Pendidikan
Beranda » Berita » DILEMA GURU NGAJI: ANTARA PENGABDIAN DAN KEBUTUHAN HIDUP

DILEMA GURU NGAJI: ANTARA PENGABDIAN DAN KEBUTUHAN HIDUP

DILEMA GURU NGAJI: ANTARA PENGABDIAN DAN KEBUTUHAN HIDUP
DILEMA GURU NGAJI: ANTARA PENGABDIAN DAN KEBUTUHAN HIDUP

 

SURAU.CO – SAUDARAKU YANG BAIK. Tulisan ini bukan untuk mengeluh, apalagi menuntut belas kasihan. Tulisan ini saya tulis dengan hati, untuk membuka mata hati kita bersama—agar kita lebih memperhatikan kesejahteraan mereka yang telah mengajari kita mengeja huruf demi huruf kalam Allah, membaca Al-Qur’an, memahami tajwid, adab, dan akhlak mulia: para guru ngaji.

Selama ini, masih banyak di antara kita yang memandang pekerjaan guru ngaji hanya sebagai amal sosial dan sukarela, bukan profesi yang layak dihargai. Mereka dilabeli dengan kata “ikhlas” dan “sabar” seolah-olah kedua kata itu cukup untuk menggantikan kebutuhan hidup yang nyata.

Padahal, ikhlas tidak berarti hidup tanpa biaya. Sabar bukan berarti perut tak butuh diisi. Ridha bukan berarti bebas dari tanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anak yang menunggu makan di rumah.

Guru Ngaji Tak Bisa Dibayar dengan Ucapan Terima Kasih Saja

Saya tegaskan, guru ngaji tidak bisa dibayar dengan ucapan terima kasih dan kata-kata manis semata. Apalagi hanya dengan doa tanpa ada upaya nyata untuk menghargai perjuangannya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Betapa sering guru ngaji datang ke rumah-rumah, melangkah jauh di bawah panas terik atau hujan deras, mengajar anak-anak yang mungkin terkadang tak mau diam, bahkan mengulang-ulang pelajaran yang sama setiap pekan—tanpa mengeluh, tanpa pamrih.

Namun sayangnya, ketika urusan mengaji, banyak dari kita berkata, “Ah, nanti saja kasih amplop kecil, yang penting niatnya.” Tapi ketika urusan les matematika, kursus bahasa, atau pelatihan keterampilan duniawi, kita tak ragu mengeluarkan uang besar.

Bukankah aneh, urusan dunia kita bayar mahal, urusan akhirat kita hemat-hemat?
Bukankah ini tanda bahwa keseimbangan nilai dalam hati kita mulai tergeser?

Guru Ngaji dan Dilema Pengabdian

Guru ngaji sejati tak akan menetapkan gaji. Mereka tahu bahwa mengajar Al-Qur’an adalah ibadah. Mereka tak mau menjual ayat Allah dengan harga murah, sebagaimana Allah peringatkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 41. Tapi di sisi lain, mereka juga manusia. Mereka punya tanggungan, anak yang harus sekolah, rumah yang harus dipertahankan, dan dapur yang harus tetap mengepul.

Inilah dilema yang kadang menyesakkan dada mereka: antara pengabdian dan kebutuhan hidup.
Antara ingin terus mendidik umat dengan lillah, namun di sisi lain, realitas ekonomi tak bisa dihindari.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Tak sedikit guru ngaji yang akhirnya harus bekerja serabutan: menjadi tukang ojek, berdagang kecil, atau bekerja di ladang, demi menutupi kebutuhan keluarga. Ada pula yang harus rela meninggalkan dunia mengaji karena tak lagi mampu bertahan dengan penghasilan yang tak menentu.

Padahal dari Mulut Guru Ngaji, Lahir Generasi Qur’ani

Coba kita renungkan: siapa yang pertama kali mengajari kita membaca huruf Alif, Ba, Ta?
Siapa yang sabar membetulkan bacaan kita ketika lidah belum fasih membaca makhraj huruf?
Siapa yang menanamkan pada kita cinta kepada Al-Qur’an sebelum kita mengenal dunia yang penuh gemerlap ini?

Itu semua jasa guru ngaji.

Mereka tak sekadar mengajarkan huruf, tapi membentuk jiwa. Tak sekadar memperbaiki bacaan, tapi menanamkan iman. Mereka adalah penjaga generasi, pembangun peradaban, dan penerus risalah Rasulullah ﷺ dalam bidang pendidikan ruhani.

Namun ironisnya, sering kali mereka yang menjaga cahaya itu justru hidup dalam kegelapan ekonomi. Mereka yang mengajarkan tentang surga, dunia menguji mereka dengan kerasnya kehidupan.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Menghargai Ilmu, Menghargai Guru

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menyayangi anak kecil, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kami.”
(HR. Ahmad dan al-Hakim)

Menghargai guru ngaji adalah bagian dari menghormati ilmu itu sendiri. Memberikan penghargaan, perhatian, atau bantuan kepada mereka bukan berarti “membayar pahala”, tetapi menunaikan adab terhadap ilmu.

Imam Syafi’i pernah berkata:

“Aku membuka lembaran di hadapan guruku dengan perlahan karena aku segan jika terdengar suara lembaran itu mengganggu beliau.”

Betapa dalamnya adab terhadap guru dalam tradisi Islam. Maka, bagaimana mungkin kita tega membiarkan guru ngaji yang telah menanamkan iman kepada anak-anak kita hidup dalam kesempitan?

Saatnya Umat Bergerak Bersama

Kita tak bisa terus bersembunyi di balik alasan “ikhlas” untuk tidak menghargai guru ngaji.
Ikhlas itu letaknya di hati guru, bukan di dompet murid.

Maka, marilah kita ubah cara pandang ini. Jika selama ini masjid, surau, atau majelis taklim kita hanya mengandalkan donasi kecil untuk guru ngaji, mari buat sistem yang lebih berkeadilan:

Bentuk Dana Abadi Guru Ngaji di setiap masjid.

Buat program insentif dari zakat profesi umat untuk guru ngaji.

Jadikan infak ilmu sebagai bagian dari kesadaran sosial, bukan sekadar kegiatan insidental.

Karena sejatinya, membantu kesejahteraan guru ngaji adalah investasi akhirat. Siapa yang mengajarkan Al-Qur’an, Allah akan mengalirkan pahala bagi setiap huruf yang dibaca muridnya, dan fasilitatornya memperoleh bagian dari pahala yang sama.

Guru Ngaji, Penjaga Cahaya di Tengah Zaman Gelap

Guru tidak bisa membentuk karakter anak secepat media. Di mana tontonan bisa mengalahkan tuntunan.

Di tengah derasnya arus teknologi dan kemerosotan moral, guru ngaji adalah penjaga terakhir benteng iman anak-anak kita.

Mereka adalah pelita di tengah kegelapan. Tapi pelita itu perlu minyak agar tetap menyala. Jika kita biarkan minyak itu habis tanpa isi, maka cahaya akan padam—dan yang gelap bukan hanya guru ngaji, tapi juga masa depan anak-anak kita.

Penutup: Barokah untuk Mereka yang Menghidupkan Cahaya Ilmu

Saudaraku yang baik.

Guru ngaji tidak akan menuntut banyak. Mereka tidak meminta kita menghormati mereka dengan upacara, tidak perlu kita puji mereka dengan kata-kata. Mereka hanya menginginkan kita menghargai mereka dengan kepedulian.

Jika engkau pernah meneteskan air mata karena doa guru ngajimu, maka jangan biarkan air mata mereka menetes karena lapar dan kesulitan hidup.

Mari kita jadikan perhatian kepada guru ngaji sebagai bentuk cinta kita kepada Al-Qur’an. Karena siapa yang memuliakan pengemban Al-Qur’an, insyaAllah Allah akan memuliakannya di dunia dan di akhirat.

> “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Al-Qur’an, dan merendahkan kaum lainnya dengan sebab meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Semoga Allah memberikan kesehatan, kekuatan, dan keberkahan kepada seluruh guru ngaji di penjuru negeri.
Semoga mereka tetap teguh dalam pengabdian, dan semoga umat semakin sadar bahwa menghargai guru ngaji adalah menghormati agama itu sendiri. (Oleh : Tengku Iskandar, M. Pd –
Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement