Dalam dunia yang serba cepat dan digital ini, kita kerap terjebak dalam ilusi bahwa pengetahuan dapat diperoleh hanya dengan sekali klik. Namun, di tengah derasnya arus informasi, adab terhadap guru justru menjadi nilai yang semakin langka. Padahal, Imam Az-Zarnuji dalam karya monumentalnya, Ta‘lîm al-Muta‘allim Tharîq at-Ta‘allum, menegaskan bahwa menghormati guru bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan fondasi spiritual yang menentukan keberkahan ilmu.
Adab kepada guru bukanlah konsep yang usang. Ia adalah prinsip abadi yang menghubungkan murid dengan sumber cahaya ilmu. Sebab ilmu tanpa adab ibarat cahaya tanpa arah—terang, tetapi membutakan.
Adab kepada Guru: Jalan Menuju Ilmu yang Berkah
Imam Az-Zarnuji memulai kitabnya dengan menegaskan bahwa kesuksesan menuntut ilmu bergantung pada niat dan adab terhadap guru. Ia menulis:
“واعلم أن العلم عبادة، ولا تُقبل العبادة إلا بالنية والإخلاص.”
“Ketahuilah, sesungguhnya menuntut ilmu adalah ibadah, dan tidak diterima ibadah kecuali dengan niat dan keikhlasan.”
Dari sinilah jelas bahwa guru bukan sekadar penyampai informasi. Ia adalah penjaga tradisi keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ. Oleh karena itu, seorang murid harus menempatkan gurunya dengan hormat, karena ilmu tidak akan menetap di hati yang sombong.
Menghormati guru berarti membuka pintu keberkahan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak para ulama.” (HR. Ahmad)
Hadis ini memperlihatkan bahwa penghormatan kepada guru adalah bagian dari akhlak Islam. Sebab, guru bukan hanya pembimbing akal, tetapi juga penuntun hati. Dengan menghormatinya, seorang murid sebenarnya sedang menundukkan egonya agar ilmu bisa masuk dan bersemayam dengan lembut.
Mengapa Adab Lebih Tinggi daripada Ilmu?
Banyak ulama terdahulu sepakat bahwa adab mendahului ilmu. Imam Malik pernah berkata kepada seorang pemuda Quraisy: “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Dalam konteks Ta‘lîm al-Muta‘allim, Imam Az-Zarnuji memperingatkan bahwa ilmu tidak akan memberi manfaat bila disertai kesombongan atau meremehkan guru.
Ia menulis dengan tajam:
“ومن لم يصبر على ذل التعلم، ساعة بقي في ذل الجهل أبداً.”
“Barang siapa tidak sabar menanggung kerendahan ketika belajar sejenak, maka ia akan tinggal dalam kehinaan kebodohan selamanya.”
Ungkapan ini mengandung pelajaran mendalam. Belajar memang menuntut kerendahan hati. Murid yang merasa paling tahu, atau enggan menerima arahan, sesungguhnya menutup pintu hatinya sendiri dari limpahan hikmah.
Di era media sosial, di mana semua orang bisa berpendapat, adab seperti ini sering terlupakan. Banyak yang berani membantah atau mengkritik guru di ruang publik tanpa etika. Padahal, dalam pandangan Az-Zarnuji, tindakan seperti itu bisa menghalangi datangnya keberkahan ilmu. Ilmu yang diperoleh mungkin luas, tetapi kehilangan ruhnya.
Guru sebagai Cermin Ketulusan dan Cahaya Keilmuan
Dalam Islam, guru bukan hanya sosok pengajar, tetapi juga mursyid—penunjuk jalan menuju kebenaran. Karena itu, menghormatinya berarti menghargai cahaya yang ia bawa.
Al-Qur’an memberikan panduan halus tentang posisi guru dalam ayat:
وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (QS. Ṭāhā [20]: 114)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah karunia Allah yang disalurkan melalui perantara. Guru adalah salah satu perantara itu. Maka, menghormati guru sejatinya adalah bentuk penghormatan kepada pemberi ilmu, yakni Allah sendiri.
Imam Az-Zarnuji juga mengingatkan bahwa murid hendaknya tidak menentang atau membantah gurunya dengan nada keras, sekalipun ia merasa benar. Ia menulis:
“ولا يمشي أمامه، ولا يجلس في موضعه، ولا يبدأ بالكلام إلا بإذنه.”
