SURAU.CO. Di tengah pesatnya perkembangan zaman, hijab telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar penutup kepala. Ia kini menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup, khususnya bagi muslimah. Media sosial dipenuhi dengan potret-potret “hijabers” yang tampil modis, kreatif, dan berpengaruh.
Mereka menampilkan perpaduan antara religiusitas dan gaya modern, mempopulerkan busana muslimah yang elegan dan percaya diri. Namun, di balik keindahan visual ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah makna hijab sebagai tanda ketundukan kepada Allah Swt masih tetap relevan, ataukah ia telah bergeser menjadi tren yang kehilangan ruh spiritual?
Hijab: Dari Simbol Keagamaan Menuju Ekspresi Budaya Populer
Transformasi hijab menjadi bagian dari budaya populer adalah fenomena menarik. Dulu, hijab identik dengan kesalehan dan kepatuhan namun kini, ia juga menjadi bagian dari industri fashion dan media. Banyak muslimah yang berhijab untuk alasan yang beragam, mulai dari tuntutan citra, kebutuhan pekerjaan, hingga mengikuti tren digital.
Ini bukanlah sekadar persoalan pakaian, melainkan cerminan perubahan nilai dalam masyarakat muslim modern. Ada pergeseran antara keimanan yang tulus dan keinginan untuk tampil menarik.
Tantangan Kini: Hijab yang Mudah Dipakai, Sulit Dimaknai
Era digital menghadirkan tantangan tersendiri. Hijab menjadi lebih mudah diakses dan dipraktikkan, namun maknanya justru semakin kompleks. Banyak yang berhijab hanya untuk terlihat, bukan karena dorongan batin untuk tunduk kepada Allah Swt. Ini memicu pertanyaan krusial: apakah hijab ini lahir dari hati yang tulus, ataukah sekadar bentuk pencitraan diri?
Mengungkap Paradoks: Antara Syariat dan Gaya
Dalam Islam, hijab bukan hanya sekadar menutup rambut. Ia adalah bagian dari sistem moral dan spiritual yang melindungi kehormatan diri seorang muslimah. Allah Swt berfirman dalam QS. An-Nur ayat 31:
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya.”
Ayat ini menekankan pentingnya menutup aurat secara menyeluruh, serta menghindari pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh. Namun, kita seringkali menyaksikan paradoks: jilbab panjang dipadukan dengan pakaian ketat atau transparan. Pakaian yang seharusnya melindungi justru menjadi sarana menampilkan diri. Rasulullah Saw bersabda:
“Akan ada di akhir zaman wanita-wanita berpakaian tetapi telanjang…” (HR. Muslim).
Hadis ini menjadi pengingat bagi kita. Media sosial turut andil dalam menormalisasi gaya berpakaian yang terkadang jauh dari nilai kesederhanaan. Influencer muslimah seringkali menafsirkan hijab hanya sebagai tren estetika. Padahal, hijab sejatinya berakar pada bagaimana Allah Swt menilai kita, bukan bagaimana orang lain melihat.
Menjaga Makna: Antara Hijrah dan Edukasi
Kita juga perlu bersikap bijak. Tidak semua penampilan yang kurang sesuai dengan syariat berarti niatnya salah. Banyak anak muda yang baru memulai perjalanan hijrah, masih dalam proses mencari bentuk pemahaman terbaik. Pendekatan yang diperlukan adalah edukasi yang lembut dan inspiratif, bukan penghakiman terhadap mereka.
Lantas bagaimana cara berhijab islami namun tetap tampil modis?
- Pilihlah Pakaian yang Sesuai Syariat: Utamakan pakaian yang longgar, tidak transparan, dan menutup seluruh aurat. Kita tetap bisa tampil elegan dengan permainan warna lembut, motif sederhana, dan aksesori yang tidak berlebihan.
- Utamakan Kesopanan: Pilihlah kain yang menutupi dada, warna yang tidak mencolok, dan bahan yang tidak membentuk tubuh. Kesopanan akan membuat kita tampil lebih anggun di mata Allah Swt.
- Jadikan Hijab sebagai Cerminan Akhlak: Senyum, tutur kata yang lembut, dan adab yang baik adalah “hiasan” terbaik bagi seorang muslimah, melebihi perhiasan duniawi.
Hijab: Perjalanan Spiritual, Bukan Sekadar Penampilan
Hijab kini bukan sekadar kain yang menutupi tubuh, melainkan perjalanan spiritual yang menuntut kesadaran dan kejujuran batin. Di tengah budaya digital yang menyanjung citra, sering kali nilai bergeser menjadi tampilan. Banyak yang sibuk memperindah hijab di cermin, namun lupa bercermin pada hati. Padahal, makna sejati hijab bukan hanya pada bentuknya, tetapi pada niat yang menuntunnya yaitu menundukkan hati dari kesombongan, menjaga pandangan, dan menenangkan jiwa dari hiruk pikuk dunia.
Menutup aurat bukan berarti memadamkan keindahan, melainkan memuliakannya. Keindahan yang hakiki tidak terletak pada warna atau model, melainkan pada hati yang tunduk kepada Tuhannya. Maka sebelum bertanya, “Apakah hijabku sudah modis?”, cobalah bertanya lebih dalam, “Apakah hijabku sudah mendekatkanku kepada Allah Swt?” Di situlah letak kemuliaan seorang Muslimah — bukan pada sorot kamera, tetapi pada cahaya iman yang memancar dari ketulusan dirinya.
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26)
Semoga setiap helai kain yang kita kenakan menjadi saksi ketaatan, bukan sekadar simbol penampilan.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
