Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Keberanian Lahir dari Kasih

Ketika Keberanian Lahir dari Kasih

Keberanian lahir dari kasih menurut Ibn Miskawayh
Ilustrasi filosofi Ibn Miskawayh tentang keseimbangan antara cinta dan keberanian — keberanian yang tidak melukai, melainkan menyembuhkan.

Surau.co.
Ada saat dalam hidup ketika seseorang berdiri di persimpangan: bertahan dalam rasa takut atau melangkah dengan hati yang penuh kasih. Pada titik itulah Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, berbicara lembut kepada jiwa manusia. Ia tidak memaknai keberanian sebagai teriakan perang, melainkan sebagai keheningan yang lahir dari cinta kepada kebaikan.

Filosof besar abad ke-10 ini mengajak manusia memahami bahwa keberanian sejati bukanlah kemampuan melawan musuh, tetapi kesanggupan menaklukkan diri sendiri. Sebab, di balik keberanian yang hakiki, bersemayam kasih yang halus—kasih yang tidak mencederai siapa pun, bahkan musuh yang membenci.


Keberanian dan Cinta yang Menyembuhkan

Banyak orang mengira bahwa keberanian berarti berjuang tanpa rasa takut atau bertahan sampai titik darah terakhir. Namun, Ibn Miskawayh menulis:
“الْجُرْأَةُ مِنْ غَيْرِ حِكْمَةٍ هَوًى مُهْلِكٌ”
Keberanian tanpa hikmah hanyalah nafsu yang membinasakan.

Dengan kata lain, keberanian sejati tidak lahir dari amarah, melainkan dari pengetahuan dan kasih yang jernih.
Bayangkan seseorang yang berani memaafkan padahal ia mampu membalas. Atau seseorang yang memilih menenangkan diri ketika dihina. Di tengah dunia yang bising oleh kebencian, sikap seperti ini mungkin tampak ganjil. Namun justru di situlah keindahannya.

Bagi Ibn Miskawayh, kasih dan keberanian adalah dua sisi dari satu koin moralitas. Tanpa kasih, keberanian mudah berubah menjadi kesombongan. Dengan kasih, keberanian menjadi jalan penyembuhan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi


Menjinakkan Nafsu, Menemukan Jiwa

Dalam keseharian, keberanian sering diuji bukan di medan perang, melainkan di dalam rumah, di tempat kerja, atau bahkan di ruang batin sendiri.
Seseorang diuji ketika ia harus jujur di tengah kebiasaan menipu, atau ketika ia tetap lembut di tengah amarah yang membara.

Ibn Miskawayh menulis:
“مَنْ غَلَبَ نَفْسَهُ فَقَدْ غَلَبَ أَعْدَاءَهُ كُلَّهُمْ”
Barang siapa menaklukkan dirinya, maka ia telah mengalahkan seluruh musuhnya.

Kalimat itu menohok, sebab sering kali kita bukan takut kepada dunia, tetapi kepada diri sendiri yang belum terkendali.
Dalam pandangan Ibn Miskawayh, keberanian adalah hasil dari keseimbangan antara akal dan nafsu—tidak terlalu tunduk pada ketakutan, namun juga tidak liar dalam keberanian.

Seperti air yang mengalir tenang, jiwa yang seimbang mampu mengikis batu dengan kelembutan.


Kasih yang Menumbuhkan Keteguhan

Kasih, menurut Miskawayh, adalah akar dari semua kebajikan. Ia tidak selalu lembut; kadang hadir sebagai ketegasan yang menegur.
Ia menulis:
“الْمَحَبَّةُ الْحَقِيقِيَّةُ هِيَ الَّتِي تَدْفَعُكَ إِلَى خَيْرٍ وَتَمْنَعُكَ مِنْ شَرٍّ”
Cinta sejati ialah yang mendorongmu menuju kebaikan dan menahanmu dari keburukan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dengan demikian, keberanian yang lahir dari kasih bukanlah keberanian untuk menaklukkan orang lain, tetapi keberanian untuk tetap jujur, adil, dan welas asih dalam keadaan apa pun.

Kita dapat melihatnya di sekitar: seorang ibu yang tetap tegar mengasuh anaknya di tengah kesulitan; seorang guru yang sabar menanamkan nilai di tengah generasi yang sibuk dengan gawai; atau seorang pemimpin yang memilih mendengarkan daripada berteriak.

Keberanian semacam ini bekerja dalam diam. Ia tidak mencari tepuk tangan, sebab pahalanya adalah ketenangan hati.


Keberanian dalam Cahaya Hikmah

Selain itu, Ibn Miskawayh menegaskan bahwa kebajikan muncul dari keseimbangan antara akal, marah, dan nafsu. Ia berkata:
“إِذَا اسْتَقَامَ الْعَقْلُ وَانْقَادَتِ النَّفْسُ لَهُ ظَهَرَ الْفَضْلُ فِي الْإِنْسَانِ”
Apabila akal tegak dan jiwa tunduk kepadanya, maka kebajikan akan tampak dalam diri manusia.

Pesan ini terasa relevan dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan. Keberanian yang dibimbing akal dan kasih adalah jalan menuju ketenangan.
Bukan keberanian untuk membuktikan diri di hadapan dunia, tetapi keberanian untuk tetap menjadi manusia yang utuh—yang tidak kehilangan arah meski diterpa badai.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW


Keheningan yang Mengajarkan Keberanian

Terkadang, keberanian hadir dalam bentuk yang paling sunyi.
Ketika seseorang memilih untuk tidak membalas fitnah, atau menahan diri agar tidak marah, di situlah letak keagungan sejati.

Ibn Miskawayh menulis:
“الصَّبْرُ نِصْفُ الشَّجَاعَةِ”
Kesabaran adalah setengah dari keberanian.

Zaman ini memuja suara paling keras, seolah kebajikan harus diumumkan. Padahal, kebaikan sejati tumbuh dalam keheningan.
Keberanian yang lahir dari kasih tidak butuh sorak-sorai, sebab ia bekerja di dalam hati—tempat di mana segala kebaikan berakar dan bertumbuh.


Menumbuhkan Keberanian yang Menyembuhkan

Sebaliknya, jika keberanian dilatih tanpa kasih, ia mudah berubah menjadi kekerasan. Karena itu, Ibn Miskawayh mengajarkan bahwa akhlak dapat diperbaiki melalui kebiasaan yang lembut. Jiwa manusia, menurutnya, seperti tanah yang bisa ditanami.

Oleh karena itu, langkah pertama untuk menumbuhkan keberanian adalah menanam kasih dalam diri. Dari kasih tumbuh hikmah; dari hikmah lahirlah keberanian yang menenteramkan.

Di tengah dunia yang sarat kompetisi dan ketakutan, keberanian yang bersumber dari kasih menjadi oase. Ia membebaskan seseorang dari rasa takut kehilangan, karena yang dijaga bukanlah kepemilikan, melainkan kebenaran.


Penutup: Cinta sebagai Sumber Kekuatan

Ketika keberanian lahir dari kasih, dunia menjadi lebih lembut. Manusia tidak lagi berjuang untuk menang atas orang lain, melainkan untuk menumbuhkan kebaikan bersama.
Inilah pesan lembut dari Ibn Miskawayh: keberanian sejati ialah menegakkan cinta—bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai kekuatan yang menyembuhkan dunia.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

﴿إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Keadilan, kasih, dan keberanian tumbuh dari akar yang sama: hati yang jernih.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement