Khazanah
Beranda » Berita » Muhammad bin Idris: Mujtahid Jembatan Pemikiran Rasionalis dan Tradisionalis

Muhammad bin Idris: Mujtahid Jembatan Pemikiran Rasionalis dan Tradisionalis

Muhammad bin Idris: Mujtahid Jembatan Pemikiran Rasionalis dan Tradisionalis
Ilustrasi seorang ulama menuliskan pemikirannya.

SURAU.CO– Nama lengkap tokoh besar ini ialah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abdi Manaf bin Qushay; kakek Nabi Muhammad Saw. Panggilan sehari-harinya ialah Abu Abdullah.

Ada perbedaan pendapat para ahli mengenai tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i ini. Sebagian mengatakan ia lahir di Gaza. Pendapat ini didasarkan pada suatu riwayat bahwa orang tuanya, Idris, pernah bermimpi merasa tidak cocok tinggal di Makkah. Karena itu, ia pindah ke Gaza. Di tempat ini, mereka tinggal untuk waktu yang cukup lama. Akan tetapi, setelah Imam asy-Syafi’i lahir, ayahnya meninggal dunia.

Terlahir sebagai anak yang sangat cerdas

Sebagian lain berpendapat bahwa Imam asy-Syafi’i lahir di Asqalan. Pada usia dua tahun, ibunya merasa khawatir kehilangan kerabatnya. Karena itu, ia segera menuju Makkah, tempat ayah dan moyangnya. Di tempat ini, sang ibu mengasuh dan mendidik Imam asy-Syafi’i sampai usia belajar. Sesudah itu, ia menyerahkan Imam asy-Syafi’i kepada guru al-Qur’an. Akibat kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, pendidikan Imam asy-Syafi’i tersia-sia. Ia kurang mendapatkan perhatian yang serius dari gurunya. Untungnya, anak ini sangat cerdas. Ia dengan mudah menyerap pelajaran yang gurunya berikan dengan baik. Tidak jarang, ia mengajarkan kembali ilmu yang diperolehnya kepada teman-temannya begitu guru mereka meninggalkan kelas. Berkat kepandaian dan kebaikan Imam asy-Syafi’i seperti itu, gurunya membebaskan ia dari biaya sekolahnya. Keadaan ini berlangsung sampai ia hafal al-Qur’an. Waktu itu, usianya baru sekitar tujuh atau sembilan tahun.

Pencarian Ilmu Fikih

Begitu tamat belajar, Imam asy-Syafi’i segera pergi ke kampung Hudzail yang terkenal dengan kehalusan bahasanya. Imam asy-Syafi’i dengan tekun mempelajari bahasa dan sastra Arab dari kampung ini. Melihat kecerdasan dan keseriusannya dalam menuntut ilmu, masyarakat menganjurkannya belajar ilmu fikih. Dari sini, ia berangkat ke Makkah dan mulai belajar fikih kepada Muslim bin Khalid az-Zinji, Sufyan bin Uyaynah al-Hilali, dan lain-lain. Suatu hari, az-Zinji mengatakan kepada Imam asy-Syafi’i: “Abu Abdillah, sekarang sudah waktunya engkau berfatwa.” Usia Imam asy-Syafi’i ketika itu belum genap dua puluh tahun.

Pertemuan dengan Imam Malik

Pada waktu di Makkah, popularitas kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas sudah Imam asy-Syafi’i dengar. Ia sangat berharap dapat memperoleh kitab itu dan menghafalkannya. Ia juga sangat rindu ingin bertemu dengan pengarangnya, Imam Malik bin Anas. Untuk itu, ia memohon kepada Gubernur Makkah agar bisa membantunya dengan memberikan rekomendasi yang akan memungkinkannya bertemu Imam Malik bin Anas.

Utang Piutang dan Gadaian Harga Diri: Menelusuri Peringatan Keras Imam Nawawi

Imam asy-Syafi’i membawa sendiri surat rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Madinah itu. Begitu ia serahkan surat, ia berharap agar sang Gubernur dapat menghadirkan Imam Malik bin Anas di rumahnya. Permintaan ini jelas sangat memberatkan. Gubernur mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat melakukan hal ini. Akhirnya, ia mengajak Imam asy-Syafi’i berkunjung ke rumah Imam Malik bin Anas. Sang Imam keluar menemui mereka berdua dengan penuh wibawa. Gubernur kemudian memperkenalkan Imam asy-Syafi’i dan menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah berlangsung pembicaraan yang cukup serius, Imam Malik bin Anas dapat mengetahui kecerdasan Imam asy-Syafi’i.

Mendapat tugas khalifah ke  Yaman

Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, ia menugaskan Imam asy-Syafi’i ke Yaman. Di Yaman, Gubernur menugaskan Imam asy-Syafi’i untuk mengerjakan tugas-tugasnya, dan ia mampu mengerjakannya dengan baik. Ia melihat pekerjaan itu semata-mata untuk kepentingan dan membantu masyarakat. Dari sini, nama Imam asy-Syafi’i semakin harum dan populer.

