengah kemudahan itu, muncul krisis: kehilangan figur teladan. Banyak anak muda yang pintar secara akademik, tapi bingung secara moral. Banyak yang tahu banyak hal, tapi tak tahu harus menjadi apa. Di sinilah peran guru sejati menjadi vital.

Guru bukan hanya yang mengajar, tapi yang menuntun. Mereka tidak sekadar mengisi kepala, tapi membentuk hati.

Sebagaimana Imam al-Ghazali tulis dalam Bidayatul Hidayah:

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
“Barang siapa tidak memiliki guru, maka setanlah gurunya.”

Kalimat itu tidak bermaksud menakut-nakuti, tetapi mengingatkan bahwa manusia selalu butuh bimbingan. Tanpa guru, seseorang mudah terseret oleh ego dan nafsu yang menyamar sebagai kebenaran.

Ilmu yang Berkah, Bukan Sekadar Banyak

Ilmu yang sejati tidak diukur dari seberapa banyak informasi yang dikuasai, tapi seberapa besar manfaatnya bagi diri dan orang lain. Imam al-Ghazali menulis:

الْعِلْمُ مَا أَثْمَرَ الْعَمَلَ
“Ilmu adalah yang membuahkan amal.”

Beliau menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan hanyalah beban. Bahkan, bisa menjadi sumber kesombongan. Itulah mengapa beliau mengingatkan agar murid tidak menjadikan ilmu sebagai alat untuk menonjolkan diri, tetapi sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan menolong sesama.

Generasi Z perlu memahami bahwa belajar bukan tentang mengejar gelar, tapi tentang mencari keberkahan. Ilmu yang berkah tumbuh dari niat yang bersih, dari guru yang tulus, dan dari murid yang rendah hati.

Menghidupkan Kembali Tradisi Tawasul Ilmu

Dalam tradisi Islam klasik, menuntut ilmu selalu disertai dengan tawasul—menghubungkan diri dengan rantai keilmuan. Setiap guru punya guru, dan setiap ilmu punya sanad. Ini bukan sekadar formalitas, tapi cara menjaga kemurnian ilmu dari kesalahan dan kesombongan.

Imam al-Ghazali menulis bahwa ilmu yang tidak bersumber dari guru seperti air yang keluar dari batu: mungkin ada, tapi tidak mengalir dengan berkah. Karena itu, menghormati guru juga berarti menjaga mata rantai keilmuan yang telah diwariskan turun-temurun.

Untuk Generasi Z yang hidup di dunia terbuka, prinsip ini bisa diartikan ulang. Dalam belajar digital, pastikan sumbernya jelas. Dalam mencari panutan, pastikan nilai-nilainya benar. Guru tidak harus selalu berada di ruang kelas; kadang ia hadir dalam bentuk tulisan, karya, atau keteladanan hidup.

Guru sebagai Amal Jariyah yang Tak Pernah Padam

Salah satu kemuliaan terbesar bagi guru adalah bahwa ilmunya terus hidup meski tubuhnya telah tiada. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Guru berada dalam dua di antaranya: ilmu dan doa murid. Setiap kali seorang murid mengamalkan pelajaran yang pernah ia dapat, guru mendapat bagian dari pahalanya. Itulah mengapa guru disebut pelita—karena mereka membakar diri agar orang lain dapat melihat jalan.

Penutup

Menghormati guru bukan hanya soal etika, tapi juga bentuk syukur atas ilmu yang kita miliki. Dalam setiap keberhasilan, selalu ada doa dan peluh seorang guru di belakangnya.

Imam al-Ghazali menulis dengan sangat lembut dalam Bidayatul Hidayah:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْمَخْلُوقَ لَمْ يَشْكُرِ الْخَالِقَ
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”

Maka, menghargai guru adalah wujud syukur kepada Allah. Karena lewat tangan guru, Allah menyalakan cahaya ilmu di hati kita.

Untuk Generasi Z yang tumbuh di era penuh kebebasan, barangkali pelajaran paling penting bukan tentang “menjadi yang paling tahu,” tapi tentang menjadi yang paling tahu diri.
Dan itu hanya bisa didapat ketika kita belajar dengan rendah hati di hadapan pelita—para guru yang menerangi jalan hidup kita.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement