Pendidikan
Beranda » Berita » Tiga Fase Parenting ala Ali bin Abi Thalib

Tiga Fase Parenting ala Ali bin Abi Thalib

Mendidik Anak “Nakal” dalam Islam
Mendidik Anak Nakal dalam Islam

SURAU.CO- Mendidik anak merupakan salah satu tanggung jawab terbesar orang tua. Proses ini tidak sekedar memberi makan dan pakaian, tetapi juga membentuk karakter, kepribadian, serta akhlak yang akan melekat sepanjang hidup anak. Dalam Islam, banyak teladan pendidikan berasal dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Salah satu tokoh penting yang memberikan prinsip mendidik anak adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA.

Ali bin Abi Thalib, cucu sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai sosok cerdas, bijaksana, dan penuh keteladanan. Ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pendidik bagi generasi setelahnya. Salah satu nasihatnya yang sangat terkenal berbunyi: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman ). Nasihat ini menegaskan bahwa pola asuh anak harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, agar anak mampu tumbuh dan siap menghadapi tantangan yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberikan prinsip mendidik anak dalam tiga fase usia, yakni 0–7 tahun, 8–14 tahun, dan 15–21 tahun. Pembagian ini menunjukkan kecermatannya memahami perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikologis.

Fase Usia 0–7 Tahun: Anak adalah Raja

Pada fase awal kehidupan ini, anak bagaikan raja yang membutuhkan perhatian penuh. Ali bin Abi Thalib menekankan agar orang tua melayani anak dengan sepenuh hati. Orang tua sebaiknya menanggapi setiap panggilan anak, bahkan ketika sedang sibuk. Respons penuh kasih sayang akan membuat anak merasa dicintai dan dicintai.

Selain itu, orang tua perlu menahan emosi ketika anak melakukan kesalahan. Menegur dengan lembut dan mengarahkan ke perilaku positif jauh lebih efektif dibandingkan marah. Misalnya, ketika anak menumpahkan makanan, orang tua dapat mencontohkan cara makan yang benar tanpa membentak. Hal ini membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, penuh perhatian, dan bertanggung jawab.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Pakar pendidikan Islam, Abdullah Nashih Ulwan, dalam Tarbiyatul Aulad fil Islam juga menegaskan bahwa masa kanak-kanak adalah masa penanaman kasih sayang. Orang tua perlu menunjukkan cinta agar anak tumbuh dengan rasa aman, karena dari fondasi akhlak dan karakter terbentuk.

Fase Usia 8–14 Tahun: Terapkan Kedisiplinan dengan Reward dan Punishment

Memasuki usia delapan tahun, anak mulai memahami tanggung jawab dan konsekuensi. Pada tahap ini, Ali bin Abi Thalib menganjurkan agar orang tua menerapkan kedisiplinan dengan sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) yang mendidik.

Orang tua perlu mengenalkan anak pada kewajiban agama, seperti shalat lima waktu, membaca Al-Qur’an, menjaga kebersihan, dan membantu pekerjaan rumah sesuai kemampuannya. Keteladanan sangat penting, karena anak belajar lebih banyak dari apa yang ia lihat dibandingkan dari nasihat semata.

Pada fase ini, daya pikir anak berkembang pesat. Mereka mulai memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga orang tua perlu bersabar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anak. Menurut psikologi perkembangan Jean Piaget, anak usia ini berada pada tahap operasional konkret, di mana mereka mulai berpikir logis terhadap hal-hal nyata. Oleh karena itu, penekanan pada nilai baik dan buruk menjadi sangat penting.

Misalnya, ketika anak lalai mengerjakan shalat, orang tua dapat mengingatkan dengan cara lembut namun tegas, sekaligus menjelaskan manfaat shalat bagi jiwa dan kedisiplinan hidup. Dengan cara ini, anak belajar melihat hubungan antara perbuatan dan konsekuensinya.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin

Fase Usia 15–21 Tahun: Memperlakukan Anak sebagai Sahabat

Ketika anak memasuki usia baligh, mereka tidak lagi sama seperti anak-anak. Perubahan fisik, mental, spiritual, dan sosial terjadi dengan cepat. Pada fase ini, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pentingnya komunikasi dari hati ke hati. Orang tua harus memperlakukan anak sebagai sahabatnya, bukan lagi sekedar anak kecil yang harus diarahkan.

Dengan menjadi sahabat, orang tua dapat mendengarkan cerita anak, berbagi pengalaman, serta memberikan motivasi. Anak yang merasa didengarkan akan lebih terbuka dan tidak takut bercerita tentang masalahnya. Hal ini penting, karena usia remaja rentan terhadap krisis identitas dan pengaruh lingkungan.

Di sisi lain, orang tua perlu memberikan ruang bagi anak untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Membiarkan mereka mencoba hal-hal baru, sambil tetap mengagumi diri sendiri, akan membantu anak membangun rasa percaya diri, kepemimpinan, serta pengendalian diri. Inilah bekal life skills yang akan membuat anak mampu menghadapi kehidupan dewasa dengan lebih matang.

Dalam pandangan Islam, remaja juga mulai memikul tanggung jawab agama secara penuh. Oleh karena itu, bimbingan spiritual sangatlah penting. Orang tua perlu mendukung anak dalam memperkuat iman, sekaligus mengajarkan nilai kebijaksanaan dalam menghadapi masalah hidup.

Penutup

Sebab Kerusakan Anak Wanita

Dari prinsip parenting ala Ali bin Abi Thalib, kita belajar bahwa mendidik anak bukan hanya soal perintah dan larangan, tetapi juga tentang kasih sayang, disiplin, komunikasi, dan keteladanan. Tiga fase yang beliau ajarkan—melayani anak seperti raja di usia 0–7 tahun, mendidik dengan disiplin di usia 8–14 tahun, serta memperlakukan sebagai sahabat di usia 15–21 tahun—merupakan panduan mendalam yang tetap bisa diterapkan hingga kini.

Orang tua yang mampu menerapkan prinsip ini akan melahirkan generasi berakhlak mulia, berilmu, serta siap menghadapi tantangan zaman. serupa sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah seorang ayah memberikan anugerah kepada anaknya yang lebih baik daripada akhlak yang mulia.” (HR. Tirmidzi).


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement