Surau.co. Di tengah dunia yang makin individualistik, kemampuan untuk memahami dan menghargai hak orang lain terasa seperti kemewahan. Kita sering sibuk dengan pencapaian pribadi, lupa bahwa di setiap langkah kehidupan, ada orang lain yang juga punya hak untuk dihargai. Dalam konteks ini, ajaran klasik Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah terasa menohok: agama bukan hanya urusan ibadah, tapi juga urusan menjaga perasaan dan hak sesama manusia.
Generasi Z—yang tumbuh dengan teknologi, kompetisi, dan kebebasan berekspresi—sering dipuji karena keberaniannya. Namun, di sisi lain, mereka juga rentan kehilangan empati. Dunia digital membuat jarak antara tindakan dan dampaknya terasa kabur. Komentar di media sosial bisa melukai tanpa disadari, dan sikap acuh terhadap sesama dianggap “biasa saja.”
Padahal, Imam al-Ghazali menulis bahwa agama yang tidak melahirkan empati hanyalah ritual tanpa ruh. Beliau berkata dalam Bidayatul Hidayah:
الدِّينُ كُلُّهُ حُسْنُ الْخُلُقِ
“Agama seluruhnya adalah akhlak yang baik.”
Kalimat sederhana itu membawa pesan dalam: bahwa inti dari keberagamaan adalah bagaimana seseorang memperlakukan orang lain.
Hak Orang Lain: Bukan Sekadar Urusan Hukum, Tapi Urusan Hati
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga hak orang lain (huqūq al-‘ibād). Menurut beliau, dosa kepada Allah bisa diampuni dengan tobat, tapi dosa yang menyangkut hak manusia hanya bisa dihapus dengan meminta maaf atau mengembalikan hak tersebut.
وَإِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ لِعَبْدٍ ظَلَمَ غَيْرَهُ حَتَّى يَرْضَى الْمَظْلُومُ
“Allah tidak akan mengampuni seorang hamba yang menzalimi orang lain sampai orang yang dizalimi itu memaafkannya.”
Pesan ini relevan sekali untuk kehidupan modern. Banyak orang merasa dirinya saleh karena rajin ibadah, tapi abai terhadap hak sesama—mengambil ide tanpa izin, menunda janji, memotong antrean, atau meremehkan orang lain hanya karena berbeda pandangan.
Menjaga hak orang lain bukan hanya soal menghindari pelanggaran hukum, tetapi soal kepekaan moral. Ini tentang menahan diri dari menyakiti, menghormati privasi, dan memahami bahwa dunia ini tidak berputar hanya untuk satu orang.
Empati Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Empati bukan konsep baru. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan orang beriman sebagai mereka yang peduli terhadap orang lain.
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Ayat ini menggambarkan tingkat empati tertinggi: rela memberi walau sedang membutuhkan. Ini bukan tentang kehilangan diri, tetapi tentang menemukan makna hidup dalam memberi ruang bagi orang lain.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa keimanan dan empati saling terkait. Iman bukan hanya pernyataan lisan, tetapi refleksi hati yang hidup—yang peka terhadap hak dan perasaan orang lain.
Empati Menurut Imam al-Ghazali: Latihan Hati yang Nyata
Imam al-Ghazali tidak hanya bicara soal teori. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau mengajarkan agar setiap orang berhati-hati terhadap ucapan, tindakan, bahkan pikiran yang bisa menyakiti sesama. Beliau menulis:
إِيَّاكَ أَنْ تَسْتَخِفَّ بِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Jangan sekali-kali kamu meremehkan seorang pun dari kaum Muslimin.”
Beliau mengingatkan bahwa meremehkan orang lain, sekecil apa pun, dapat menjadi awal dari rusaknya hati. Empati dimulai dari kesadaran bahwa setiap orang memiliki nilai yang harus dihormati, bahkan jika kita tidak sepakat dengannya.
Pesan ini terasa penting untuk generasi muda. Di tengah budaya “roasting” dan “sindiran lucu” di media sosial, batas antara bercanda dan merendahkan menjadi kabur. Imam al-Ghazali seolah berpesan kepada anak muda zaman ini: berhati-hatilah, sebab kata bisa jadi bentuk kecil dari kezaliman.
Belajar Empati Sejak Dini: Pendidikan Akhlak yang Terlupakan
Pendidikan agama sering kali berhenti pada hafalan ayat dan hukum. Padahal, inti dari pendidikan agama adalah pembentukan karakter. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa mendidik hati lebih penting daripada sekadar mendidik akal.
Beliau berkata:
تَهْذِيبُ النَّفْسِ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ
“Membersihkan jiwa adalah pangkal segala kebaikan.”
