Khazanah
Beranda » Berita » Rendah Hati Bukan Rendah Diri: Menjadi Hebat Tanpa Sombong

Rendah Hati Bukan Rendah Diri: Menjadi Hebat Tanpa Sombong

Ilustrasi rendah hati sebagai kekuatan batin menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Seorang anak muda berdiri di trotoar jalan kota dengan wajah tenang dan senyum lembut, Nuansa realistik, filosofis, dan hangat.

Surau.co. Di era ketika semua hal bisa diunggah dan diukur dengan “like”, rendah hati sering terasa seperti barang langka. Banyak orang ingin terlihat hebat, tapi sedikit yang ingin benar-benar baik. Ada yang mengira rendah hati berarti menutupi potensi, padahal justru di sanalah letak keindahan jiwa manusia.

Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengingatkan bahwa kehebatan sejati tidak pernah lahir dari kesombongan, tapi dari kesadaran diri akan kebesaran Tuhan. Menurut beliau, seseorang bisa berilmu, kaya, bahkan berpengaruh—namun tetap tunduk dan tidak memandang remeh siapa pun. Inilah makna sejati rendah hati yang kini perlu direfleksikan ulang oleh generasi muda yang hidup di tengah budaya “self-branding”.

Bagi generasi Z yang tumbuh di dunia digital, rendah hati bukan berarti diam di pojok dan pasrah. Sebaliknya, rendah hati berarti tahu nilai diri tanpa merasa lebih tinggi dari orang lain.

Kesombongan: Racun yang Halus Tapi Mematikan

Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan manusia tentang bahayanya sombong. Firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kesombongan bukan sekadar sikap menatap orang lain dari atas ke bawah. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih halus—merasa paling benar, paling tahu, atau bahkan paling rendah hati. Ironis, bukan?

Imam al-Ghazali menyebut kesombongan sebagai penyakit hati yang tersembunyi namun berbahaya. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:

إِيَّاكَ وَالْكِبْرَ، فَإِنَّهُ يُحْبِطُ الْأَعْمَالَ كَمَا تُحْبِطُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah kesombongan, karena ia dapat membatalkan amal seperti api yang membakar kayu.”

Menurut beliau, orang yang sombong tak hanya menjauh dari manusia, tapi juga dari rahmat Allah. Sombong adalah bentuk halus dari lupa diri—sebuah ilusi bahwa keberhasilan datang semata dari usaha pribadi, bukan karena karunia Tuhan.

Di dunia digital, kesombongan bisa menjelma jadi “humble brag”: menampilkan kerendahan hati secara mencolok untuk dipuji. Inilah versi modern dari penyakit lama: riya yang disamarkan.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Rendah Hati Menurut Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa rendah hati (tawadhu’) bukan berarti merendahkan diri, melainkan menempatkan diri sesuai kenyataan. Beliau menulis:

التَّوَاضُعُ أَنْ تَعْرِفَ قَدْرَ نَفْسِكَ فَتَنْزِلَهَا مَنْزِلَتَهَا
“Rendah hati adalah mengenali kadar dirimu dan menempatkannya pada tempat yang semestinya.”

Maknanya dalam sekali: rendah hati bukan berarti menolak pujian atau mengabaikan kemampuan diri. Justru sebaliknya, orang yang rendah hati sadar bahwa kelebihannya adalah amanah. Ia berbuat tanpa merasa lebih mulia, dan belajar tanpa takut terlihat kurang.

Generasi muda sering terjebak dalam dua ekstrem: merasa paling hebat atau merasa tak berharga. Padahal, tawadhu’ adalah jalan tengah: berani mengakui potensi tanpa menuhankan diri.

Kisah Nabi Sebagai Cermin Rendah Hati

Rasulullah ﷺ, manusia terbaik yang pernah hidup, justru dikenal sebagai sosok yang paling rendah hati. Beliau pernah bersabda:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)

Beliau makan bersama para sahabat tanpa merasa lebih tinggi, menambal sandalnya sendiri, dan duduk di lantai tanpa merasa hina. Dalam pandangan beliau, kemuliaan bukan diukur dari posisi sosial, tapi dari hati yang bersih dan bebas dari kesombongan.

Bayangkan jika nilai ini diterapkan hari ini. Seorang influencer yang punya jutaan pengikut tapi tetap bersikap rendah hati; seorang mahasiswa berprestasi yang tetap menghargai teman sekelasnya; seorang pemimpin muda yang tidak merasa paling benar. Dunia akan terasa lebih teduh.

Antara Rendah Hati dan Rendah Diri

Sering kali orang salah paham: dikira rendah hati sama dengan minder. Padahal keduanya berlawanan arah. Orang rendah diri merasa tak layak; orang rendah hati sadar dirinya berharga tapi tidak sombong.

Imam al-Ghazali mengajarkan bahwa rendah diri bisa menjadi bisikan setan yang menyamarkan keputusasaan. Sementara rendah hati adalah cermin dari iman. Beliau menulis:

لَا يَتَوَاضَعُ لِلَّهِ إِلَّا مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ وَقَدْرَ رَبِّهِ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali orang yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya.”

Artinya, orang rendah hati memiliki kesadaran spiritual: ia tahu bahwa kelebihan dirinya tidak membuatnya istimewa, karena semuanya berasal dari Allah.

Generasi Z, dengan segala semangatnya mengejar pencapaian, perlu menanamkan prinsip ini. Kamu boleh tampil, boleh berkarya, boleh bersinar—tapi ingat bahwa sinarmu datang dari cahaya yang lebih besar.

Kesombongan Intelektual dan Sosial Media

Salah satu bentuk kesombongan paling halus di zaman ini adalah kesombongan intelektual. Banyak orang merasa paling bijak hanya karena membaca beberapa buku atau mengikuti diskusi filsafat. Imam al-Ghazali sendiri adalah ulama besar yang juga filsuf, tapi beliau menulis Bidayatul Hidayah justru sebagai panduan agar ilmu tidak membuat orang sombong.

Beliau mengingatkan:

فَإِنَّ الْعِلْمَ إِذَا لَمْ يُعْمَلْ بِهِ صَارَ حُجَّةً عَلَى صَاحِبِهِ
“Ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi bumerang bagi pemiliknya.”

Media sosial kini menjadi ruang besar bagi kesombongan terselubung. Kita berlomba menunjukkan pencapaian, kebaikan, bahkan kedermawanan. Tapi al-Ghazali akan mengingatkan: amal yang disertai ujub (bangga diri) lebih berbahaya daripada dosa kecil.

Rendah hati berarti menahan diri dari ingin diakui terus-menerus. Karena sejatinya, orang hebat tidak perlu berkata “aku hebat”.

Cara Melatih Hati agar Tidak Sombong

Imam al-Ghazali memberikan langkah-langkah praktis agar seseorang bisa menumbuhkan rendah hati. Pertama, ingat asal-usulmu. Beliau menulis bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tidak ada alasan untuk menyombongkan sesuatu yang fana.

Kedua, bergaullah dengan orang sederhana. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menasihati agar orang berilmu tidak hanya bergaul dengan sesama cendekia, tapi juga dengan rakyat biasa—agar hatinya tetap lembut.

Ketiga, hindari memuji diri sendiri, baik secara terang-terangan maupun tersirat. Bahkan dalam hati sekalipun, Imam al-Ghazali menyarankan agar kita mengingat bahwa masih banyak yang lebih baik di sisi Allah.

Dalam konteks hari ini, langkah-langkah itu bisa berarti sederhana: tidak membandingkan diri di media sosial, tidak menyombongkan pencapaian, dan belajar mendengarkan orang lain tanpa menghakimi.

Rendah Hati dalam Dunia Profesional dan Pendidikan

Bagi generasi muda yang sedang meniti karier atau studi, rendah hati adalah modal sosial yang tak kalah penting dari skill. Orang yang rendah hati cenderung mudah diterima di lingkungan mana pun, karena tidak membuat orang lain merasa kecil.

Rendah hati juga membuka pintu pembelajaran tanpa batas. Orang sombong berhenti belajar karena merasa sudah tahu segalanya, sementara orang rendah hati selalu lapar akan ilmu. Dalam bahasa Imam al-Ghazali:

مَنْ لَمْ يَتَوَاضَعْ لِلْعِلْمِ لَا يَنْتَفِعْ بِهِ
“Siapa yang tidak rendah hati terhadap ilmu, tidak akan memperoleh manfaat darinya.”

Di ruang kerja, orang yang rendah hati bukan berarti tidak percaya diri, tapi ia tahu kapan harus bicara dan kapan harus mendengar. Dalam dunia pendidikan, ia menghargai setiap guru dan teman belajar, bukan hanya mereka yang dianggap “sepemikiran”.

Ketenangan yang Lahir dari Kerendahan Hati

Rendah hati bukan hanya sikap sosial, tapi juga sumber ketenangan batin. Orang yang rendah hati tidak sibuk membandingkan diri, tidak gelisah mencari pengakuan, dan tidak takut kehilangan reputasi.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan hamba yang rendah hati dengan indah:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah mereka yang berjalan di bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan [25]: 63)

Ayat ini bukan hanya tentang cara berjalan, tapi cara hidup—pelan, lembut, dan tidak meninggikan diri. Dalam ketenangan semacam itu, seseorang menemukan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli atau diunggah.

Penutup

Rendah hati bukan sekadar perilaku sopan; ia adalah spiritualitas yang hidup. Ia menjadikan seseorang besar tanpa menindas, cerdas tanpa merendahkan, dan berpengaruh tanpa merasa paling benar.

Imam al-Ghazali menutup pesan-pesannya dalam Bidayatul Hidayah dengan kalimat reflektif:

إِذَا رَأَيْتَ نَفْسَكَ فَوْقَ غَيْرِكَ فَاعْلَمْ أَنَّ ذَلِكَ مِنْ جَهْلِكَ بِنَفْسِكَ
“Jika engkau melihat dirimu lebih tinggi dari orang lain, ketahuilah bahwa itu tanda kebodohanmu terhadap dirimu sendiri.”

Rendah hati adalah seni mengenal diri: tahu batas, tahu asal, dan tahu arah pulang. Dalam dunia yang sibuk menunjukkan pencapaian, rendah hati adalah bentuk perlawanan sunyi yang elegan. Karena yang benar-benar hebat tidak perlu terlihat tinggi—ia cukup membuat dunia di sekitarnya terasa lebih ringan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement