Sejarah
Beranda » Berita » Sejarah Awal Penyembahan Berhala

Sejarah Awal Penyembahan Berhala

Sejarah Awal Penyembahan Berhala
Berhala adalah patung atau benda yang disucikan dan dipuja-puja sebagai perwakilan dewa, roh, atau makhluk gaib, atau sebagai simbol dalam agama. (Foto: Google)

SURAU.CO – Islam memandang berhala sebagai simbol kesyirikan, karena berhala identik dengan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, manusia sudah lama menjadikan berhala atau patung sebagai sesembahan. Maka, ketika Rasulullah SAW menaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah), beliau langsung menghancurkan berhala-berhala yang memenuhi sekitar Ka’bah. Tindakan itu menekankan pemurnian tauhid dan memutus tradisi penyembahan selain kepada Allah.

Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah SAW melarang umat Islam menyimpan patung di rumah. Beliau ingin mencegah umatnya agar tidak menjadikan patung sebagai sesembahan. Namun, para ulama kemudian menjelaskan bahwa patung yang tidak dijadikan objek ibadah tetap boleh disimpan (mubah), selama tidak menimbulkan kemusyrikan atau fitnah terhadap keimanan.

Awal Mula Berhala dalam Sejarah Manusia

Sejak kapan manusia mulai menyembah berhala? Hadits sahih riwayat Imam Al-Bukhari menjelaskan asal mula penyembahan berhala yang cukup detail. Dalam riwayat itu, Ibnu Abbas RA menceritakan bahwa berhala pertama kali muncul pada masa Nabi Nuh AS.

Pada masa itu, kaum Nabi Nuh sangat menghormati beberapa tokoh saleh di antara mereka. Setelah orang-orang saleh itu wafat, setan membisikkan kepada kaum itu agar membuat patung yang menyerupai wajah mereka dan menempatkannya di tempat biasa mereka berkumpul. Kaum tersebut pun menuruti bisikan setan dan memotret patung-patung itu sesuai nama orang-orang saleh itu: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Riwayat itu menyebutkan:

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Dari Ibnu Abbas RA, sesungguhnya berhala-berhala yang dahulu diagungkan oleh kaum Nabi Nuh, di kemudian hari tersebar di kalangan bangsa Arab. Kaum Kalb menyembah Wadd di Daumatul Jandal, Bani Hudzail menyembah Suwa’, Bani Murad dan Bani Ghuthaif menyembah Yaghuts di daerah Saba’, Bani Hamdan menyembah Ya’uq, dan kaum Himyar menyembah Nasr. Nama-nama itu berasal dari orang-orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Setelah mereka wafat, setan membisikkan kepada kaumnya agar membuat patung-patung di tempat mereka duduk dan menamakannya dengan nama-nama tersebut. Patung-patung itu belum disembah sampai generasi mereka meninggal dan ilmu tentang tauhid hilang.” (HR. Al-Bukhari).

Riwayat ini menunjukkan bahwa penyembahan berhala berawal dari niat baik: mengenang orang-orang saleh. Namun, ketika generasi berikutnya kehilangan ilmu dan iman, mereka mulai menyembah patung-patung itu.

Dari Simbol Kenangan Menjadi Objek Ibadah

Al-Faqihi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Ad-Durarul Mantsur, menegaskan bahwa berhala pertama kali pada masa Nabi Nuh AS. Ia menceritakan bahwa seorang anak yang merindukan orang tuanya yang telah meninggal membuat patung yang menyerupai wajah ayahnya. Ia menatap patung itu setiap kali rindu.

Kebiasaan ini kemudian menyebar ke masyarakat. Banyak orang mengikuti langkah serupa untuk mengenang keluarga yang telah tiada. Awalnya, mereka hanya menjadikan patung sebagai simbol kasih sayang dan kenangan. Namun, seiring berjalannya waktu, generasi berikutnya menganggap patung-patung itu memiliki kekuatan gaib dan layak disembah.

Dari perasaan cinta dan hormat terhadap orang saleh, setan menjerumuskan manusia ke dalam penyembahan selain Allah. Proses ini berlangsung perlahan dan terus diwariskan turun-temurun. Pada mulanya, manusia hanya menggunakan patung sebagai pengingat, lalu memperkirakan simbol spiritual, hingga akhirnya menyembahnya seperti Tuhan. (Lihat As-Suyuthi, Ad-Durarul Mantsur , Juz VI, hlm. 269).

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Penyebaran Berhala ke Jazirah Arab

Tradisi penyembahan berhala tidak berhenti pada masa Nabi Nuh. Manusia terus mewariskan kebiasaan itu ke berbagai wilayah, termasuk Jazirah Arab. Setiap kabilah di Arab membuat berhala sendiri yang mereka agungkan dan jadikan simbol kebanggaan.

Ibnu Abbas RA menjelaskan bahwa bangsa Arab mewarisi berhala-berhala dari kaum Nabi Nuh. Kaum Kalb menempatkan Wadd di Daumatul Jandal, Hudzail memuja Suwa’, Murad dan Ghuthaif menyembah Yaghuts, Hamdan menghormati Ya’uq, sementara Himyar mengagungkan Nasr. Masing-masing berhala menjadi pusat ritual dan simbol keagamaan bagi suku-suku tersebut.

Tradisi ini bertahan berabad-abad hingga datangnya Islam. Ketika Rasulullah SAW diutus, berhala-berhala itu masih berdiri mengelilingi Ka’bah. Dalam peristiwa Fathu Makkah, beliau menghancurkan berhala-berhala tersebut satu per satu sambil mengucapkan ayat Allah:

Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra : 81).

Refleksi dari Kisah Awal Penyembahan Berhala

Kisah ini mengajarkan bahwa kesyirikan tidak selalu berawal dari niat jahat. Kesyirikan bisa muncul dari rasa cinta, hormat, atau kerinduan terhadap orang saleh. Ketika manusia tidak membentengi diri dengan ilmu dan pemahaman tauhid yang kuat, rasa cinta itu mudah berubah menjadi pengagungan berlebihan.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Islam menegaskan pentingnya menjaga kemurnian tauhid dan melarang segala bentuk pengagungan terhadap makhluk yang dapat menggeser posisi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka mengucapkan: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari).

Kisah ini mengingatkan kita bahwa akar penyimpangan akidah sering tumbuh dari kelalaian menjaga batas antara penghormatan dan penyembahan. Setan memanfaatkan celah kecil di hati manusia untuk menanamkan kesyirikan secara halus dan perlahan.

Oleh karena itu, umat Islam perlu terus menumbuhkan ilmu dan iman agar mampu menjaga kemurnian tauhid. Saat ilmu hilang, kesyirikan mudah tumbuh. Sejarah penyembahan berhala menunjukkan bahwa ketika manusia mengikuti perasaan tanpa bimbingan ilmu, mereka mudah tersesat.

Menjaga ilmu, iman, dan tauhid menjadi benteng agar umat manusia tidak kembali ke kegelapan masa lalu. Wallahu a’lam.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement