Menelisik Hikmah di Balik Larangan Shalat di Beberapa Tempat
SURAU.CO – Perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai tempat-tempat yang mendapat larangan untuk mendirikan shalat seringkali memunculkan diskusi yang menarik. Hal ini umumnya berakar pada interpretasi berbagai hadits Nabi Muhammad SAW. Beberapa riwayat hadits mungkin memiliki tingkat kekuatan sanad yang berbeda. Di sisi lain, beberapa hadits juga jelas secara umum, sehingga memerlukan penafsiran lebih mendalam. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan Islam. Ini juga menyoroti bagaimana para cendekiawan Islam berusaha keras memahami setiap detail ajaran agama. Sebagai seorang penulis, saya merasa penting untuk menghargai setiap nuansa pendapat ini. Perbedaan pandana ini justru memperkaya pemahaman kita.
Salah satu hadits yang secara spesifik menyebutkan larangan ini adalah dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menyampaikan bahwa:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang seseorang mengerjakan shalat di tujuh tempat; tempat sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan, di tengah jalan, kamar mandi, kandang unta dan di atas bangunan Ka’bah.” (HR. at-Tirmidzi, 346. Ibnu Majah, 746. At-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Ibnu ‘Umar, sanadnya tidak kuat.’)
Hadits ini menjadi landasan utama dalam pembahasan hukum shalat di tempat-tempat tertentu. Namun, seperti yang disebutkan oleh Imam at-Tirmidzi, sanad hadits ini tidak begitu kuat. Oleh karena itu, para ulama kemudian menelusuri alasan di balik larangan tersebut. Apakah larangan ini bersifat murni ibadah (ta’abbud), yaitu bentuk ketaatan tanpa harus mencari tahu alasannya, ataukah ada sebab-sebab lain seperti keberadaan najis? Menurut al-Mardawai dalam kitab al-Inshaf, sebagian besar ulama berpendapat larangan tersebut bersifat ta’abbud. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang meyakini alasan larangan ini berkaitan dengan adanya najis pada tempat-tempat tersebut.
Memahami Larangan Shalat di Tempat Sampah dan Penyembelihan
Pembahasan mengenai tempat-tempat yang memiliki larangan untuk shalat seringkali berasal dari tempat sampah. Alasan utama larangan shalat di tempat ini adalah kemungkinan besar adanya najis. Berbagai jenis kotoran atau limbah bisa saja bercampur di sana. Oleh karena itu, para ulama dari mazhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah memiliki pandangan fleksibel. Mereka membolehkan shalat di tempat sampah jika tempat tersebut sudah pasti bersih dari najis. Pandangan ini berdasarkan pada keumuman hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut menyatakan bahwa seluruh tanah itu suci. Tentu saja, perlu adanya pembeda antara sampah najis dan sampah kering. Sampah kering seperti kertas, kardus, atau dedaunan umumnya tidak mengandung najis.
Selanjutnya, mari kita telaah larangan shalat di tempat penyembelihan hewan. Prediksi adanya darah dan kotoran najis menjadi alasan utama larangan ini. Darah hewan dan sisa-sisa kotoran seringkali tercecer di area tersebut. Jika tempat penyembelihan telah bersih secara menyeluruh dari najis, maka shalat di sana menjadi boleh dan sah. Kondisi kebersihan menjadi faktor penentu utama di sini.
Sebuah pertanyaan menarik kemudian muncul. Mengapa pada zaman Rasulullah SAW, penyembelihan hewan kurban justru dilakukan di al-mushalla? Penjelasan mengenai hal ini memerlukan pemahaman konteks sejarah. Pertama, istilah al-mushalla pada masa itu merujuk pada lapangan luas. Lapangan ini biasa digunakan untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Tentu saja, ini berbeda dengan pemahaman mushalla di Indonesia yang biasanya berupa bangunan. Kedua, tujuan utama penyembelihan kurban di lapangan adalah untuk memberikan keleluasaan. Ini juga memungkinkan lebih banyak umat Islam berkumpul menyaksikan ritual penting tersebut. Ini juga berfungsi sebagai syiar Islam yang kuat. Ketiga, penyembelihan hewan kurban selalu terlaksana setelah pelaksanaan shalat Idul Adha. Dengan demikian, tempat tersebut masih dianggap bersih dan suci dari najis. Kondisi ini tentunya memastikan keabsahan shalat yang telah dilakukan sebelumnya.
Kuburan: Perspektif Fiqih
Tempat ketiga yang sering menjadi perdebatan adalah kuburan. Mengenai shalat di kuburan, terdapat perbedaan pendapat yang cukup signifikan di antara ulama. Mayoritas ulama dari mazhab al-Hanabilah berpendapat bahwa shalat di kuburan tidak sah secara mutlak. Pendapat ini berlaku tanpa memandang apakah kuburan itu sudah hancur atau belum. Ini juga berlaku baik menggunakan sajadah maupun tidak. Pendapat ini juga mencakup kuburan di rumah maupun di pemakaman umum. Adh-Dhahiriyah juga memiliki pandangan yang serupa.
Namun, Imam asy-Syafi’i menawarkan pandangan yang lebih nuansa. Beliau membedakan antara kuburan yang sudah terbongkar dan yang belum. Menurut beliau, jika kuburan tersebut sudah bercampur dengan daging atau nanah orang mati, shalat di dalamnya tidak boleh. Hal ini karena tempat tersebut najis. Akan tetapi, jika seseorang shalat di tempat yang bersih dari najis kuburan, shalatnya sudah sah. Sementara itu, ulama seperti ats-Tsauri, al-Auza’i, dan Imam Abu Hanifah cenderung berpendapat makruh shalat di kuburan. Di sisi lain, Imam Malik berpendapat shalat di kuburan adalah boleh. Namun, pandangan ini ditentang oleh hadits larangan yang telah ada sebelumnya. Ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Mubarakfury dalam Tuhfatu al-Ahwadzi.
Ada pengecualian penting dalam konteks kuburan, yaitu shalat jenazah. Shalat jenazah di kuburan boleh saja. Ini sesuai dengan apa yang pernah Rasulullah SAW lakukan. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
“Bahwa seorang wanita berkulit hitam atau seorang pemuda biasanya menyapu masjid, pernah dicari oleh Rasulullah SAW, maka beliau pun menanyakannya. Para sahabat menjawab, “Orang itu telah meninggal.” Beliau bersabda: “Kenapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” Sepertinya mereka menganggap remeh urusan kematiannya. Beliau pun bersabda: “Tunjukkanlah kepadaku di mana letak kuburannya.” Maka para sahabat pun menunjukkan kuburannya, dan akhirnya beliau menshalatkannya. Setelah itu, beliau bersabda: “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah penuh dengan kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya karena shalat yang aku kerjakan atas mereka (doaku atas mereka).” (HR. al-Bukhari, 440 dan Muslim, 1588. Ini lafadz Muslim)
Terakhir ialah Persimpangan Jalan
Terakhir, kita membahas larangan shalat di persimpangan jalan. Persimpangan jalan di sini merujuk pada area yang padat dan lewat banyak orang. Ini bisa berupa jalan raya yang ramai lalu lintasnya. Mayoritas ulama dari al-Hanafiyah, al-Malikiyah, dan asy-Syafi’iyah, seperti yang dicatat an-Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan makruh shalat di tempat ini. Alasannya jelas: shalat di persimpangan jalan dapat mengganggu lalu lintas masyarakat. Selain itu, kondisi ramai juga berpotensi mengurangi kekhusyu’an shalat.
Bahkan, shalat di tempat tersebut bisa menjadi haram jika menyebabkan madharat yang lebih besar. Contohnya adalah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Namun, ada pengecualian untuk kebutuhan mendesak atau darurat. Misalnya, pelaksanaan shalat Jumat atau shalat Id yang membutuhkan penggunaan jalan. Hal ini sering kita saksikan di berbagai belahan dunia. Demikian pula, shalat di persimpangan jalan yang sepi dan tidak terpakai boleh-boleh saja. Ini karena tidak mengganggu orang lain. Ini juga tidak mengganggu kekhusyu’an shalat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
