Menggali Makna Kehidupan dan Kematian
SURAU.CO – Dalam setiap hembusan napas kehidupan manusia, terdapat sebuah kekuatan yang tak terlihat. Kekuatan ini mengatur segala sesuatu dengan ketelitian yang sempurna. Dialah Allah, Sang Pencipta. Dia adalah Pemilik kehidupan dan kematian. Dia memegang kendali penuh atas perjalanan setiap makhluk di alam semesta ini. Firman-Nya dalam Al-Qur’an menjadi sebuah pengingat yang begitu dalam. Ayat ini senantiasa membasahi hati setiap hamba-Nya.
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan.”
(QS. Yunus: 56)
Ayat yang mulia ini secara tegas menegaskan sebuah kebenaran universal. Hidup dan mati bukanlah sekadar peristiwa biologis yang terjadi secara kebetulan. Sebaliknya, kedua fase ini merupakan bagian integral dari ketetapan Allah. Setiap ketetapan Allah selalu penuh hikmah dan tujuan yang agung. Manusia, dalam perjalanannya, seringkali diliputi perasaan. Mereka merasa seolah memiliki kendali penuh atas hidupnya. Kita sibuk mengejar cita-cita, merencanakan masa depan dengan segala detailnya. Kita juga berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kehidupan ini. Namun, pada hakikatnya, segala sesuatu terjadi dalam genggaman takdir Allah. Tidak ada satu pun jiwa yang mampu menunda ajalnya. Ini adalah realitas yang tak terbantahkan. Sebagai penulis, saya merasa penting untuk terus merenungi ayat ini. Ini mengingatkan kita pada keterbatasan diri. Ini juga mengingatkan kita pada kekuasaan Allah yang mutlak.
Kehidupan di dunia ini adalah sebuah ujian besar. Allah menghidupkan kita bukan tanpa tujuan yang jelas. Dia menghidupkan kita agar kita beramal. Dia menghidupkan kita agar kita mengenal-Nya. Kita juga perlu menyiapkan bekal. Bekal ini akan kita gunakan untuk hari di mana kita akan dikembalikan kepada-Nya. Sementara itu, kematian bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Kematian justru merupakan pintu gerbang. Pintu ini akan membawa kita menuju kehidupan yang abadi. Kehidupan abadi ini akan memperlihatkan hasil dari segala amal perbuatan kita selama di dunia. Setiap kebaikan akan terbalas. Setiap keburukan akan terhitung. Ini adalah janji yang pasti dari Rabb semesta alam.
Menumbuhkan Kesadaran: Antara Syukur dan Takut
Ketika manusia telah mencapai titik kesadaran ini, sebuah transformasi spiritual akan terjadi. Kesadaran bahwa hidup dan mati sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah akan menumbuhkan beberapa perasaan. Perasaan ini begitu dalam di dalam dirinya. Pertama, akan tumbuh rasa tunduk yang mendalam kepada-Nya. Kedua, muncul rasa syukur yang tak terhingga. Kita bersyukur karena diberi kesempatan hidup. Kesempatan ini untuk memperbaiki diri. Kesempatan ini juga untuk mengumpulkan bekal terbaik. Ketiga, tumbuh rasa takut kepada-Nya. Kita menyadari bahwa setiap langkah. Setiap perkataan. Setiap perbuatan. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir. Rasa takut ini bukanlah rasa takut yang melumpuhkan. Sebaliknya, ini adalah rasa takut yang memotivasi. Rasa takut ini mendorong kita untuk selalu berbuat kebaikan. Ini juga menjauhkan kita dari kemaksiatan.
Kesadaran ini membawa kita pada pemahaman baru. Kematian bukanlah sesuatu yang harus kita takuti dengan ketakutan yang berlebihan. Namun, kematian harus kita hadapi dengan kesiapan yang matang. Seseorang yang hidupnya dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah, maka kematian akan menjadi jalan. Jalan ini menuju kedamaian abadi. Kematian akan menjadi gerbang kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, bagi mereka yang lalai dan tenggelam dalam gemerlap dunia, kematian akan menjadi pengingat yang keras. Pengingat bahwa dunia ini hanyalah sementara. Dunia ini fana. Kehidupan akhiratlah yang kekal. Ini adalah perbedaan yang sangat kontras. Ini juga memberikan pelajaran berharga. Hidup ini harus diisi dengan makna.