“Janganlah murid berjalan di depan gurunya, jangan duduk di tempatnya, dan jangan berbicara sebelum diizinkan.”
Nilai-nilai seperti ini bukanlah bentuk feodalisme ilmiah, melainkan latihan batin untuk menumbuhkan tawadhu‘ (rendah hati). Dalam kerendahan hati, ilmu tumbuh subur dan melahirkan hikmah.
Krisis Adab di Era Digital: Saat Guru Dianggap Sejajar dengan Mesin
Kita hidup di masa di mana guru harus bersaing dengan mesin pencari. Informasi dapat diakses tanpa batas, dan banyak yang merasa tidak perlu lagi berguru secara langsung. Padahal, data bukanlah ilmu. Data memberi tahu apa, sedangkan guru mengajarkan mengapa dan bagaimana.
Dalam Ta‘lîm al-Muta‘allim, Az-Zarnuji menekankan bahwa ilmu yang bermanfaat hanya akan hadir melalui proses dan bimbingan. Ilmu yang diperoleh tanpa adab ibarat tanaman yang tumbuh tanpa akar—mudah roboh dan tak berbuah.
Oleh karena itu, meskipun teknologi memudahkan, peran guru tidak pernah tergantikan. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi pembimbing moral dan spiritual. Ia mengajarkan sikap sabar, ikhlas, dan rendah hati—nilai yang tak akan kita temukan di layar ponsel.
Menghidupkan Kembali Budaya Taqrîm al-Ustadz (Menghormati Guru)
Menghormati guru bukan berarti menutup ruang berpikir kritis. Justru, murid yang baik adalah yang bertanya dengan adab, berdialog dengan hormat, dan menerima perbedaan dengan lapang dada.
Dalam tradisi pesantren, mencium tangan guru bukan hanya ritual, tetapi simbol penerimaan cahaya ilmu. Murid meyakini bahwa keberkahan turun melalui tangan-tangan guru yang tulus mendidik tanpa pamrih.
Sikap seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali. Sebab, kehilangan rasa hormat terhadap guru berarti kehilangan akar peradaban. Tanpa penghormatan, ilmu akan kehilangan kemuliaannya. Tanpa adab, pengetahuan menjadi sekadar alat, bukan cahaya.
Meneladani Akhlak Para Ulama terhadap Guru
Para ulama besar menjadi teladan nyata tentang bagaimana menghormati guru. Imam Syafi‘i, misalnya, tidak berani membuka lembaran kitab di hadapan gurunya tanpa izin. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengambil satu hadis dari seorang guru.
Inilah bentuk cinta terhadap ilmu yang lahir dari penghormatan. Mereka tidak hanya mengejar isi ilmu, tetapi juga mengamalkan adabnya. Dalam pandangan Az-Zarnuji, hal ini adalah bukti bahwa adab adalah bagian dari keberhasilan belajar.
Sebagaimana ia tulis:
“العلم لا يُعطى كاملاً حتى يُعطى كلك.”
“Ilmu tidak akan diberikan secara sempurna hingga engkau menyerahkan seluruh dirimu untuknya.”
Menyerahkan diri di sini bukan berarti kehilangan kebebasan berpikir, melainkan menundukkan hati agar ilmu menjadi cahaya, bukan bara ego.
Penutup
Menghormati guru bukan hanya etika belajar, tetapi zikir yang hidup dalam tindakan. Ia adalah cara kita menundukkan diri di hadapan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Dalam setiap hormat, kita menanam benih keberkahan. Dalam setiap ucapan terima kasih, kita memperpanjang rantai keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ.
Ilmu memang bisa ditemukan di buku, tetapi kebijaksanaan hanya bisa lahir dari hubungan yang tulus antara guru dan murid. Ketika kita belajar dengan adab, ilmu bukan hanya masuk ke kepala, tetapi juga menembus hati.
Maka, di tengah zaman yang mengagungkan kecepatan, mari kita perlambat langkah sejenak—untuk menunduk, mendengar, dan menghormati. Sebab, adab kepada guru bukan hanya warisan masa lalu, tetapi jalan pulang menuju kemuliaan yang abadi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
