Surau.co. Tafakur adalah cermin di tangan jiwa. Namun, sering kali cermin itu berdebu oleh keinginan, kesibukan, dan kemarahan yang menumpuk tanpa kita sadari. Dalam pandangan Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī, sang tabib jiwa dalam Kitāb al-Ṭibb al-Rūḥānī, penyakit jiwa lebih berbahaya daripada penyakit badan. Ia menulis, “Barang siapa tidak mengenal penyakit rohaninya, maka ia akan hidup dalam sakit yang tidak pernah ia sadari.”
Manusia modern begitu sibuk menyembuhkan raga, tetapi melupakan luka yang bersarang di hati. Kita mencari obat untuk tubuh, namun jarang menengok ruang batin yang retak oleh iri, dengki, atau kesombongan yang halus. Al-Rāzī tidak hanya menulis tentang obat bagi tubuh, tetapi juga tentang keseimbangan ruhani—tentang bagaimana manusia bisa hidup dengan hati yang bersih, bening seperti air yang mengalir.
Jiwa yang Sakit Tidak Tampak di Cermin
Fenomena sehari-hari memperlihatkan betapa mudahnya manusia tampak sehat di luar, tapi sesungguhnya rapuh di dalam. Kita melihat banyak orang yang tampak bahagia di media sosial, namun sesungguhnya hampa. Ada yang tertawa di keramaian, tapi menangis dalam kesepian.
Al-Rāzī mengingatkan dalam Kitāb al-Ṭibb al-Rūḥānī:
“اعلم أن للنفس أمراضًا كما أن للبدن أمراضًا، وشفاؤها إنما يكون بالعلم والعمل.”
“Ketahuilah bahwa jiwa memiliki penyakit sebagaimana badan memiliki penyakit, dan penyembuhannya hanyalah dengan ilmu dan amal.”
Betapa dalam pesan ini. Ilmu tanpa amal hanya membuat seseorang tahu arah, tapi tidak pernah melangkah. Sementara amal tanpa ilmu seperti berlari di gelap malam—tak tahu apakah sedang menuju cahaya atau jurang.
Membersihkan Cermin: Menyadari Akar Penyakit Ruhani
Dalam kehidupan yang serba cepat, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan menyeka debu di cermin jiwa. Debu itu bisa berupa kemarahan, kesombongan, ketakutan, atau keserakahan. Al-Rāzī menulis dengan kehalusan seorang penyembuh hati:
“من غلبت عليه شهوته صار عبدًا لها، ومن عبد شيئًا غير الحق فقد ضل عن سبيل الصواب.”
“Barang siapa dikuasai oleh syahwatnya, maka ia menjadi hamba baginya. Dan siapa yang menjadi hamba selain kebenaran, maka ia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
Penyakit hati muncul ketika manusia lupa siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Saat dunia menjadi pusat orbit kehidupan, jiwa kehilangan keseimbangan. Padahal, keseimbangan adalah inti dari kesehatan rohani.
Tafakur: Obat yang Menyembuhkan Tanpa Rasa Pahit
Al-Rāzī menekankan pentingnya tafakur—merenungi sebab-sebab perbuatan dan keadaan diri. Ia menulis:
“التفكر دواء النفس، ومن داوى نفسه به فقد اهتدى إلى الطريق المستقيم.”
“Tafakur adalah obat bagi jiwa; barang siapa mengobati dirinya dengannya, maka ia telah menemukan jalan yang lurus.”
Tafakur bukan sekadar berpikir, tetapi melihat dengan mata batin. Ia adalah momen ketika seseorang menatap dirinya tanpa topeng, mendengar tanpa suara, dan berbicara tanpa kata. Dalam tafakur, seseorang menyadari bahwa semua keburukan yang menimpanya bukan datang dari luar, tetapi dari ketidakteraturan dalam dirinya sendiri.
Ketenangan Sebagai Tanda Kesembuhan
Seperti halnya tubuh yang pulih akan terasa ringan, jiwa yang sehat pun menampakkan tanda: ketenangan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Al-Rāzī menyambungkan prinsip ini dengan logika seorang ilmuwan dan kelembutan seorang arif. Ia menulis:
“من استقر في نفسه ذكر الحق، زال عنه خوف الدنيا، واطمأن قلبه كما يطمئن البدن بعد الدواء.”
“Barang siapa menetapkan dalam jiwanya zikir kepada Yang Maha Benar, maka hilanglah ketakutan dunia darinya, dan tenanglah hatinya sebagaimana tubuh menjadi tenang setelah obat.”
Zikir di sini bukan hanya lafaz, tapi juga kesadaran penuh—hadir dalam setiap hembusan napas bahwa kita ini fana, dan hanya Allah yang kekal.
Tafakur di Tengah Debu Kehidupan
Seorang sufi pernah berkata, “Ketika engkau menatap cermin, dan tidak mengenali dirimu sendiri, itu tanda bahwa debu dunia telah menutupi jiwamu.” Begitu pula tafakur—ia bukan pelarian dari dunia, melainkan cara untuk melihat dunia dengan mata yang jernih.
Dalam gaya hidup yang serba tergesa, manusia jarang merenung. Kita sibuk mempercantik tampilan luar, padahal yang paling butuh perawatan adalah hati. Al-Rāzī ingin mengingatkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak lahir dari banyak membaca, tetapi dari banyak merenung. Dari tafakur lahir pengetahuan yang lembut, dan dari pengetahuan itu tumbuh kedamaian.
Menjadi Tabib Bagi Diri Sendiri
Kita semua adalah pasien dan tabib bagi diri kita sendiri. Setiap hari, kita punya pilihan: menambah debu atau membersihkannya. Tafakur membantu kita mengenali luka yang tersembunyi, menyembuhkan dengan kejujuran, dan memeluk kekurangan dengan kasih.
Abū Bakr al-Rāzī menutup satu bagian kitabnya dengan kalimat yang menggugah:
“من أصلح نفسه كان صلاحه سببًا في صلاح غيره، كما يكون العطر إذا حملته فاح عبيره.”
“Barang siapa memperbaiki dirinya, maka kebaikannya akan menjadi sebab bagi perbaikan orang lain, sebagaimana aroma wangi yang semerbak ketika engkau membawanya.”
Inilah inti dari al-Ṭibb al-Rūḥānī: menyembuhkan diri agar dunia ikut sembuh.
Refleksi Penutup
Tafakur adalah cermin di tangan jiwa—kadang berdebu, kadang bening. Ketika kita berhenti sejenak untuk membersihkannya, kita tak hanya melihat wajah kita sendiri, tetapi juga bayangan Ilahi yang bersemayam dalam diri. Al-Rāzī mengajarkan bahwa kesehatan sejati bukan sekadar tubuh yang kuat, melainkan jiwa yang tenang, lapang, dan selalu mencari kebenaran.
Dalam kesunyian, mari kita temukan suara jiwa yang paling jujur. Dalam tafakur, mari kita sembuhkan diri kita sendiri—perlahan, dengan cinta, dan dengan kesadaran bahwa setiap napas adalah anugerah untuk mengenal-Nya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
