Di era serbacepat seperti sekarang, kata menahan diri terdengar seperti nasihat dari masa lalu. Semua serba instan, semua bisa dipesan, bahkan rasa lapar pun bisa diabaikan dengan aplikasi pesan-antar. Tapi ketika Ramadan tiba, ada jeda yang memaksa kita berhenti sejenak: lapar dan haus yang disengaja.
Puasa bukan sekadar ritual tahunan. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, puasa adalah sekolah kesabaran dan latihan mengendalikan nafsu. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis bahwa hakikat puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi melatih jiwa untuk menjadi pengendali, bukan yang dikendalikan.
لَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنَ الصِّيَامِ كَفَّ النَّفْسِ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فَقَطْ، بَلْ كَفُّهَا عَنِ الْآثَامِ وَالْمَعَاصِي
“Tujuan dari puasa bukan hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari dosa dan maksiat.” (Imam al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Bab Adab al-Shiyam)
Kalimat itu terasa seperti cermin bagi generasi yang terbiasa hidup cepat dan emosional. Al-Ghazali ingin mengingatkan: lapar bukan hukuman, tapi latihan agar hati kembali sadar.
Puasa sebagai Sekolah Kesabaran
Puasa, dalam makna terdalamnya, adalah pelatihan sabar. Sabar menahan lapar, sabar menahan amarah, sabar menahan keinginan untuk membalas. Semua itu melatih manusia agar tidak dikuasai oleh dorongan sesaat.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menegaskan bahwa inti dari puasa adalah membangun ketakwaan, dan takwa tidak akan tumbuh tanpa kesabaran. Dalam Bidayatul Hidayah, al-Ghazali menggambarkan sabar sebagai benteng yang melindungi iman dari gempuran nafsu.
الصَّبْرُ أَصْلُ كُلِّ الْخَيْرِ، وَمَنْ فَقَدَهُ فَقَدَ جَمِيعَ الْخَيْرِ
“Sabar adalah akar segala kebaikan, siapa yang kehilangan sabar, maka ia kehilangan seluruh kebaikan.”
Puasa, dengan segala “kesulitannya”, sebenarnya sedang melatih manusia untuk mengendalikan impuls. Dalam dunia yang menawarkan kepuasan instan, puasa datang untuk mengajarkan delay gratification versi spiritual: menunda keinginan demi kebahagiaan yang lebih besar.
Latihan Mengendalikan Nafsu: Perang yang Paling Sunyi
Bagi al-Ghazali, nafsu bukan musuh yang harus dibasmi, melainkan kekuatan yang harus dikendalikan. Nafsu adalah energi kehidupan—ia bisa membawa manusia menuju kebajikan atau menjerumuskannya dalam kehancuran.
Beliau menulis:
النَّفْسُ كَالْفَرَسِ، إِنْ أَحْسَنْتَ تَأْدِيبَهَا خَدَمَتْكَ، وَإِنْ أَهْمَلْتَهَا أَهْلَكَتْكَ
“Nafsu itu seperti kuda; jika engkau melatihnya dengan baik, ia akan melayanimu. Namun jika engkau membiarkannya, ia akan mencelakakanmu.”
Puasa adalah cara paling elegan untuk menjinakkan “kuda liar” bernama nafsu. Ketika perut lapar dan tenggorokan kering, manusia belajar bahwa tidak semua keinginan harus segera dipenuhi. Itulah latihan paling mendasar dalam pengendalian diri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ
“Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan jangan berteriak-teriak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Puasa mengajarkan kontrol bukan hanya terhadap mulut, tapi terhadap emosi. Seseorang mungkin tidak makan seharian, tapi jika lisannya masih melukai, puasanya belum menyentuh hati.
Puasa dan Refleksi Diri: Melihat Ke Dalam, Bukan ke Luar
Puasa bukan hanya menahan, tetapi juga merenung. Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis bahwa puasa sejati adalah puasa hati dari kesibukan duniawi.
صَوْمُ الْقَلْبِ خَيْرٌ مِنْ صَوْمِ الْبَطْنِ
“Puasa hati lebih utama daripada puasa perut.”
Generasi muda hari ini mungkin bisa menahan lapar, tapi sulit menahan diri dari kecanduan layar. Kita bisa menunda makan, tapi tidak bisa menunda menggulir media sosial. Di sinilah makna puasa menjadi lebih relevan: menahan bukan hanya fisik, tapi juga digital—menahan jari dari komentar pedas, menahan mata dari iri, dan menahan hati dari riya.
Puasa adalah waktu untuk melihat ke dalam diri, menemukan apa yang benar-benar lapar di dalam hati. Apakah yang lapar hanya perut, atau juga jiwa yang haus akan makna?
Mengubah Lapar Menjadi Syukur
Setelah sehari penuh menahan lapar, segelas air saat berbuka terasa seperti nikmat surga. Itulah salah satu keajaiban puasa: ia mengajarkan bagaimana kekurangan melahirkan rasa syukur.
Al-Ghazali menulis bahwa setiap rasa lapar adalah peringatan lembut dari Allah agar manusia tidak sombong atas kenyang yang diberikan-Nya.
إِذَا جَاعَ بَدَنُكَ تَذَكَّرَ الْجَائِعِينَ، وَإِذَا شَبِعْتَ فَاشْكُرِ النِّعْمَةَ
“Ketika tubuhmu lapar, ingatlah orang-orang yang lapar; dan ketika engkau kenyang, bersyukurlah atas nikmat itu.”
Puasa bukan hanya ibadah individual, tapi juga latihan empati sosial. Ia mengajarkan kita untuk memahami rasa lapar orang lain. Dalam sekejap, jarak antara si kaya dan si miskin terasa lebih dekat—karena semua menahan diri dari hal yang sama: makan dan minum.
Puasa dan Ketenangan Jiwa
Bagi Imam al-Ghazali, puasa juga merupakan terapi batin. Ia menulis bahwa orang yang berpuasa akan merasakan ketenangan spiritual karena tubuhnya ringan dari nafsu dan pikirannya jernih dari dosa.
إِذَا صَامَ الْعَبْدُ خَفَّتْ نَفْسُهُ وَسَكَنَ قَلْبُهُ
“Apabila seseorang berpuasa, jiwanya menjadi ringan dan hatinya menjadi tenang.”
Ketika tubuh menahan diri dari keinginan, hati menjadi lebih mudah menerima cahaya kebaikan. Ini sebabnya banyak orang merasa lebih damai di bulan Ramadan: bukan karena suasananya, tapi karena tubuh dan hati sedang selaras dalam latihan spiritual.
Dalam dunia modern yang penuh tekanan, puasa menjadi rem alami bagi jiwa yang kelelahan. Ia memaksa manusia berhenti sejenak, menyederhanakan hidup, dan menata ulang apa yang benar-benar penting.
Puasa Bukan Tentang Lapar, Tapi Tentang Arti Hidup
Puasa mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang mengisi, tapi juga tentang mengosongkan. Mengosongkan perut agar hati terisi, mengosongkan kesibukan agar makna hadir.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan akhir dari puasa adalah menemukan kedekatan dengan Allah, bukan sekadar menggugurkan kewajiban.
إِنَّ الصِّيَامَ يُؤَدِّي إِلَى النُّورِ فِي الْقَلْبِ وَالْقُرْبِ مِنَ الرَّبِّ
“Sesungguhnya puasa membawa cahaya di dalam hati dan mendekatkan diri kepada Tuhan.”
Dalam kalimat sederhana itu, al-Ghazali menyimpan filosofi besar: puasa bukan pengorbanan, tapi perjalanan menuju kesadaran. Lapar hanyalah pintu masuk menuju kebeningan batin.
Penutup
Pada akhirnya, puasa bukan tentang menahan makan atau minum, tapi tentang menemukan jalan pulang kepada diri sendiri. Di saat perut kosong, hati mulai berbicara. Di saat dunia kita perlambat, suara Tuhan jadi lebih terdengar.
Imam al-Ghazali menulis bahwa orang yang berpuasa dengan hati akan merasakan kebahagiaan yang tidak tergantung pada dunia. Ia menutup bab puasa dalam Bidayatul Hidayah dengan kalimat yang tenang tapi menggetarkan:
سَعَادَةُ الْمُؤْمِنِ فِي أَنْ يَكُونَ قَلْبُهُ صَائِمًا وَإِنْ أَكَلَ جَسَدُهُ
“Kebahagiaan orang beriman adalah ketika hatinya berpuasa, meski tubuhnya makan.”
Puasa mengajarkan kita untuk melambat, merenung, dan menyadari bahwa yang sejati bukanlah kenyang di perut, tapi tenang di hati. Dan mungkin, di situlah makna terdalam dari kesabaran yang selama ini kita cari.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
