SURAU.CO-Shakhr ibn Harb adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Umawi. Ia lebih dikenal dengan nama Abu Sufyan. Ia lahir 10 tahun sebelum peristiwa penyerangan tentara bergajah. Pada masa Jahiliah ia termasuk tokoh dan pemuka Quraisy yang sangat memusuhi Nabi saw. Ia juga dikenal sebagai saudagar yang kaya raya dan pedagang yang sukses. Ia sering berniaga ke negeri Syam dan negeri-negeri lain, baik negeri Arab maupun non-Arab.
Salah satu pemimpin penting Quraisy
Abu Sufyan adalah satu dari tiga pemimpin penting Quraisy. Pemikiran dan pendapatnya sering menjadi rujukan ketika kaum Quraisy menghadapi masalah. Dua pemimpin lainnya adalah Utbah ibn Rabi‘ah dan al-Hakam ibn Hisyam yang lebih populer dengan sebutan Abu Jahal.
Ketika Rasulullah saw. mulai menyebarkan dakwahnya, ketiga pemuka Quraisy itu terus menghalangi dan menentang beliau dengan berbagai cara. Mereka juga tak pernah lelah mengajak kaumnya untuk memusuhi Muhammad dan para pengikutnya. Mereka terus menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada kaum muslim. Bahkan, mereka sering menyakiti Rasulullah dan para sahabat. Selama tiga tahun mereka memboikot Bani Hasyim dan juga para pengikut Rasulullah.
Menikahi Hindun
Abu Sufyan menikahi Hindun binti Utbah, wanita yang juga gigih membantunya memusuhi Nabi saw. dan kaum muslim. Anak mereka yang paling terkenal adalah Muawiyah dan Yazid.
Hindun adalah wanita yang angkuh dan keras. Ia kerap memuji dirinya sendiri. Pada suatu hari, ia berjalan-jalan sambil membawa putranya Muawiyah yang masih kecil. Saat itu, seseorang berkata kepadanya, “Jika putramu ini berumur panjang, ia akan menjadi pemimpin kaumnya.”
Hindun menjawab ucapan orang itu dengan angkuh, “Aku pasti sudah membunuhnya jika ia tidak memimpin kaumnya sendiri.”
Kelak setelah dewasa, Muawiyah berkata tentang ibunya, “Di masa Jahiliah ia adalah wanita yang sangat angkuh. Setelah masuk Islam, ia banyak berbuat kebajikan.”
Kabar pencegatan kafilah dagang Quraisy
Suatu ketika Abu Sufyan memimpin kafilah dagang Quraisy. Ia pulang dari Syam membawa barang dagangan dan keuntungan yang berlipat-lipat. Di tengah perjalanan, ia mendengar kabar bahwa kaum muslim Madinah akan mencegatnya dan merampas harta dagangannya. Maka ia segera mengirim utusan ke Makkah untuk memperingatkan kaum Quraisy dan meminta bantuan mereka.
Saat utusan Abu Sufyan tiba di Makkah dan menyampaikan kabar tersebut, para pemimpin Makkah segera berunding mencari cara untuk menyelamatkan harta benda mereka dan memerangi para pengikut Muhammad. Ketika itu, para tokoh Quraisy dipimpin oleh Abu Jahal. Akhirnya, mereka sepakat memobilisasi pasukan untuk melindungi kafilah dan menyerang kaum muslim. Mereka segera menyiapkan pasukan, lengkap dengan segala macam persenjataan dan perbekalan perang lain.
Ketika pasukan siap berangkat, datang utusan Abu Sufyan lain yang mengabarkan bahwa kafilahnya telah mengambil rute berbeda menuju Makkah, menghindari kaum muslim, dan tidak lama lagi mereka akan segera tiba di Makkah. Para pemuka Quraisy kembali berunding mengenai langkah terbaik yang harus mereka ambil. Saat berunding, kafilah dagang Abu Sufyan tiba di Makkah dengan selamat. Maka, beberapa orang pemimpin Makkah berpendapat agar mereka membatalkan ekspedisi militer ke Badar karena kafilah sudah selamat beserta seluruh harta dagangan mereka. Bahkan, Abu Sufyan sendiri berpendapat agar mereka tidak perlu melanjutkan pergi ke Badar.
Abu Jahal bersikeras memerangi kaum muslim
Namun, salah seorang pemimpin Quraisy, Abu Jahal, bersikukuh memberangkatkan pasukan ke Badar untuk memerangi kaum muslim. Ia melihat peristiwa itu sebagai kesempatan besar untuk menghancurkan Muhammad dan para pengikutnya. Ia sungguh tidak tahu bahwa langkahnya itu akan membawanya menuju kematian dan kehancuran.
Hari berkecamuknya Perang Badar adalah hari paling kelam bagi bangsa Quraisy sepanjang hidup mereka. Beberapa pemimpin Makkah terbunuh dalam perang itu dan sebagian lainnya tertawan pasukan muslim. Abu Jahal sendiri tewas terbunuh. Hindun, istri Abu Sufyan, merasakan kepedihan dan duka yang mendalam karena ayahnya, Utbah ibn Rabi‘ah, pamannya Syaibah ibn Rabi‘ah, dan juga saudaranya, al-Walid ibn Utbah tewas terbunuh dalam perang itu. Ada banyak tokoh Quraisy lain yang tewas di lembah Badar, seperti Umayyah ibn Khalaf, Uqbah ibn Abu Mu’ith, al-Nadhar ibn al-Harits, dan lain-lain.
Kekalahan kaum Quraisy pada perang Badar
Para kerabat dan anak-anak korban Perang Badar pulang ke Makkah dengan perasaan malu dan sedih. Mereka berjalan lemah melalui lembah dan padang pasir dengan hati pilu menangisi keluarga mereka yang terbunuh.
Tentu saja kekalahan dalam peperangan itu menimbulkan dendam kesumat dan kebencian di hati kaum Quraisy, termasuk Hindun bint Utbah. Ia terus mendorong dan memanas-manasi para pemimpin Quraisy agar segera memobilisasi pasukan untuk menyerang kaum muslim di Madinah. Ia berhasrat besar untuk membalaskan kematian ayah, paman, dan saudaranya, juga membalas kekalahan kaumnya.
Maka, tahun berikutnya kaum Quraisy menghimpun seluruh kekuatan militer yang mereka miliki, bahkan menggalang bantuan dari sekutu-sekutu mereka dan mempersiapkan diri untuk menggempur Madinah. Mereka telah menyusun rencana sejak lama, sejak pulang dari Badar, untuk membalas dendam atas kekalahan mereka. Akhirnya, perang hebat berkecamuk antara pasukan Quraisy dan pasukan muslim.
Kekalahan kaum muslim di Uhud
Pada awalnya kaum muslim dapat mendesak musuh hingga mereka lari tunggang langgang. Namun, akibat ketidakpatuhan pasukan pemanah di puncak bukit Uhud, musuh berbalik mendesak dan menghancurkan barisan kaum muslim.
Dalam perang ini banyak sahabat yang gugur sebagai syahid, termasuk Sang Singa Padang Pasir Hamzah ibn Abdul Muthalib. Kaum muslim benar-benar mendapat pelajaran yang berharga dari peperangan ini.
Berhasil membunuh Hamzah
Demi memuaskan dendam dan kebenciannya, Hindun binti Utbah ikut berangkat menuju Uhud bersama pasukan Quraisy. Bahkan, ia telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat membunuh Hamzah. Ia menyewa Wahsyi ibn Harb untuk membunuh Hamzah dan berjanji akan memberinya hadiah jika ia dapat menuntaskan misinya. Hadiah lain berupa kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jabir ibn Muth‘im, majikan Wahsyi.
Ketika Wahsyi berhasil membunuh Hamzah, Hindun berlari mendekati jenazahnya, kemudian merobek perutnya, mengeluarkan jantungnya, lalu mengunyah, dan memuntahkannya kembali. Ia dan beberapa perempuan Quraisy lain bertindak lebih keji dengan memotong hidung dan telinga para syuhada, lalu merangkainya menjadi kalung.
Dalam perang itu Hanzalah hampir dapat membunuh Abu Sufyan. Sayang, Ibn Sya‘ub (Syaddad ibn al-Aswad) melihatnya dan langsung berlari mendekati mereka, kemudian menyerang dan membanting tubuh Hanzalah hingga terjungkal ke tanah. Tanpa buang waktu, Ibn Sya‘ub menebas leher Hanzalah dengan pedangnya sehingga ia gugur sebagai syahid.
Tantangan Abu Sufyan di Uhud
Abu Ja‘far al-Thabari menuturkan riwayat dari al-Barra yang mengatakan bahwa pada saat Perang Uhud, Abu Sufyan menantang kaum muslim. Ia berteriak menghina Rasulullah dan para sahabat, “Adakah Muhammad di sana?”
Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Jangan kalian jawab!”
Kemudian Abu Sufyan bertanya lagi, “Adakah putra Abu Quhafah (Abu Bakr)?”
“Jangan kalian jawab!”
“Adakah putra al-Khattab?”
“Jangan kalian jawab!”
Karena tak mendapat jawaban, Abu Sufyan kembali berteriak, “Semua orang itu telah mati. Jika masih hidup, pasti mereka akan menjawab.” Umar ibn al-Khattab tak dapat menahan diri dan berkata lantang, “Dusta engkau, hai musuh Allah. Allah sengaja membiarkanmu hidup dalam kesengsaraan.”
Abu Sufyan berteriak, “Hidup Hubal! Hidup Hubal!”
Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. bersabda, “Jawablah!”
Mereka bertanya, “Apa yang harus kami katakan?”
“Katakanlah Allah Maha Besar—Allahu akbar, Allahu al-Azhīm!” Para sahabat pun meneriakkan kalimat tauhid tersebut.
Tak mau kalah, Abu Sufyan kembali berteriak, “Kami memiliki Uzza, sedangkan kalian tak memilikinya!”
Rasulullah saw., “Jawablah!”
“Apa yang harus kami katakan?”
“Katakanlah: Allah pelindung kami dan kalian tak punya pelindung.”
Abu Sufyan berkata, “Hari ini adalah hari pembalasan atas Perang Badar. Perang kali ini telah membuktikannya. Hari ini menjadi pelajaran bagi kalian.” Abu Sufyan kembali berteriak, “Kemarilah, hai Umar!”
Kegagalan membunuh Rasulullah
Mendengar teriakan tersebut, Rasulullah saw. bersabda kepada Umar, “Datangi dia, lihatlah apa maunya?”
Umar pun mendatangi Abu Sufyan.
Abu Sufyan berkata, “Apakah kami berhasil membunuh Muhammad?”
Umar ibn al-Khattab menjawab, “Demi Allah, tidak! Bahkan sekarang ia sedang mendengarkan sesumbarmu.”
“Aku lebih percaya omonganmu daripada Ibn Qami’ah (Ibn Qami’ah adalah pasukan kafir yang berteriak bahwa Nabi saw. terbunuh).”
Saat itu, al-Hulais ibn Zaban, komandan pasukan kafir, berjalan mendekati Abu Sufyan. Ketika melewati jasad Hamzah ibn Abdul Muthalib, ia berhenti dan menancapkan tombaknya ke tubuh Hamzah sambil berkata, “Rasakan olehmu! Hai Bani Kinanah, seperti inilah yang dilakukan pemimpin Quraisy kepada anak pamannya!”
Abu Sufyan dan pasukannya pergi meninggalkan medan perang sambil berkata angkuh kepada kaum muslim, “Aku berjanji, tahun depan kalian akan kembali menghadapi kami di Badar.”
Rasulullah saw. bersabda kepada salah seorang sahabat, “Jawablah, Benar! Antara kami dan kalian masih ada urusan yang harus diselesaikan.”
Angin badai pada perang Khandaq
Perang berikutnya ternyata tidak terjadi di Badar, tetapi di perbatasan Madinah. Perang kali ini disebut Perang Khandaq, karena kaum muslim menggali parit untuk melindungi Madinah dari kaum Quraisy dan sekutu mereka. Dalam perang itu pun Abu Sufyan kembali memimpin pasukan. Namun, mereka kembali gagal menghancurkan kaum muslim karena angin badai memorak-porandakan perkemahan dan akomodasi perang mereka. Akhirnya, mereka pulang ke Makkah dengan perasaan terhina.
Ketika kaum Quraisy membawa Zaid ibn al-Datsinah ke Tan’im untuk dibunuh, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Zaid, apakah kau senang seandainya Muhammad saat ini berada di sini untuk kami penggal lehernya, sementara kau bersama keluargamu?”
Zaid menjawab, “Demi Allah, sedikit pun aku tak rela jika ada sepotong duri menyakitinya, sementara aku bersenang-senang bersama keluargaku.” Abu Sufyan terkesima mendengar jawabannya dan berkata,
“Belum pernah aku melihat seseorang yang mencintai orang lain melebihi kecintaan para sahabat Muhammad kepada dirinya.”
Setelah itu, Zaid dibunuh oleh seorang musyrik yang bernama Nasthas.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
