Khazanah
Beranda » Berita » Sabar dan Pemaaf: Dua Akhlak yang Membuat Hidup Ringan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Sabar dan Pemaaf: Dua Akhlak yang Membuat Hidup Ringan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Ilustrasi sabar dan pemaaf sebagai akhlak yang membuat hidup ringan menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Seorang pemuda duduk di tepi danau dengan wajah tenang, sementara langit di atasnya mendung tapi muncul seberkas cahaya matahari. Nuansa realistik dan filosofis.

Surau.co. Di zaman ketika notifikasi datang setiap detik, sabar terasa seperti keterampilan yang ketinggalan zaman. Segala hal ingin serba cepat—makanan cepat saji, pengiriman instan, bahkan cinta kilat. Namun, justru di tengah kecepatan itulah, sabar dan pemaaf menjadi dua akhlak yang paling sulit tetapi paling dibutuhkan.

Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengingatkan bahwa kesabaran dan pemaaf adalah kunci kebersihan hati. Beliau menulis bahwa seorang hamba yang sabar terhadap ujian dan memaafkan kesalahan orang lain bukanlah orang lemah, tetapi orang yang paling kuat, karena mampu menahan diri dari gejolak amarah.

Sikap sabar bukan berarti diam tanpa perasaan, dan memaafkan bukan tanda kalah. Keduanya adalah kekuatan jiwa yang lahir dari kesadaran bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk diri kita sendiri.

Kesabaran: Kekuatan Sunyi yang Menenangkan

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk bersabar berkali-kali. Salah satunya dalam firman-Nya:

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Bersabarlah, dan kesabaranmu itu tidak lain hanyalah dengan pertolongan Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 127)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kesabaran dalam pandangan Islam bukanlah sikap pasif, melainkan bentuk keaktifan batin. Sabar berarti mengendalikan diri ketika keinginan ingin meledak, ketika emosi ingin mengambil alih. Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis:

اِعْلَمْ أَنَّ الصَّبْرَ مِنْ أَعْظَمِ الْأَخْلَاقِ وَمِنْ خِصَالِ الْأَتْقِيَاءِ
“Ketahuilah bahwa sabar adalah salah satu akhlak yang paling mulia dan termasuk sifat orang-orang bertakwa.”

Bagi generasi Z yang hidup di dunia serba cepat, sabar bisa jadi terasa seperti perlambatan yang menyiksa. Namun sesungguhnya, sabar bukan tentang menunggu, tapi tentang menguatkan hati di tengah ketidakpastian. Ketika Wi-Fi lemot, ketika impian belum tercapai, atau ketika disalahpahami orang lain—itulah momen latihan sabar yang sebenarnya.

Tiga Wajah Kesabaran Menurut al-Ghazali

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa sabar memiliki tiga bentuk. Pertama, sabar dalam ketaatan, yakni menahan diri agar tetap konsisten beribadah walau malas melanda. Kedua, sabar dalam menjauhi maksiat, menahan godaan yang tampak manis tapi berujung pahit. Ketiga, sabar dalam menghadapi takdir Allah, menerima cobaan dengan hati lapang.

Beliau menulis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

الصَّبْرُ ثَلَاثَةٌ: عَلَى الطَّاعَةِ، وَعَنِ الْمَعْصِيَةِ، وَعَلَى الْبَلَاءِ
“Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi ujian.”

Dalam konteks kekinian, sabar bisa berarti menahan diri untuk tidak membalas komentar negatif di media sosial, tetap belajar meski tidak viral, atau terus berbuat baik walau tidak dipuji. Sabar adalah bentuk keteguhan, bukan kelemahan. Ia menenangkan, tapi juga menantang.

Pemaaf: Seni Melepaskan Luka

Jika sabar adalah menahan, maka memaafkan adalah melepaskan. Dua-duanya sama-sama berat, tapi keduanya juga sama-sama meringankan hidup. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur [24]: 22)

Imam al-Ghazali menulis dalam Bidayatul Hidayah bahwa orang yang mampu memaafkan adalah orang yang hatinya paling dekat dengan rahmat Allah. Beliau berkata:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

مَنْ عَفَا وَصَفَحَ عَمَّنْ ظَلَمَهُ أَظْهَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ نُورَ الرِّضَا
“Siapa yang memaafkan dan berlapang dada terhadap orang yang menzaliminya, Allah akan menampakkan cahaya keridaan pada wajahnya.”

Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi berhenti membawa luka itu ke mana-mana. Generasi muda yang hidup dalam tekanan sosial dan persaingan sering menumpuk luka batin dari komentar, kegagalan, dan pengkhianatan kecil. Namun, al-Ghazali ingin kita tahu: memaafkan adalah cara paling cerdas untuk melindungi kedamaian diri.

Mengapa Sulit Memaafkan?

Memaafkan sulit karena ego manusia ingin keadilan segera. “Aku disakiti, maka dia harus merasakan hal yang sama,” begitu kata hati. Tapi Islam mengajarkan bentuk keadilan yang lebih tinggi: memberi maaf ketika bisa membalas.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Sedekah tidak akan mengurangi harta, dan Allah tidak akan menambah seseorang dengan sifat pemaaf kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa memaafkan bukan kelemahan, tetapi kebesaran jiwa. Orang yang mampu memaafkan tidak kehilangan harga diri; justru bertambah mulia. Karena ia mengendalikan sesuatu yang lebih liar dari singa: amarahnya sendiri.

Kesabaran dan Pemaaf dalam Dunia Nyata

Bayangkan dua situasi sederhana: kamu disalahpahami teman dekat, dan kamu diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Dua-duanya membuat hati panas. Namun, kesabaran mengajarkan kita untuk tidak tergesa-gesa menilai, sedangkan sifat pemaaf mengajarkan kita untuk tidak menyimpan dendam.

Imam al-Ghazali menggambarkan hati manusia seperti cermin. Jika penuh amarah, ia buram. Tapi ketika pemaaf, ia jernih dan mampu memantulkan cahaya kebaikan. Beliau menulis:

الْقَلْبُ إِذَا طَهُرَ مِنَ الْغِلِّ وَالْحِقْدِ أَصْبَحَ مَحَلًّا لِنُورِ اللَّهِ
“Hati yang bersih dari dendam dan kebencian menjadi tempat bagi cahaya Allah.”

Artinya, sabar dan pemaaf bukan hanya urusan etika, tapi juga jalan spiritual. Dengan memaafkan, kamu bukan membebaskan orang lain, tetapi membebaskan dirimu sendiri dari belenggu kebencian.

Generasi Z dan Tantangan Emosi

Generasi Z dikenal sebagai generasi paling ekspresif, paling vokal, tapi juga paling cepat lelah secara emosional. Di dunia yang serba transparan, di mana semua orang bisa berkomentar, tantangan terbesar bukan lagi mencari validasi, tapi menjaga hati agar tidak terbakar oleh emosi.

Sabar dan pemaaf menjadi coping mechanism paling spiritual. Sabar membuat kita tidak reaktif terhadap tekanan, sedangkan memaafkan mencegah kita membawa trauma ke masa depan. Dua akhlak ini membuat hidup terasa ringan, meskipun kenyataan tetap berat.

Dalam gaya hidup modern yang penuh tekanan, kesabaran dan pemaaf bukan hanya ajaran agama, tapi juga bentuk kesehatan mental spiritual.

Belajar dari Rasulullah ﷺ

Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan tertinggi dalam hal kesabaran dan pemaafan. Beliau difitnah, diusir, dan disakiti, tapi tetap memaafkan. Ketika beliau menaklukkan Makkah, musuh-musuh yang dulu menyakitinya berdiri gemetar menanti pembalasan. Namun Rasulullah hanya berkata:

اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah, kalian semua bebas.”

Itulah puncak kemanusiaan: bisa membalas tapi memilih tidak. Imam al-Ghazali memuji akhlak Nabi ini dalam Bidayatul Hidayah sebagai puncak kesabaran dan keindahan pemaaf. Beliau menulis bahwa orang yang meneladani Nabi dalam hal ini akan hidup dengan hati yang ringan, karena tidak membawa beban kebencian dalam perjalanan hidupnya.

Menemukan Kedamaian dalam Dua Akhlak Ini

Sabar dan pemaaf seperti dua sayap bagi jiwa manusia. Tanpa keduanya, hidup terasa berat. Dengan keduanya, hidup mengalir lebih lembut. Orang yang sabar bisa menunggu waktu terbaik Tuhan, dan orang yang pemaaf bisa berjalan tanpa menoleh ke masa lalu.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan janji untuk orang yang sabar:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153)

Dan untuk orang yang pemaaf:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura [42]: 40)

Kedua akhlak ini membuat hidup terasa lebih ringan karena hati tidak lagi terikat oleh rasa sakit, kecewa, dan amarah. Mereka yang sabar dan pemaaf hidup dengan kesadaran: tidak semua hal perlu dibalas, dan tidak semua luka perlu diperpanjang.

Penutup

Sabar dan pemaaf adalah seni yang tidak diajarkan algoritma. Keduanya tumbuh dari latihan batin dan ketulusan. Imam al-Ghazali menulis:

لَا يَصِلُ الْعَبْدُ إِلَى مَرَاتِبِ الرِّضَا إِلَّا بِالصَّبْرِ وَالْعَفْوِ
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat keridaan kecuali dengan sabar dan memaafkan.”

Maka, ketika dunia terasa terlalu berat, mungkin bukan karena beban di pundak, tapi karena luka di hati yang belum dilepaskan. Belajarlah sabar, karena di balik sabar ada kekuatan. Belajarlah memaafkan, karena di balik maaf ada kebebasan.

Hidup memang tidak selalu mudah, tapi dengan sabar dan pemaaf, hidup selalu terasa lebih ringan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement