Ibadah
Beranda » Berita » Belajar Taqdir di Tengah Reruntuhan al-Khoziny

Belajar Taqdir di Tengah Reruntuhan al-Khoziny

SURAU.CO. Musibah mengguncang Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, pada 29 September 2025. Sebuah bangunan tiga lantai ambruk saat para santri sedang salat Ashar berjamaah. Puluhan santri dan pekerja terjebak di reruntuhan, sementara warga, aparat, dan relawan bergegas mengevakuasi. Sore yang biasanya tenang berubah menjadi lautan doa dan air mata, ketika halaman pondok diselimuti duka dan debu reruntuhan.

Di tengah kepanikan itu, tersingkap hakikat kehidupan yang sering terlupa: bahwa segala yang tampak kokoh bisa sirna dalam sekejap. Para santri yang selamat berpelukan, memanjatkan istighfar dan ayat-ayat penguat hati. Dari puing-puing yang berserak, tampak jelas bahwa musibah bukan semata ujian, melainkan panggilan untuk kembali merenungi arti sabar, syukur, dan keterikatan manusia kepada Allah Swt yang Maha Mengatur segala takdir.

Taqdir: Antara Kehendak Allah dan Tanggung Jawab Manusia

Di tengah kepanikan, Kiai Abdus Salam Mujib, Pengasuh Pondok Pesantren al-Khoziny, tampil menenangkan. Beliau menyampaikan kalimat yang mendalam,

“Ini adalah takdir Allah. Mari bersabar. InsyaAllah akan diganti dengan yang lebih baik.”

Kalimat ini menjadi perdebatan di media sosial. Sebagian menilai ucapan tersebut mengabaikan aspek teknis konstruksi bangunan yang tidak standar. Namun, dalam tradisi pesantren, taqdir bukan berarti menolak tanggung jawab. Taqdir adalah cara hati berlabuh saat daya manusia mencapai batasnya. Pepatah santri mengatakan,

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Kita berusaha dengan sepenuh tenaga, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah Swt.”

Kiai Abdus Salam menjelaskan penyebab runtuhnya bangunan, tetapi fokusnya adalah menenangkan jiwa dan meneguhkan iman. Inilah adab seorang alim: menenangkan sebelum mengurai sebab.

Reruntuhan Sebagai Madrasah Kehidupan

Bagi santri Al-Khoziny, musibah ini menjadi pelajaran hidup yang tak akan terlupa. Mereka menyaksikan ketegaran kiai mereka, yang tetap menenangkan para santri dengan zikir dan doa di tengah reruntuhan. Dari sana mereka belajar bahwa takdir, seberat apa pun, bukanlah akhir, melainkan awal bagi perbaikan dan kedewasaan jiwa.

Di tengah ujian itu, mereka menemukan makna sabar yang sejati—bukan sekadar menahan luka, tetapi menerima dengan lapang dada bahwa setiap kejadian membawa hikmah dari Allah Swt.

Keseimbangan Antara Ikhtiar dan Tawakal

Dalam Islam, takdir dan ikhtiar berjalan beriringan. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.” Pesan ini menegaskan bahwa tawakal tidak meniadakan usaha, dan ikhtiar tidak menafikan takdir. Menerima takdir berarti mengakui keterbatasan manusia, tanpa berhenti memperbaiki diri. Di sanalah keseimbangan spiritual tumbuh yakni antara pasrah dan berjuang, antara menerima dan memperbaiki. Imam Ibn Athaillah as-Sakandari menulis dalam al-Hikam,

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

“Ketika Allah menimpakan ujian, Ia bukan sedang menghukummu, tetapi sedang memanggilmu untuk kembali kepada-Nya.”

Kata-kata ini seakan hidup kembali di Mushola Al-Khoziny. Di antara puing dan air mata, para santri merasakan panggilan lembut itu untuk kembali, memperbaiki diri, dan meneguhkan cinta kepada Allah Swt yang tak pernah meninggalkan hamba-Nya.

Semangat Belajar Tak Padam: Mengaji di Tengah Reruntuhan

Para santri tetap mengaji di bawah tenda darurat, di antara sisa debu dan puing bangunan. Suara hafalan al-Qur’an kembali bergema, menembus udara sore yang masih menyimpan duka. Mereka belajar dari keteladanan kiai mereka yang tetap tersenyum, menenangkan, dan menuntun mereka dengan sabar.

Dari peristiwa itu, mereka memahami bahwa ridha terhadap takdir Allah Swt adalah puncak ketenangan hati. Justru di tengah kehilangan, keyakinan mereka tumbuh lebih kuat—bahwa ilmu, iman, dan cinta kepada Allah Swt tak akan runtuh meski dinding dunia hancur

Dari al-Khoziny Belajar dari Ujian, Menemukan Makna Sejati

Musibah ini adalah pengingat. Sabar bukan tanda kelemahan. Taqdir bukan alasan untuk berhenti berusaha. Ia adalah cara Allah Swt mendidik hamba-Nya. Dari reruntuhan, lahir madrasah kehidupan yang mengajarkan arti tawakal yang sejati.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Sebelum berkomentar, mari belajar diam sejenak. Dari peristiwa Al-Khoziny, kita diajari menatap hidup lebih dalam. Di setiap ujian, Allah Swt menata hati kita. Kita diajarkan bergantung hanya kepada-Nya dan inilah makna sejati dari belajar takdir. Kita harus berani berdiri kembali dengan iman yang lebih kukuh dan dengan hati yang lebih tenang menjadi tujuan.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement