Surau.co. Setiap pagi, kita bangun, menyalakan ponsel, dan memulai hari dengan rutinitas yang hampir sama. Jarang ada yang berhenti sejenak untuk bersyukur karena masih bisa membuka mata, menghirup udara segar, atau bahkan menemukan koneksi Wi-Fi yang stabil. Padahal, menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, mensyukuri nikmat kecil adalah salah satu tanda hati yang hidup—hati yang sadar bahwa segala hal datang dari Allah, bukan dari diri sendiri.
Kita sering menunggu “nikmat besar” untuk bersyukur: pekerjaan impian, rumah megah, atau kesuksesan yang bisa diunggah ke media sosial. Padahal, rasa syukur sejati justru diuji lewat hal-hal kecil yang kerap kita abaikan. Seperti rasa lega setelah meneguk air dingin, tawa kecil bersama teman, atau bahkan kemampuan untuk tetap tersenyum di hari yang berat.
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa kebiasaan hati dalam menghargai nikmat kecil akan menjadi benteng dari keserakahan dan ketamakan. Beliau menulis:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Siapa yang tidak bersyukur atas nikmat yang kecil, maka ia tidak akan bersyukur atas nikmat yang besar.”
Kata-kata itu seperti tamparan lembut di tengah budaya yang serba membandingkan. Di era ketika standar kebahagiaan ditentukan oleh apa yang tampak di layar, bersyukur atas hal sederhana menjadi bentuk perlawanan spiritual yang paling sunyi tapi paling kuat.
Makna Syukur: Lebih dari Sekadar Ucapan “Alhamdulillah”
Kebanyakan orang memahami syukur sebatas ucapan di bibir. Padahal, menurut Al-Qur’an, syukur bukan hanya soal kata, tapi juga kesadaran dan tindakan. Allah berfirman:
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Beramallah, wahai keluarga Daud, sebagai bentuk syukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’ [34]: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa syukur sejati tidak berhenti di ucapan, tapi berlanjut dalam tindakan nyata. Bersyukur berarti menggunakan nikmat dengan cara yang baik, tidak berlebihan, dan tidak menyakiti orang lain. Imam al-Ghazali menafsirkan syukur sebagai perpaduan antara pengakuan hati, pujian lisan, dan pemanfaatan nikmat secara benar.
Beliau menulis:
الشُّكْرُ هُوَ مَعْرِفَةُ النِّعْمَةِ مِنَ الْمُنْعِمِ وَاسْتِعْمَالُهَا فِي مَرْضَاتِهِ
“Syukur adalah mengenal nikmat dari Pemberi Nikmat, dan menggunakannya dalam hal yang diridai-Nya.”
Artinya, bersyukur atas kesehatan berarti menjaga tubuh dari hal yang merusak. Bersyukur atas rezeki berarti tidak menghamburkannya. Bersyukur atas waktu berarti menggunakannya untuk kebaikan. Bagi generasi Z yang hidup di tengah distraksi dan konsumsi cepat, bentuk syukur seperti ini terasa lebih nyata daripada sekadar caption panjang di media sosial.
Mengapa Hati Mudah Lupa Bersyukur
Kita sering lupa bersyukur bukan karena kurang nikmat, tapi karena terlalu sering membandingkan. Melihat hidup orang lain seolah lebih berwarna membuat hidup sendiri tampak kusam. Padahal, menurut Al-Qur’an:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ayat ini mengandung logika sederhana tapi mendalam: rasa syukur menambah nikmat, sedangkan keluh kesah menguranginya. Namun, di dunia yang sibuk mengejar lebih banyak, bersyukur terasa seperti kehilangan momentum. Kita lupa bahwa ketidakpuasan bukan tanda ambisi sehat, melainkan tanda hati yang tidak tenang.
Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menyebut bahwa penyakit hati seperti serakah dan iri sering berakar dari kurangnya rasa syukur. Beliau menerangkan bahwa:
الْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى
“Qana‘ah (merasa cukup) adalah harta yang tidak akan pernah habis.”
Bersyukur melatih kita untuk menghargai apa yang ada, bukan menyesali apa yang hilang. Sebab hati yang serakah tidak akan pernah puas, bahkan jika dunia diserahkan kepadanya.
Nikmat Kecil: Cermin Kepekaan Hati
Bagi sebagian orang, nikmat kecil terasa terlalu sepele untuk disyukuri. Tapi justru dari situlah latihan hati dimulai. Imam al-Ghazali menulis bahwa orang yang peka terhadap nikmat kecil akan lebih mudah melihat kebesaran Tuhan dalam setiap detik hidupnya.
النِّعَمُ تَكْثُرُ عَلَى الْعَبْدِ وَلَا يَرَاهَا إِلَّا مَنْ نُوِّرَ قَلْبُهُ
“Nikmat Allah itu banyak atas diri hamba, namun hanya yang hatinya bercahaya yang mampu melihatnya.”
Nikmat bisa berupa rasa damai setelah salat, udara yang menenangkan di sore hari, atau bahkan kemampuan untuk menahan diri dari amarah. Orang yang terbiasa mengucap syukur atas hal-hal kecil akan lebih tenang saat menghadapi ujian besar, karena hatinya sudah terlatih melihat cahaya di tengah kegelapan.
Untuk generasi muda, latihan ini penting. Di tengah arus informasi dan pencapaian semu, bersyukur adalah cara paling elegan untuk tetap waras. Ia bukan sekadar sikap religius, tetapi juga bentuk kesehatan mental yang menumbuhkan rasa cukup dan ketenangan batin.
Syukur dan Anti-Serakah: Dua Wajah dari Satu Cermin
Serakah bukan hanya soal harta, tapi juga soal pengakuan, perhatian, dan rasa ingin lebih dari orang lain. Ketika rasa syukur lemah, hati menjadi rakus tanpa batas. Imam al-Ghazali menyebut keserakahan sebagai “penyakit hati yang membuat manusia lupa pada Sang Pemberi.”
Beliau berkata:
الطَّمَعُ يُعْمِي الْقَلْبَ وَيُضَيِّقُ الصَّدْرَ
“Tamak (serakah) membutakan hati dan menyempitkan dada.”
Keserakahan membuat manusia mengejar bayangan, bukan cahaya. Ia membuat seseorang selalu merasa kurang, bahkan di tengah kelimpahan. Sementara rasa syukur membuat kita sadar bahwa yang sedikit pun bisa cukup, selama hati tenang.
Syukur dan keserakahan tidak bisa hidup berdampingan. Jika salah satunya hadir, yang lain pasti pergi. Maka, latihan bersyukur atas nikmat kecil bukan hanya soal kebaikan moral, tapi juga cara menyehatkan hati agar tidak diperbudak keinginan.
Melatih Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana caranya melatih syukur di tengah rutinitas modern yang sibuk? Imam al-Ghazali memberi panduan sederhana dalam Bidayatul Hidayah: mulai dari mengenali nikmat, menyebutnya dengan lisan, lalu menggunakannya dalam kebaikan. Tiga langkah itu terlihat sederhana, tapi dampaknya besar bagi kebersihan hati.
- Mengenali nikmat: Luangkan waktu untuk merenung sejenak. Tanyakan, “Apa hal baik yang aku miliki hari ini?” Bisa jadi hanya udara segar, tawa kecil, atau teman yang mendengarkan tanpa menghakimi.
- Menyebut dengan lisan: Biasakan mengatakan “Alhamdulillah” dengan sadar, bukan sekadar refleks. Saat menyebutnya, bayangkan betapa rapuh hidup tanpa nikmat itu.
- Menggunakannya dalam kebaikan: Nikmat hanya bermakna ketika dimanfaatkan untuk hal yang diridai Allah—seperti ilmu untuk membantu orang lain, waktu untuk ibadah, atau rezeki untuk berbagi.
Ketiga langkah ini, jika dilakukan terus-menerus, akan membentuk kepekaan spiritual yang membuat hati tenang, tidak iri, dan tidak serakah.
Generasi Z dan Tantangan Rasa Cukup
Generasi Z tumbuh di era di mana segalanya diukur oleh “lebih”: lebih cepat, lebih viral, lebih produktif. Di tengah arus ini, bersyukur menjadi latihan melawan arus. Bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi menempatkan ambisi pada tempatnya.
Rasa cukup bukan musuh kesuksesan; justru fondasinya. Orang yang tahu bersyukur bekerja dengan tenang, bukan karena ingin diakui, tapi karena sadar hidupnya sudah penuh makna.
Dalam konteks ini, ajaran Imam al-Ghazali terasa sangat relevan: bersyukur adalah seni menenangkan diri di tengah kekacauan. Beliau seolah berbicara pada generasi yang mudah gelisah karena terlalu banyak keinginan, dengan pesan sederhana: “Hati yang merasa cukup akan selalu damai, meski dunia belum sempurna.”
Penutup
Pada akhirnya, bersyukur atas nikmat kecil adalah bentuk cinta yang paling sunyi kepada Sang Pemberi. Ia tidak butuh panggung, tidak butuh tepuk tangan, hanya butuh hati yang sadar. Imam al-Ghazali berkata:
الشُّكْرُ يُنِيرُ الْقَلْبَ كَمَا تُنِيرُ الشَّمْسُ الْأَرْضَ
“Syukur menerangi hati sebagaimana matahari menerangi bumi.”
Mungkin dunia tidak berubah ketika kamu mengucap “Alhamdulillah”, tapi hatimu akan terasa lebih ringan. Sebab setiap syukur adalah pengingat bahwa kamu sudah punya cukup alasan untuk bahagia hari ini.
Maka, sebelum tidur malam nanti, cobalah berhenti sejenak. Tarik napas pelan, lalu ucapkan, “Terima kasih, Ya Allah, untuk hari ini.” Mungkin tidak ada hal besar yang terjadi, tapi siapa tahu justru di sanalah kebahagiaan sejati bersembunyi—dalam nikmat kecil yang sering terlewatkan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
