Surau.co. Di zaman yang penuh gegas ini, kita sering meminum dunia seperti racun yang manis. Kita meneguknya dengan rasa haus yang tak pernah reda. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh al-Rāzī dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī, dunia bisa menjadi obat bagi jiwa jika diolah dengan kebijaksanaan. Ia tidak menulis tentang tubuh yang lelah, melainkan tentang ruh yang terluka karena keinginan tanpa batas.
Menurut al-Rāzī, dunia bukanlah musuh. Sebaliknya, ia adalah cermin. Jika engkau menatapnya dengan mata jernih, ia memantulkan pelajaran. Namun, jika pandanganmu keruh oleh nafsu, dunia berubah menjadi racun yang mematikan.
قال الرازي في الطب الروحاني:
«النفس إذا غلبت عليها الشهوة، مرضت كما يمرض البدن إذا غلبت عليه الأخلاط»
“Jiwa, ketika dikuasai oleh syahwat, akan sakit sebagaimana tubuh yang sakit karena racun di dalamnya.”
Jiwa yang Lapar Tak Akan Kenyang oleh Dunia
Kini, kita hidup di tengah budaya yang mengukur kesuksesan lewat kepemilikan. Banyak orang berlari, bukan lagi untuk makna, tetapi demi sorotan. Akibatnya, wajah-wajah tampak bahagia di luar, sementara di dalamnya tersimpan luka yang lembut—sejenis kesepian yang tidak bisa disembuhkan oleh pencapaian apa pun.
Fenomena ini, tentu saja, bukan hal baru. Pada abad ke-9, ketika dunia Islam berada di puncak kejayaan ilmu dan peradaban, al-Rāzī sudah melihat penyakit yang sama. Ia menyebutnya penyakit hati yang lapar pada dunia.
Ia menulis:
«من لم يعرف حدود لذته، صار عبداً لها، وإن ظن أنه سيدها»
“Barang siapa tidak mengenal batas kenikmatannya, maka ia menjadi hamba kenikmatan itu, meskipun ia menyangka dirinya penguasanya.”
Pernyataan ini terasa sangat relevan. Kita sering mengira sedang mengendalikan hidup, padahal sebenarnya hidup yang mengendalikan kita. Dan kita bekerja keras agar punya waktu luang, tetapi waktu itu kita habiskan lagi untuk mengejar hal baru. Kita membeli barang agar merasa cukup, namun setiap kepemilikan justru menyalakan keinginan berikutnya.
Dengan kata lain, jiwa yang lapar tidak akan kenyang hanya dengan dunia. Ia butuh makna, bukan sekadar materi. Ia perlu arah, bukan sekadar gerak.
Ketenangan Bukan Hasil Menjauhi Dunia, Melainkan Mengolahnya
Lebih jauh, al-Rāzī tidak mengajak manusia meninggalkan dunia. Sebaliknya, ia mengajak untuk menata hubungan dengannya. Dunia, menurutnya, adalah laboratorium kebajikan—tempat manusia menguji kesabaran, kasih, dan keseimbangan antara akal dan hawa nafsu.
Ia menulis dengan tegas:
«العقل هو الطبيب الأول، فإن صلح، صلحت النفس»
“Akal adalah tabib pertama; bila ia baik, maka baiklah jiwa.”
Dengan demikian, obat pertama bagi hati yang sakit bukan sekadar doa yang diulang tanpa makna, melainkan kesadaran. Kesadaran tentang apa yang kita kejar, siapa yang mungkin kita lukai, dan mengapa semua ini dilakukan.
Selain itu, Al-Qur’an juga berbicara dalam nada yang serupa:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Artinya, menyucikan jiwa bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi memurnikan niat di dalamnya. Dunia tidak perlu dibuang, melainkan dijinakkan. Dengan menata niat, setiap pekerjaan bisa berubah menjadi ibadah.
Menemukan Keseimbangan di Tengah Arus
Setiap orang, cepat atau lambat, harus belajar menjadi tabib bagi dirinya sendiri. Al-Rāzī menulis dengan penuh hikmah:
«علاج النفس يبدأ بمعرفة علتها»
“Pengobatan jiwa dimulai dengan mengenali sebab sakitnya.”
Kalimat ini tampak sederhana, namun sesungguhnya mengguncang. Ia mengajak kita berhenti sejenak dan jujur pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya membuat kita gelisah? Apakah kehilangan, ketakutan, atau rasa tidak pernah cukup?
Sering kali kita mencari obat di luar, padahal racunnya bersarang di dalam. Dunia hanya memperlihatkan apa yang telah ada di hati kita. Jika hati tenang, dunia tampak lembut. Sebaliknya, jika hati resah, dunia terasa bising dan menusuk.
Oleh karena itu, Rumi pernah menulis bahwa dunia ibarat cermin di tangan Tuhan. Ia tidak jahat dan tidak pula baik. Dunia hanya memantulkan keadaan batin manusia yang memandangnya. Maka, tugas kita bukan memecahkan cermin itu, melainkan membersihkan debu di mata.
Dunia Sebagai Guru yang Lembut
Pada akhirnya, al-Ṭibb al-Rūḥānī bukan sekadar buku filsafat atau psikologi awal. Lebih dari itu, ia adalah undangan untuk berteman dengan diri sendiri. Ia menuntun manusia agar tidak terus berlari, tetapi berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya: Untuk apa semua ini?
Sebab, jika kita melihat dunia dengan mata yang jernih, dunia tidak lagi menjadi racun, melainkan obat. Obat yang pahit, memang, tetapi menyembuhkan. Obat yang menuntun kita kembali pada keseimbangan: antara tubuh dan ruh, antara nafsu dan akal, antara mengejar dan menerima.
Akhirnya, ketika manusia berhasil menyeimbangkan semuanya, dunia tidak lagi menakutkan. Ia berubah menjadi taman belajar, tempat kita mengenali arti menjadi manusia yang utuh—yang tidak mencari kesempurnaan, melainkan keseimbangan.
Dan di taman itu, jiwa belajar untuk minum dunia secukupnya saja—bukan untuk mabuk oleh kenikmatan, tetapi untuk sembuh oleh kesadaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
