Opinion
Beranda » Berita » Mimpi atau Realitas Siapa Saya di Masa Depan

Mimpi atau Realitas Siapa Saya di Masa Depan

Mimpi atau Realitas Siapa Saya di Masa Depan
Mimpi atau Realitas Siapa Saya di Masa Depan

 

SURAU.CO – Fenomena “Cita-Cita Itu Gratis: Mengapa yang Dimimpikan yang Kecil-Kecil?” sering terjadi karena adanya batasan psikologis, sosial, dan edukasi yang mempengaruhi individu dalam menetapkan tujuan.

Meskipun secara prinsip bermimpi tidak memerlukan biaya, realitas penerapannya dipengaruhi oleh rasa takut gagal, kurangnya informasi atau model peran, dan sistem pendidikan yang mungkin kurang memfasilitasi eksplorasi potensi besar.
>Individu sering kali memilih cita-cita yang “kecil” atau tampak mudah dicapai sebagai mekanisme pertahanan diri untuk menghindari risiko kekecewaan atau kegagalan yang lebih besar.

Ontologi Cita-Cita (Hakikat Keberadaan Cita-Cita)

Ontologi membahas tentang hakikat yang ada (being) atau realitas.

Dalam konteks cita-cita, ontologi berusaha memahami apa sebenarnya cita-cita itu.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

  1. Filosofis (Hakikat Cita-Cita sebagai Realitas dan Nilai)
    Realisme/Idealisme: Dalam pandangan Idealisme, cita-cita sering kali dipandang sebagai realitas spiritual atau ide-ide sempurna yang harus diwujudkan. Pendidikan bertujuan membimbing peserta didik untuk mencita-citakan hal-hal yang baik dan bertaraf tinggi.

Secara ontologis, cita-cita adalah tujuan ideal yang mengarahkan keberadaan manusia menuju kesempurnaan.

Dalam Eksistensialisme, cita-cita adalah bagian integral dari eksistensi individu, di mana manusia “menjadi” melalui pilihan dan proyeksi masa depannya, menciptakan esensinya sendiri.

Nilai (Aksiologi): Cita-cita memiliki hakikat sebagai nilai (value) yang menggerakkan dan memberi makna pada tindakan seseorang, melampaui sekadar kebutuhan fisik.

  1. Psikologis (Hakikat Cita-Cita sebagai Konstruk Mental)
    Motivasi dan Kognisi:

Secara ontologis psikologis, cita-cita adalah konstruk kognitif dan afektif dalam diri individu. Cita-cita adalah gambaran mental tentang masa depan yang diinginkan, yang berfungsi sebagai sumber motivasi (internal drive) dan pedoman perilaku yang terarah.

Potensi Diri: Cita-cita berakar pada hakikat potensi yang ada dalam diri manusia yang menuntut untuk diaktualisasikan (seperti dalam teori Hierarki Kebutuhan Maslow, di mana aktualisasi diri adalah puncak kebutuhan).

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

  1. Edukasi (Hakikat Cita-Cita sebagai Tujuan Pendidikan)
    Tujuan Ideal: Secara ontologis edukasi, cita-cita adalah tujuan akhir yang hendak dicapai oleh proses pendidikan. Pendidikan, baik formal maupun informal, berorientasi pada pembentukan pribadi ideal yang bermoral, berkapasitas, dan mampu berkarya sesuai dengan cita-cita luhur bangsa/masyarakat dan potensi individu.

Proyeksi Masa Depan: Cita-cita adalah realitas yang menjadi visi yang ditanamkan dan dikembangkan melalui kurikulum dan proses pembelajaran.

Analisis Kata “Cita-Cita”

  1. Etimologis (Asal Kata)
    Kata Cita-Cita berasal dari kata dasar Cita (dibuat reduplikasi):

Cita memiliki beberapa arti dalam bahasa Indonesia:

Rasa; perasaan hati (klasik).

Cipta (kemampuan batin untuk mengadakan ide baru).

Keinginan; harapan; ide; gagasan.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Pengulangan kata menjadi Cita-Cita (nomina) memperkuat makna asalnya, merujuk pada keinginan yang selalu ada di dalam pikiran atau tujuan yang sempurna yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan akar kata yang berhubungan erat dengan proses mental, batin, dan penciptaan ide.

  1. Terminologis (Definisi Istilah)
    Secara terminologis, Cita-Cita didefinisikan sebagai:

Menurut KBBI: Keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran; atau tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan).

Secara umum: Merupakan impian, harapan, atau tujuan spesifik dan terstruktur yang secara sadar diupayakan oleh individu untuk diwujudkan dalam kehidupannya di masa depan. Cita-cita melibatkan target dan tindakan nyata untuk mencapainya, membedakannya dari sekadar impian atau khayalan belaka.

  1. Hermeneutika (Penafsiran Makna)
    Hermeneutika adalah teori atau seni penafsiran makna. Menganalisis cita-cita menggunakan hermeneutika berarti menafsirkan maknanya dalam konteks yang lebih luas:

Lingkaran Hermeneutik Cita-Cita: Penafsiran cita-cita bergerak dalam sebuah lingkaran:

Horison Teks (Cita-Cita sebagai Pernyataan): Cita-cita yang diucapkan atau ditulis adalah “teks” yang harus dipahami.

Horison Pengarang (Konteks Individu): Makna cita-cita terkait erat dengan latar belakang, pengalaman hidup, nilai-nilai, dan kepentingan individu yang mencita-citakan.

Cita-cita (teks) ditafsirkan melalui “dunia” (horison) si pemimpi

Horison Pembaca (Konteks Sosial/Budaya): Cita-cita juga ditafsirkan melalui norma, harapan sosial, dan ideologi yang melingkupi masyarakat. Contohnya, “cita-cita kecil” bisa dimaknai sebagai kepuasan diri di satu budaya, atau sebagai kurangnya ambisi di budaya lain.

Makna yang Melampaui Teks: Hermeneutika memungkinkan kita melihat bahwa makna cita-cita tidak hanya sebatas keinginan, tetapi juga manifestasi dari kebebasan, tanggung jawab, dan perjuangan seseorang untuk mengatasi keterbatasan dan mewujudkan potensi dirinya.

Cita-cita adalah pesan ideologis pribadi tentang “siapa aku di masa depan” yang perlu ditafsirkan secara mendalam. Konsep dan Narasi (oleh: Edi Fakhri, Depok Jawa Barat, Indonesia, 09-10-2025)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement