Khazanah
Beranda » Berita » Ikhlas dalam Amal: Rahasia Besar Keberkahan Hidup Menurut Kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’

Ikhlas dalam Amal: Rahasia Besar Keberkahan Hidup Menurut Kitab Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’

Remaja Muslim berdoa dengan cahaya hati melambangkan ikhlas dalam amal
Lukisan digital bergaya semi-realistis yang menggambarkan ketulusan hati seorang remaja Muslim yang berdoa dalam kesunyian malam.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang berbuat baik tanpa menata niat terlebih dahulu. Mereka melakukan amal bukan demi ketenangan batin, melainkan demi pengakuan. Melihat fenomena ini, Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’ menasihati para pemuda agar menata hati sebelum menata amal. Beliau menegaskan bahwa ikhlas merupakan ruh setiap amal; tanpa ikhlas, amal kehilangan maknanya, seperti pohon yang tumbuh tanpa buah.

Ikhlas Sebagai Perjalanan Hati

Bagi remaja Muslim, memahami makna ikhlas bukan sekadar teori keagamaan. Lebih dari itu, ikhlas adalah perjalanan spiritual menuju kedewasaan jiwa. Dalam setiap tugas, prestasi, dan perbuatan kecil sehari-hari, keikhlasan menjadi benih yang menumbuhkan keberkahan hidup. Karena itu, setiap langkah menuju keikhlasan sejatinya merupakan langkah menuju kedekatan dengan Allah.

Ikhlas, Pondasi Amal yang Tak Terlihat

Secara bahasa, kata ikhlas berasal dari akar kata khalasha yang berarti murni atau bersih dari campuran. Syaikh Al-Iskandari menulis:

الإخلاص هو تصفية العمل من كل شائبةٍ من حظوظ النفس
“Ikhlas berarti memurnikan amal dari segala kepentingan diri.”

Makna ini tampak sederhana, namun sesungguhnya sangat mendalam. Ia mengajarkan bahwa niat harus benar-benar bebas dari pamrih, baik berupa pujian, keuntungan, maupun ketenaran. Jika seseorang beramal tanpa keikhlasan, amal itu ibarat bejana retak — terlihat penuh dari luar, tetapi tidak mampu menampung air kebaikan di dalamnya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Allah ﷻ juga menegaskan hal ini dalam firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Ayat ini mengajak setiap Muslim untuk menimbang kembali niat di balik amalnya. Dengan hati yang jernih, sekecil apa pun amal yang dilakukan akan bernilai besar di sisi Allah.

Cermin dari Hati yang Bersih

Ikhlas tumbuh dari hati yang bersih. Sebaliknya, hati yang dipenuhi riya’, dengki, atau cinta dunia sulit melahirkan keikhlasan. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari menasihati para pemuda agar senantiasa memperbanyak zikir dan muhasabah diri. Beliau menulis:

طهِّر قلبك من حبّ المدح، وكره الذمّ، تكن خالصاً لوجه الله
“Sucikan hatimu dari cinta pujian dan benci celaan, niscaya engkau menjadi hamba yang ikhlas karena Allah.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pesan ini terasa semakin relevan di era media sosial, ketika manusia mudah tergoda untuk memamerkan amalnya. Banyak orang menolong agar dilihat, bukan karena cinta terhadap kebaikan. Padahal, amal yang tersembunyi justru menjadi bukti keikhlasan yang sejati.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini bukan sekadar pembuka kitab hadits, tetapi kunci utama dalam setiap langkah hidup seorang Muslim.

Keikhlasan yang Menguatkan Jiwa

Dalam kehidupan remaja, banyak yang merasa gelisah dan kehilangan arah karena tekanan lingkungan serta ekspektasi orang lain. Di sinilah keikhlasan berperan penting. Ia memberi ruang lega di tengah tekanan dan mengajarkan bahwa hidup bukan tentang penilaian manusia, melainkan tentang ketulusan di hadapan Allah.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Seseorang yang beramal dengan ikhlas memiliki jiwa yang kokoh. Ia tidak kecewa ketika tidak dihargai, tidak marah ketika disalahpahami, dan tidak putus asa saat gagal. Ia paham bahwa yang terpenting bukanlah pujian manusia, tetapi nilai di sisi Tuhan.

Syaikh Al-Iskandari menggambarkan keikhlasan sebagai minyak dalam lampu: tanpa minyak, lampu takkan menyala. Amal saleh yang tidak disertai keikhlasan tidak akan memancarkan cahaya kebahagiaan, justru menimbulkan kelelahan batin. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan niat tulus akan memancarkan ketenangan meski dalam kesederhanaan hidup.

Bahaya Amal Tanpa Ikhlas

Riya’ dan sum’ah — keinginan untuk dilihat dan didengar — adalah dua penyakit hati yang sering menyamar sebagai motivasi. Banyak remaja aktif di organisasi, dakwah, atau kegiatan sosial tanpa menyadari bahwa mereka ingin tampil di depan publik. Akibatnya, mereka kehilangan makna spiritual dari amal itu sendiri.

Rasulullah ﷺ memperingatkan:

أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، الرِّيَاءُ
“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.” (HR. Ahmad)

Syaikh Muhammad Syakir pun menulis dengan tegas:

مَن عمِلَ لغير الله، حُرِمَ ثوابَ الله
“Siapa yang beramal bukan karena Allah, Allah tidak memberinya pahala.”

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa amal baik sekalipun bisa kehilangan nilainya bila didorong niat yang salah. Karena itu, setiap orang harus membersihkan niatnya sebelum melangkah melakukan kebaikan.

Latihan Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari

Ikhlas tidak tumbuh secara instan. Ia memerlukan latihan yang terus-menerus, seperti otot yang dikuatkan melalui kebiasaan baik. Remaja bisa memulainya dari hal-hal kecil: membantu teman tanpa pamrih, belajar untuk mencari ilmu bukan nilai, atau menolong tanpa mengharapkan ucapan terima kasih.

Setiap kali hati tergoda untuk mencari pujian, ingatlah bahwa penilaian manusia fana, sedangkan ridha Allah abadi. Syaikh Al-Iskandari menulis:

اجعل عملك لله، لا يهمّك مَن يراك أو لا يراك
“Jadikan amalmu hanya untuk Allah; jangan pedulikan siapa yang melihatmu atau tidak.”

Kebiasaan sederhana ini akan melatih kekuatan batin dan menjernihkan niat. Dengan demikian, seseorang akan belajar menikmati proses, bukan sekadar menunggu hasil.

Buah dari Keikhlasan

Ketika seseorang beramal dengan ikhlas, hidupnya akan dipenuhi keberkahan. Rezekinya terasa cukup, hatinya tenang, dan hubungannya dengan sesama menjadi lebih baik. Bahkan dalam kegagalan pun, ia tetap bersyukur karena yakin bahwa Allah melihat setiap usahanya.

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat ihsan.” (QS. An-Nahl [16]: 128)

Ikhlas menjadikan amal bernilai ihsan — berbuat seolah-olah melihat Allah. Dengan hati yang ikhlas, hidup menjadi ringan dan penuh berkah.

Meneladani Syaikh Muhammad Syakir Al-Iskandari

Syaikh Muhammad Syakir bukan hanya ulama besar, tetapi juga pendidik hati. Dalam Washoya al-Abaa’ lil Abnaa’, beliau mengajarkan anak-anaknya untuk selalu menjaga niat dalam setiap amal. Menurut beliau, keberhasilan sejati tidak diukur dari banyaknya pujian manusia, melainkan dari ketenangan hati di hadapan Allah.

Beliau menulis dengan penuh kelembutan:

لا تعمل عملاً إلا وأنت تنظر إلى وجه الله فيه
“Janganlah engkau melakukan amal apa pun kecuali engkau memandang wajah Allah di dalamnya.”

Nasihat ini menggugah jiwa. Ia mengingatkan bahwa setiap aktivitas — belajar, menulis, menolong, bahkan tersenyum — dapat menjadi ibadah bila diniatkan karena Allah.

Penutup

Ikhlas adalah rahasia besar yang menenangkan hati dan menumbuhkan keberkahan hidup. Ia tidak terlihat oleh mata, tetapi terasa oleh jiwa. Ia tidak membutuhkan pengakuan, tetapi meninggalkan jejak kebaikan yang abadi.

Bagi remaja Muslim masa kini, ikhlas bukan sekadar konsep spiritual, tetapi gaya hidup yang menumbuhkan kekuatan. Di tengah dunia yang penuh penilaian dan sorotan, menjadi ikhlas berarti berani menjadi diri sendiri — bekerja, belajar, dan berbuat baik hanya demi ridha Allah.

Hidup yang ikhlas akan memantulkan cahaya keindahan. Amal kecil menjadi bermakna besar, dan hati yang sederhana terasa kaya. Sebagaimana pepohonan yang tidak pernah berkata, “Aku rindang,” tetapi tetap memberi teduh bagi siapa pun yang berlalu di bawahnya.

*Gerwin Satria N

pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement