Opinion
Beranda » Berita » I LOVE BEACH vs I LOVE BITCH

I LOVE BEACH vs I LOVE BITCH

I LOVE BEACH vs I LOVE BITCH
I LOVE BEACH vs I LOVE BITCH

 

SURAU.CO – Beragam Kesalahan Pelafalan yang Tampak Sepele, Namun Mengubah Makna dan Persepsi Profesional Kita di Mata Dunia Internasional.

OVERVIEW

Di Indonesia, banyak orang merasa sudah fasih berbahasa Inggris — mereka menggunakannya setiap hari dalam pekerjaan, perkuliahan, atau komunikasi profesional. Namun, ketika diuji dari sisi pelafalan (pronunciation), banyak penutur yang terkejut menemukan bahwa mereka masih sering keliru mengucapkan kata-kata sederhana.

Fenomena ini bukan soal kemampuan berbicara, melainkan soal ketidakpahaman terhadap sistem bunyi internasional.
Dan yang lebih mengkhawatirkan — banyak orang justru membenarkan kesalahan tersebut dengan alasan, “Kan orang bisa paham dari konteks.”

Padahal dalam komunikasi global, alasan ini sangat berisiko. Seorang pembicara bisa mengubah makna, menimbulkan salah paham, dan merusak kredibilitas dirinya serta lembaga yang diwakilinya hanya dengan satu kesalahan ucap.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

KESALAHAN UCAP KECIL, DAMPAKNYA BESAR

Bahasa Inggris adalah bahasa dengan sistem fonetik yang presisi. Perbedaan panjang vokal atau posisi lidah dapat mengubah makna secara total.

Contohnya:

“I love beach” (pantai) vs “I love bitch” (pelacur)
“Later” (nanti) vs “letter” (surat) vs “latter” (yang terakhir)
“Very” (sangat) vs “ferry” (kapal penyeberangan)

Penutur Indonesia kerap mengabaikan kesalahan seperti ini, padahal bagi pendengar asing, bunyi yang salah bisa terdengar kasar, lucu, atau bahkan ofensif. Dalam forum resmi, efeknya bukan hanya salah paham — tetapi juga hilangnya kesan profesional dan kredibel.

MITOS “KONTEKS” DALAM KOMUNIKASI INTERNASIONAL

Banyak yang berpendapat, “Ah, yang penting orang paham maksudnya.”

Riyadus Shalihin: Buku Panduan Kecerdasan Emosional (EQ) Tertua Dunia

Namun ini adalah bentuk pembenaran yang menyesatkan.
Dalam komunikasi profesional, konteks tidak selalu bisa menyelamatkan pesan yang salah ucap.

Di dunia akademik, bisnis, atau diplomasi, kejelasan bunyi adalah bentuk penghormatan terhadap pendengar. Mengandalkan konteks berarti melempar tanggung jawab komunikasi ke lawan bicara. Pembicara harus memastikan pesan diterima dengan jelas dan tepat.

AKAR MASALAH: SISTEM BELAJAR TANPA DASAR FONETIK

Masalah ini bukan karena orang Indonesia tidak mampu, melainkan karena sistem pembelajaran bahasa Inggris yang tidak pernah mengajarkan fonetik secara deduktif dan terstruktur.

Sebagian besar pembelajar hanya mengandalkan metode dengar–tiru–ulang–hafal, tanpa memahami mengapa bunyi tertentu diucapkan dengan posisi lidah atau tekanan tertentu.

Tanpa pemahaman terhadap fonetik internasional, lidah akan terus mengikuti kebiasaan bahasa ibu. Akibatnya, meskipun sudah belajar bertahun-tahun, pelafalan tetap terdengar lokal dan sulit dikoreksi.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

DAMPAK PROFESIONAL YANG NYATA

Dalam dunia global, pelafalan bukan sekadar gaya bicara — melainkan simbol disiplin berpikir dan profesionalitas. Pembicara dengan pelafalan tidak baku mungkin bisa dimengerti, tetapi akan terdengar kurang terlatih atau kurang serius dalam komunikasi formal.

Sebaliknya, seseorang yang berbicara dengan pelafalan baku internasional terdengar tenang, jelas, dan meyakinkan.

Itulah mengapa lembaga penyiaran seperti BBC News menggunakan standar Modern RP (Received Pronunciation) — agar pesan dapat diterima secara universal tanpa bias logat lokal.

KESIMPULAN

Kebiasaan berkata, “Ah, yang penting orang paham,” sebetulnya menunjukkan rendahnya kesadaran terhadap tanggung jawab komunikasi. Bahasa bukan sekadar alat berbicara, tetapi alat berpikir dan cerminan profesionalitas.

Menguasai pelafalan baku internasional bukanlah kesombongan — melainkan bentuk penghormatan terhadap makna, pendengar, dan diri sendiri sebagai komunikator.

Melalui Metode Deduktif BBC News, peserta tidak sekadar meniru bunyi, tetapi memahami logika fonetik di baliknya. Hanya dalam tiga kelas teori, siapa pun dapat berbicara dengan kejelasan, keanggunan, dan kredibilitas yang diakui secara internasional.

Sudah saatnya kita berhenti membenarkan kesalahan — dan mulai berbicara sebagaimana dunia profesional berbicara. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk Anda dan keluarga. (Muha Surdirman)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement