Di era yang dipenuhi notifikasi, kesunyian menjadi barang langka. Setiap bunyi pesan, setiap dering video pendek, menggeser perhatian kita dari diri sendiri—apalagi dari Tuhan. Kita hidup dalam dunia yang tak pernah benar-benar diam. Bahkan dalam waktu senggang, pikiran kita tetap bising.
Namun, di tengah riuh itu, Imam al-Ghazali mengajarkan sesuatu yang tampak sederhana tapi sangat dalam: zikir. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis bahwa zikir bukan sekadar menyebut nama Allah, melainkan menyadari keberadaan-Nya di dalam hati. Zikir sejati adalah hadirnya Allah dalam kesadaran, bahkan ketika dunia tidak berhenti bergerak.
وَاعْلَمْ أَنَّ الذِّكْرَ هُوَ أَشْرَفُ الْأَعْمَالِ، وَهُوَ سَبَبُ السَّعَادَةِ فِي الدَّارَيْنِ
“Ketahuilah bahwa zikir adalah amal yang paling mulia, dan ia merupakan sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat.” (Imam al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Bab Adab al-Dzikr)
Di sini, zikir bukanlah aktivitas eksklusif bagi para sufi yang menyendiri di gunung. Ia adalah kebutuhan spiritual manusia modern—terutama generasi muda—yang hidup di tengah badai distraksi.
Zikir sebagai Jembatan antara Dunia dan Hati
Zikir sering dipahami sebagai lantunan tasbih di bibir, padahal hakikatnya lebih dari itu. Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir adalah cara untuk menghubungkan dunia luar yang sibuk dengan dunia batin yang sunyi.
Beliau menulis:
لَيْسَ الْمُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ مُجَرَّدَ التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ، بَلْ حُضُورُ الْقَلْبِ مَعَ الْمَذْكُورِ
“Yang dimaksud dengan zikir bukan hanya mengucapkannya dengan lisan, tetapi menghadirkan hati bersama yang diingat (Allah).”
Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa zikir sejati bukanlah gerakan mekanis. Ia adalah dialog personal dengan Sang Pencipta—sebuah komunikasi tanpa suara yang berlangsung di ruang batin paling dalam.
Bagi generasi yang hidup di bawah tekanan performa dan citra digital, zikir menjadi jalan untuk menyentuh kembali realitas diri. Ia mengajarkan bahwa di balik semua kesibukan, ada satu ruang sunyi yang hanya bisa diisi oleh Allah.
Menemukan Allah di Tengah Hiruk Pikuk
Sering kali kita berpikir bahwa mendekat kepada Allah hanya bisa dilakukan di masjid, dalam keheningan malam, atau di sela-sela sujud panjang. Padahal, Bidayatul Hidayah mengajarkan bahwa Allah hadir di mana pun zikir hadir.
وَاذْكُرِ اللَّهَ فِي كُلِّ حَالٍ، فَإِنَّهُ يَكُونُ مَعَكَ فِي كُلِّ مَكَانٍ
“Ingatlah Allah dalam setiap keadaan, niscaya Dia bersamamu di setiap tempat.”
Zikir tidak menuntut waktu khusus. Ia bisa dilakukan di sela pekerjaan, di jalan menuju kampus, atau bahkan saat menunggu kereta. Zikir adalah kesadaran, bukan sekadar ritual.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring.” (QS. Ali ‘Imran: 191)
Ayat ini menegaskan bahwa zikir tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Allah hadir dalam setiap langkah manusia yang mau menyebut-Nya, bahkan dalam keramaian paling sibuk sekalipun.
Hati yang Hidup Melalui Zikir
Dalam pandangan al-Ghazali, zikir adalah detak jantung spiritual manusia. Hati yang berhenti berzikir bagaikan tubuh yang berhenti bernapas.
Beliau menulis:
الذِّكْرُ حَيَاةُ الْقَلْبِ، فَإِذَا عُدِمَ الذِّكْرُ مَاتَ الْقَلْبُ
“Zikir adalah kehidupan bagi hati; jika zikir hilang, maka hati pun mati.”
Kalimat ini sangat relevan dengan kehidupan digital masa kini. Banyak dari kita merasa hidup penuh aktivitas, tetapi kosong secara batin. Kita terus bergerak, tapi kehilangan arah.
Zikir, dalam hal ini, bukan sekadar pelipur, tapi penyambung napas spiritual. Ia membuat manusia kembali merasa hidup dengan kesadaran yang utuh. Dengan berzikir, seseorang belajar untuk tidak hanya sibuk bekerja, tapi juga hadir di dalam setiap momen kehidupan.
Kesunyian: Ruang Bertemu Diri dan Tuhan
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menekankan pentingnya mencari waktu hening untuk berzikir. Kesunyian bukan sekadar ketenangan fisik, melainkan kondisi batin yang terbebas dari hiruk pikuk keinginan dunia.
اعْلَمْ أَنَّ فِي السُّكُوتِ سَلَامَةً، وَفِي الْعُزْلَةِ سَعَادَةً
“Ketahuilah bahwa dalam diam ada keselamatan, dan dalam menyendiri ada kebahagiaan.”
Dalam kesunyian, manusia mampu mendengar suara hati yang sering ditenggelamkan oleh bising dunia. Generasi Z, yang tumbuh dalam budaya konektivitas tanpa henti, sering kali lupa bahwa memutus sambungan sementara bisa menjadi bentuk zikir tersendiri.
Kesunyian bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi memberi ruang bagi Allah untuk berbicara melalui ketenangan hati. Dalam diam, seseorang bisa mendengar makna yang tak terucap, merasakan kasih Tuhan yang tak kasat mata.
Zikir sebagai Terapi Spiritual Generasi Digital
Banyak penelitian modern menunjukkan bahwa meditasi dan mindfulness membantu menenangkan pikiran. Namun jauh sebelum istilah itu populer, Islam telah mengenalkan konsep dzikrullah—kesadaran penuh terhadap Allah—sebagai bentuk penyembuhan batin.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Zikir bukan sekadar kegiatan spiritual, melainkan terapi jiwa. Ia membantu seseorang melepaskan beban pikiran, menurunkan kecemasan, dan menemukan kembali keseimbangan hidup.
Generasi muda yang terbiasa dengan kecepatan dan tekanan sosial media sangat membutuhkan bentuk kesadaran ini. Zikir melatih mereka untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan mengingat bahwa hidup bukan sekadar berlomba menunjukkan pencapaian, tapi tentang menemukan makna.
Langkah Praktis Menjalani Zikir di Tengah Dunia Modern
Imam al-Ghazali memberi panduan sederhana namun mendalam tentang bagaimana berzikir dalam kehidupan sehari-hari. Ia menulis:
اجْعَلْ لِسَانَكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ دَائِمًا
“Jadikan lisanmu senantiasa basah dengan zikir kepada Allah.”
Langkah ini bisa diwujudkan dengan hal-hal kecil: membaca Subhanallah setelah tugas selesai, mengucap Alhamdulillah saat mendapat rezeki kecil, atau menyebut Astaghfirullah ketika tergelincir dalam kesalahan.
Namun yang lebih penting dari ucapan adalah kesadaran makna. Zikir tidak akan bermakna jika lidah sibuk tapi hati lalai. Maka, setiap kali mengucap nama Allah, luangkan sejenak untuk benar-benar merasakan kehadiran-Nya.
Zikir di Tengah Manusia, Bukan di Luar Dunia
Sebagian orang mengira bahwa untuk mencapai ketenangan spiritual, seseorang harus menjauh dari keramaian. Namun Imam al-Ghazali justru mengajarkan keseimbangan: hidup di tengah manusia, tapi hati tetap bersama Allah.
كُنْ فِي النَّاسِ وَلَا تَكُنْ مَعَ النَّاسِ
“Beradalah di tengah manusia, tapi jangan larut bersama mereka.”
Artinya, seseorang boleh aktif bekerja, berkarya, dan bergaul, tapi tetap menjaga kesadaran batin. Zikir adalah kompas yang menuntun agar langkah tidak tersesat, bahkan ketika dunia sibuk menarik dari segala arah.
Zikir sejati bukan pelarian dari realitas, melainkan cara untuk menata realitas dengan hati yang sadar.
Penutup
Zikir dalam kesunyian bukan berarti meninggalkan dunia, tapi menghadirkan Allah di dalamnya. Imam al-Ghazali ingin mengingatkan bahwa kebisingan dunia tidak bisa dihindari, tetapi hati bisa dijaga agar tetap tenang di tengahnya.
Zikir mengajarkan bahwa yang benar-benar sunyi bukan tempat, tapi hati yang bebas dari hiruk pikuk ambisi. Dalam setiap bisikan Subhanallah, ada ruang untuk pulang; dalam setiap ucapan La ilaha illa Allah, ada ketenangan yang menenangkan segala gelisah.
“Ketika dunia berteriak memanggil perhatianmu, sebutlah nama-Nya dengan lembut. Karena di balik satu lafaz ‘Allah’, ada semesta kedamaian yang tak akan pernah terganggu oleh bising dunia.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
