SURAU.CO – Dalam sejarah panjang peradaban Islam, umat pernah mengalami masa ketika kebebasan berpikir dan berpendapat menghadapi ujian paling keras. Masa itu dikenal sebagai Peristiwa Mihnah, sebuah ujian besar bagi para ulama dan cendekiawan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Peristiwa ini tidak hanya mempersoalkan perbedaan pandangan teologis, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuasaan politik mampu memadukan urusan akidah dan pemikiran agama.
Latar Intelektual dan Politik
Pada awal abad ke-9 M, adalah masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi. Khalifah Al-Ma’mun (memerintah 813–833 M) mencintai ilmu dan menghormati para ilmuwan. Ia membangun Bayt al-Hikmah di Bagdad dan mengumpulkan para penerjemah serta cendekiawan dari berbagai agama untuk menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Namun, semangat ilmiah itu juga melahirkan arus pemikiran rasional yang kuat dari kalangan Mu’tazilah. Aliran ini menekankan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama dan meyakini bahwa akal manusia mampu mengetahui baik dan buruk tanpa harus selalu bergantung pada wahyu. Mereka juga berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan makhluk, ciptaan Allah, bukan sesuatu yang qadim (tidak bermula) bersama-Nya.
Pandangan ini menimbulkan cakupan luas di kalangan umat Islam. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, bukan makhluk. Namun, Al-Ma’mun yang dipengaruhi pemikiran rasional Mu’tazilah memutuskan untuk menjadikan pandangan itu sebagai doktrin resmi negara .
Awal Mula Peristiwa Mihnah
Pada tahun 833 M, Al-Ma’mun mengeluarkan kebijakan yang ia sebut Mihnah , yang berarti “ujian atau cobaan”. Ia mewajibkan seluruh ulama, hakim, dan pejabat pemerintah untuk menyatakan secara terbuka bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Siapapun yang menolak pernyataan itu akan ia anggap menentang kebenaran dan ia memerintahkan untuk menangkap para penentang.
Khalifah mengirimkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah agar para pejabat melaksanakan ujian keyakinan tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadis terkemuka dan pendiri mazhab Hanbali dengan tegas menolak untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Baginya, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk.
Sikap tegas Imam Ahmad membuat aparat menangkapnya dan memenjarakannya selama bertahun-tahun. Mereka menyiksanya agar ia mau mengubah pendirian, tetapi Imam Ahmad tetap teguh dengan pendiriannya.
Kekuasaan yang mengatur Akidah
Kebijakan Mihnah menampilkan bagaimana penguasa bisa menggunakan kekuatan politik untuk memaksakan pandangan teologis. Al-Ma’mun beranggapan bahwa dengan menjadikan paham Mu’tazilah sebagai doktrin resmi, umat Islam akan menjadi lebih rasional dan maju. Namun, kebijakan itu justru menimbulkan ketakutan dan kekacauan intelektual.
Setelah Al-Ma’mun wafat, khalifah berikutnya— Al-Mu’tashim (833–842 M) dan Al-Watsiq (842–847 M) —melanjutkan kebijakan Mihnah. Mereka tetap menguji pendapat para ulama dan menghukum siapa pun yang menolak mengikuti paham resmi negara.
Pada masa itu, kebebasan berpikir benar-benar terbelenggu. Para ulama harus berhati-hati ketika menyampaikan pendapat. Banyak dari mereka memilih diam, sementara sebagian lainnya berpura-pura setuju demi menyelamatkan diri. Dunia keilmuan Islam yang semula hidup dan terbuka berubah menjadi ruang yang dipenuhi ketakutan.
Peristiwa kelam ini berakhir ketika Khalifah Al-Mutawakkil naik takhta pada tahun 847 M. Ia menolak campur tangan negara dalam urusan akidah dan memutuskan untuk mencabut kebijakan Mihnah. Ia memulihkan kebebasan berpikir dan mengembalikan kehormatan para ulama yang sebelumnya ditekan..
Imam Ahmad bin Hanbal yang sempat ditindas akhirnya mendapatkan keadilan dan penghormatan. Masa pemerintahan Al-Mutawakkil menjadi titik balik penting bagi dunia intelektual Islam. Umat kembali menyadari bahwa perbedaan pandangan teologis tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan atau pemaksaan.
Pelajaran dari Peristiwa Mihnah
Peristiwa Mihnah menyimpan banyak pelajaran berharga bagi umat Islam.
Pertama, peristiwa ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan tidak dapat lahir dari paksaan kekuasaan . Kebenaran sejati tumbuh dari kebebasan berpikir dan keikhlasan hati, bukan dari tekanan politik.
Kedua, Mihnah mengingatkan umat akan bahaya ketika agama menjadi alat politik . Saat penguasa menjadikan akidah sebagai legitimasi kekuasaan, agama kehilangan maknanya sebagai sumber kebenaran dan kedamaian.
Ketiga, keteguhan Imam Ahmad bin Hanbal memberikan teladan yang abadi. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi mempertahankan keyakinannya dengan kesabaran dan konsistensi. Dalam penjara dan penderitaan yang panjang, ia menunjukkan bahwa kekuatan iman jauh lebih besar daripada kekuatan pedang.
Keempat, kebijakan Al-Mutawakkil yang mengakhiri Mihnah menegaskan pentingnya kebijaksanaan seorang pemimpin . Pemimpin yang adil tidak akan memaksakan pandangan pribadi atas nama kebenaran, melainkan membuka ruang bagi perbedaan yang sehat dan produktif.
Penutup
Peristiwa Mihnah menjadi salah satu bab penting dalam sejarah Islam yang menyingkapkan benturan antara kekuasaan dan kebebasan berpikir. Di satu sisi, masa Al-Ma’mun menampilkan semangat rasionalitas yang tinggi; Di sisi lain, peristiwa ini menunjukkan bahaya besar ketika rasionalitas dijadikan alat pemaksaan.
Ketika Al-Mutawakkil mencabut kebijakan itu, umat Islam kembali menghirup udara kebebasan ilmiah dan spiritual. Sejak saat itu, dunia Islam menegaskan kembali prinsip bahwa perbedaan pendapat merupakan rahmat, bukan alasan untuk menindas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