Rasa syukur dan takut ini seharusnya menjadi kompas. Kompas ini membimbing setiap langkah kita. Kita harus bersyukur atas nikmat kesehatan, atas waktu luang. Lalu bersyukur atas setiap kesempatan beribadah. Di sisi lain, rasa takut akan dosa. Rasa takut akan azab. Rasa takut akan kelalaian. Semua ini harus mendorong kita untuk senantiasa introspeksi. Introspeksi diri dan memperbaiki kesalahan. Ini adalah perjalanan spiritual yang berkelanjutan. Perjalanan ini memerlukan kesungguhan hati.
Memaknai Hidup untuk Kembali yang Hakiki
Maka dari itu, marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas amal kebaikan kita. Marilah kita berusaha menebar manfaat sebanyak mungkin kepada sesama. Marilah kita mendekatkan diri kepada Allah dengan segala upaya terbaik kita. Mengapa? Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya. Dia adalah satu-satunya tempat kembali yang hakiki. Dia adalah tujuan akhir dari setiap perjalanan jiwa. Tidak ada tempat lain untuk kembali. Tidak ada Dzat lain untuk kita berserah diri. Segala sesuatu akan berakhir di hadapan-Nya.
Penting bagi kita untuk tidak hanya memahami konsep ini secara teoretis. Kita perlu menginternalisasikannya. Menginternalisasikannya dalam setiap aspek kehidupan kita. Setiap keputusan yang kita ambi, yang kita lakukan. Dan setiap niat yang kita sematkan. Semuanya harus berorientasi pada tujuan akhir ini. Tujuan akhir untuk kembali kepada Allah. Ini berarti hidup kita harus memiliki makna yang lebih dalam. Makna yang melampaui kepentingan duniawi semata. Hidup ini bukan sekadar tentang berapa lama kita hidup di dunia ini. Bukan tentang berapa banyak harta yang kita kumpulkan. Bukan tentang seberapa tinggi jabatan yang kita raih. Lebih dari itu, hidup ini adalah tentang bagaimana kita memaknainya. Bagaimana kita mengisinya dengan ketaatan. Bagaimana kita mengisinya dengan amal saleh.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lain juga menguatkan pemahaman ini:
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.”
(QS. Al-Baqarah: 156)
Ayat ini adalah pengingat yang kuat. Kita semua adalah milik Allah. Kita datang dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Ini adalah esensi dari keberadaan kita. Ini juga merupakan fondasi keyakinan kita sebagai seorang muslim. Ketika kita mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un saat menghadapi musibah, kita tidak hanya mengucapkan belasungkawa.
Bekal Abadi Menuju Hari Kembali
Pada akhirnya, semua akan berujung pada satu kepastian yang mutlak. Semua akan berujung pada kembali kepada Sang Pemilik kehidupan. Ini adalah takdir yang tak dapat dihindari oleh siapa pun. Oleh karena itu, persiapan adalah kunci utama. Persiapan ini harus kita lakukan sepanjang hayat kita. Bekal terbaik untuk perjalanan ini adalah iman yang kokoh, amal saleh yang tulus, hati yang bersih. Dan bekal terbaik adalah jiwa yang senantiasa mengingat Allah.
Marilah kita jadikan setiap detik kehidupan kita sebagai ladang amal. Ladang ini akan kita panen di akhirat kelak. Kita tidak pernah tahu kapan panggilan itu akan tiba. Kita tidak pernah tahu kapan giliran kita akan datang. Namun, kita bisa memastikan satu hal. Kita bisa memastikan bahwa kita selalu siap. Kita bisa memastikan bahwa kita memiliki bekal yang cukup. Bekal ini untuk bertemu dengan-Nya. Ini adalah tanggung jawab kita. Ini adalah tugas mulia kita di dunia ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