Empati tidak tumbuh dalam semalam. Ia perlu ditanamkan sejak dini, melalui contoh, bukan hanya nasihat. Anak-anak belajar menghormati hak orang lain ketika mereka melihat orang dewasa berlaku adil, meminta maaf, dan berbagi dengan tulus.
Untuk generasi Z, pelajaran ini juga bisa diadaptasi dalam konteks digital. Menghormati hak cipta, tidak menyebar hoaks, menghargai privasi, atau bahkan sekadar menulis komentar dengan sopan adalah bentuk empati modern yang sejalan dengan nilai-nilai Islam klasik.
Menjaga Hak Orang Lain di Dunia Digital
Dunia digital membuka peluang untuk berbuat baik sekaligus berbuat salah. Menyalin karya tanpa izin, menyebar foto pribadi orang lain, atau membuat gosip di grup chat—semuanya adalah bentuk pelanggaran hak yang sering dianggap sepele.
Padahal, prinsip dalam Bidayatul Hidayah tetap berlaku: setiap pelanggaran terhadap hak orang lain akan dimintai pertanggungjawaban. Imam al-Ghazali menulis dengan sangat tegas:
يَوْمُ الْقِيَامَةِ يَكُونُ الْقِصَاصُ بِالْحَقِّ بَيْنَ الْعِبَادِ، فَيُؤْخَذُ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَيُعْطَى لِلْمَظْلُومِ
“Pada hari kiamat, akan dilakukan pembalasan yang adil di antara manusia; kebaikan orang yang menzalimi akan diberikan kepada orang yang dizalimi.”
Bayangkan jika “hak” yang dilanggar bukan hanya barang, tapi juga reputasi atau martabat orang lain. Imam al-Ghazali ingin mengingatkan bahwa dosa sosial seperti itu tidak hilang hanya dengan istighfar; perlu tanggung jawab moral untuk memperbaikinya.
Empati digital, dengan demikian, bukan sekadar sopan santun online. Ia adalah bentuk modern dari menjaga hak orang lain—versi baru dari akhlak lama yang diajarkan para ulama.
Empati sebagai Bentuk Kekuatan, Bukan Kelemahan
Sebagian orang menganggap empati membuat kita lemah, terlalu mudah tersentuh, atau sulit bersikap tegas. Namun, Islam justru mengajarkan sebaliknya: empati adalah kekuatan spiritual.
Nabi Muhammad ﷺ dikenal bukan hanya karena kecerdasannya, tapi karena kelembutan hatinya. Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh darimu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)
Ayat ini menegaskan bahwa empati adalah kekuatan yang menyatukan, bukan kelemahan yang membuat tunduk. Orang yang mampu memahami dan menghormati hak orang lain akan lebih dihormati, karena dari sanalah lahir rasa saling percaya.
Imam al-Ghazali bahkan menyebut empati sebagai tanda hati yang bersih. Beliau menulis:
الرِّقَّةُ عَلَى الْخَلْقِ مِنْ عَظِيمِ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Kelembutan terhadap sesama adalah bagian dari rahmat besar Allah.”
Latihan Empati: Kecil tapi Bermakna
Belajar empati tidak perlu dimulai dari hal besar. Mulailah dari hal kecil: mendengarkan tanpa memotong pembicaraan, meminjam barang dengan izin, mengembalikan tepat waktu, atau menahan komentar pedas di media sosial.
Tindakan kecil seperti itu bisa membentuk karakter besar. Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, akhlak besar dibangun dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari. Beliau menulis:
الْأَخْلَاقُ تُكْتَسَبُ بِالتَّكْرَارِ
“Akhlak diperoleh melalui kebiasaan yang terus diulang.”
Bagi generasi muda, latihan ini adalah bentuk ibadah yang sering terlupakan. Sebab, menjaga hak orang lain bukan hanya membuat hidup damai, tapi juga menjaga martabat diri sebagai manusia yang beriman.
Penutup
Menjaga hak orang lain dan berempati sejak dini bukan hanya soal moral sosial, tapi juga latihan spiritual. Ia menumbuhkan kesadaran bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling cepat atau paling unggul, tetapi siapa yang paling berbuat baik tanpa pamrih.
Imam al-Ghazali seolah berbicara kepada kita hari ini: “Jangan biarkan hatimu keras di tengah dunia yang sibuk. Sebab hati yang lembut lebih berharga daripada semua prestasi yang keras.”
Jadi, di tengah hiruk pikuk dan kompetisi zaman, mungkin langkah paling revolusioner yang bisa kita ambil adalah sederhana: memperlambat diri, menatap sekitar, dan mulai belajar empati—dari hal-hal kecil, dari hari ini juga.
*Gerwin Satria N
Pegiat litarsi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
