Surau.co. Dendam adalah luka tanpa darah, kata al-Rāzī dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī. Sakitnya tak tampak, tapi terasa menggerogoti. Seperti racun halus, ia memengaruhi ruh dan tubuh, memutar energi menjadi amarah dan kepahitan. Dunia dapat menjadi laboratorium penyembuhan atau jebakan bagi hati yang dendam, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
قال الرازي في الطب الروحاني: «الضغينة تُنهك النفس كما تنهك الأمراض البدن»
“Dendam melemahkan jiwa sebagaimana penyakit melemahkan tubuh.”
Fenomena ini sering terjadi sehari-hari. Di jalan, di kantor, atau bahkan di rumah, orang menumpuk rasa sakit kecil menjadi dendam besar. Dendam menuntun pada tindakan yang tidak perlu, kata al-Rāzī, sementara pemaafan dan pengendalian diri adalah obat yang menenangkan hati.
Dendam sebagai penyakit jiwa
Al-Rāzī menjelaskan bahwa jiwa yang menyimpan dendam seperti tubuh yang terinfeksi. Setiap pikiran marah adalah sel yang rusak, setiap keinginan membalas dendam adalah racun yang merembes ke seluruh sistem. Ia menulis:
«من حمل ضغينة على أخيه، فقد مرض قلبه قبل بدنه»
“Barang siapa menanggung dendam terhadap saudaranya, hatinya sakit sebelum tubuhnya.”
Ini relevan dalam kehidupan modern. Banyak konflik yang tampak sederhana tetapi berakar dalam jiwa. Kita merasa benar, menumpuk sakit, tetapi sebenarnya yang rusak adalah keseimbangan batin kita sendiri. Mengabaikan luka hati seperti membiarkan infeksi tumbuh tanpa antibiotik.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan; tolaklah keburukan dengan yang lebih baik.” (QS. Fussilat: 34)
Membalas dendam adalah keburukan yang diperkuat. Mengalahkan dendam dengan kebaikan adalah penawar yang efektif bagi jiwa yang sakit.
Mengidentifikasi akar dendam
Dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī, al-Rāzī menekankan pentingnya memahami penyebab luka hati sebelum mencari obatnya. Ia menulis:
«لا يُشفى المريض إلا إذا عُرفت علته»
“Penyakit jiwa tidak sembuh kecuali jika diketahui penyebabnya.”
Sehari-hari, kita mungkin merasa dendam muncul tanpa alasan, tetapi jika kita menelusuri, selalu ada benih yang ditanam—kesalahan yang dirasa, ketidakadilan yang dialami, atau pengkhianatan yang dilihat. Menemukan akar ini adalah langkah awal penyembuhan. Saat kita mengenali sumbernya, kita mulai bisa membedakan antara kemarahan yang membakar dan keadilan yang dibutuhkan.
Obat jiwa: Pemaafan dan introspeksi
Al-Rāzī menawarkan terapi sederhana namun mendalam: pemaafan. Bukan berarti melupakan, tetapi melepaskan beban yang menekan hati. Ia berkata:
«المسامحة تريح القلب كما يريح الدواء الجسد»
“Pemaafan menenangkan hati seperti obat menenangkan tubuh.”
Fenomena sehari-hari menunjukkan bahwa orang yang memaafkan lebih mudah tidur, lebih sedikit stres, dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Mereka yang menyimpan dendam tampak lebih kuat di permukaan, tetapi energi mereka terbuang untuk mempertahankan kemarahan. Sebaliknya, pemaafan adalah investasi jangka panjang untuk keseimbangan batin.
«إذا عرف الإنسان نفسه، عرف طريق الشفاء»
“Jika manusia mengenal dirinya, ia akan menemukan jalan penyembuhan.”
Self-reflection menjadi langkah penting. Menanyakan pada diri sendiri: apakah dendam ini menguntungkan atau merugikan? Apakah kemarahan ini membuatku lebih bijaksana atau semakin buta? Dengan pertanyaan sederhana ini, jiwa mulai pulih.
Latihan praktis menyembuhkan dendam
Dalam pandangan al-Rāzī, terapi tidak hanya berbasis pikiran, tetapi juga tindakan. Ia merekomendasikan:
- Tuliskan dendammu – Ekspresikan secara tertulis tanpa menahan kata-kata. Ini membantu menurunkan ketegangan internal.
- Berlatih pengendalian diri – Saat muncul dorongan untuk membalas, tahan sejenak. Amati tanpa bertindak.
- Meditasi dan dzikir – Menghubungkan diri dengan Allah memberi perspektif lebih luas tentang kesabaran dan keadilan.
- Pemaafan aktif – Cari kesempatan untuk memaafkan, bahkan jika hanya dalam hati.
Pendekatan ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ:
“الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ”
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang.” (HR. Muslim)
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, luka tanpa darah perlahan menjadi obat, bukan racun.
Mengubah luka menjadi cahaya
Akhirnya, al-Ṭibb al-Rūḥānī mengajarkan bahwa setiap luka, termasuk dendam, memiliki potensi menjadi cahaya. Jika jiwa dilatih untuk menyembuhkan dirinya sendiri, dunia bukan lagi medan perang batin, tetapi taman pembelajaran. Dendam yang dilepas menyingkap ruang untuk cinta, sabar, dan kebijaksanaan.
Dunia memberi banyak peluang untuk memperbaiki diri. Orang yang memahami ajaran al-Rāzī akan melihat setiap konflik sebagai ujian, setiap ketidakadilan sebagai cermin, dan setiap luka sebagai guru. Maka, luka tanpa darah tidak lagi menakutkan; ia menjadi penanda pertumbuhan spiritual.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