Di Yaman, Imam asy-Syafi’i sempat bertemu dengan Mathraf bin Mazin dan ulama lainnya, bahkan sempat pula mempelajari ilmu firasat sampai mahir. Pekerjaan-pekerjaannya hampir saja menyita waktunya untuk belajar. Karena itu, beberapa orang ulama menyarankan agar meninggalkannya.

Lahirnya kecemburuan dan kepindahan ke Baghdad

Popularitas dan kebesaran nama Imam asy-Syafi’i menimbulkan kecemburuan sebagian pejabat di sana. Mereka khawatir kehilangan wibawa dan kekuasaannya. Melalui salah seorang pejabat tinggi, mereka berusaha menjatuhkan nama Imam asy-Syafi’i. Mereka mengirim surat pengaduan yang sangat provokatif kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Menurut surat itu, kaum Alawiyyin di bawah pimpinan Imam asy-Syafi’i melakukan gerakan menentang kekuasaan Baghdad. Lebih jelas, isi surat itu berbunyi: “Bersama mereka (kaum Alawiyyin) adalah orang yang bernama Muhammad bin Idris. Ia sangat pandai bicara. Tak ada seorang pun yang bisa mengalahkannya. Jika Tuan ingin wilayah Hijaz tetap berada dalam kekuasaan Tuan, maka sebaiknya Tuan mengundang mereka ke hadapan Tuan.”

Khalifah Harun ar-Rasyid mempercayai surat itu. Ia perintahkan bawahannya untuk membawa mereka, termasuk Imam asy-Syafi’i, ke Irak. Sampai di sana, mereka dibunuh, kecuali Imam asy-Syafi’i. Ia selamat dari pembunuhan setelah berdebat seru dengan Harun ar-Rasyid. Dalam perdebatan ini, ia didampingi sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, yang telah ia kenal ketika di Hijaz. Teman inilah yang meminta kepada Harun ar-Rasyid agar membebaskan Imam asy-Syafi’i.

Relevansi Etika Bisnis Dalam Riyadus Shalihin dan Peringatan Keras Nabi Tentang Riba di Era Global

Setelah peristiwa ini, Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Baghdad. Di sini, ia sempat belajar kepada Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Basri dan lain-lainnya.

Menjadi tamu terhormat dan belajar pemikiran Imam Abu Hanifah

Selama berada di Irak, Imam asy-Syafi’i menjadi tamu terhormat Muhammad bin al-Hasan. Ia memperoleh berbagai kemudahan hidup dari teman sekaligus juga gurunya ini. Bahkan, Imam asy-Syafi’i sempat meminta Muhammad bin al-Hasan memperlihatkan buku-bukunya dan menyalinnya. Wawasannya menjadi semakin luas. Pengetahuannya tentang pemikiran fikih Imam Abu Hanifah semakin bertambah, sama seperti pengetahuannya tentang fikih Maliki sewaktu ia berada di Madinah. Semua pengetahuan ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan intelektualitasnya di kemudian hari. Dari sini, ia mulai mengarang dan kembali mengajar. Tidaklah mengherankan jika orang-orang melihat pendapat-pendapat Imam asy-Syafi’i sebagai perpaduan antara fikih ahli hadis dan fikih rasionalis.

Mendapat penghormatan ulama dan penguasa Baghdad

Di negara ini pula, Imam asy-Syafi’i akhirnya mendapat penghormatan yang sangat baik dari para ulama dan penguasa. Setelah itu, ia kembali ke Makkah dan tinggal di sana untuk beberapa waktu sambil tetap menyebarkan pikiran-pikirannya kepada kaum muslimin dari berbagai pelosok dunia yang kebetulan sedang menunaikan haji.

Tahun 195 H, Imam asy-Syafi’i kembali lagi ke Baghdad. Persinggahannya yang kedua di kota ini berlangsung selama dua tahun. Di tempat ini, ia juga melanjutkan mengajar para ulama besar dan kecil dari berbagai aliran: ahli hadis, kaum rasionalis, dan lainnya. Tidak sedikit para ulama yang kemudian menarik kembali pendapat yang mereka anut sebelumnya, dan berganti mengikuti pendapat Imam asy-Syafi’i, misalnya Abu Tsur. Sesudah itu, Imam asy-Syafi’i kembali lagi ke Makkah. Tahun 198 H, ia pergi ke Baghdad lagi untuk ketiga kalinya. Tetapi, tidak lama kemudian, ia berangkat ke Mesir.(St.Diyar)

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.

Pejabat Diminta Taubat Nasuha: Kritik Moral dan Inilah 4 Langkahnya


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement