SURAU.CO – Isra Mi’raj terjadi setelah Nabi Muhammad SAW mengalami masa penuh ujian, yang dikenal dengan tahun kesedihan (‘Aam al-Huzn). Pada malam itu, Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Perjalanan ini disebut Isra. Setelah itu, Nabi SAW diangkat menembus lapisan langit hingga mencapai Sidratul Muntaha, yang dikenal sebagai Mi’raj.
Al-Qur’an mengabadikan peristiwa Isra dalam firman Allah SWT:
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekeliling agar Kami perlihatkan padanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra : 1)
Perjalanan ini memberikan kesempatan bagi Nabi SAW untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah SWT, baik berupa kenikmatan surga maupun siksa neraka.
Nabi Melihat Orang yang Disiksa karena Ghibah
Di antara penglihatan Nabi SAW saat Mi’raj adalah pemandangan mengerikan tentang siksa orang-orang yang suka menggunjing. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah SAW menceritakan bahwa dia melihat suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga. Dengan kuku itu, mereka mencakar wajah dan dada mereka sendiri hingga terkelupas.
Ketika Nabi SAW bertanya siapa mereka, Malaikat Jibril menjawab:
“Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia (ghibah) dan suka merusak kehormatan orang lain.”
Gambaran itu menunjukkan betapa beratnya dosa ghibah. Menggunjing bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan dosa besar yang Allah hukum dengan siksa mengerikan di akhirat.
Ghibah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menjelaskan larangan ghibah dengan perumpamaan yang sangat jelas. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)
Ayat ini menggambarkan ghibah layaknya memakan daging saudara sendiri yang sudah mati. Gambaran ini menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan yang menggunjing. Jika di dunia saja manusia tenggelam dengan daging bangkai, maka di akhirat Allah menyiapkan balasan yang lebih mengerikan.
Hadis tentang Bahaya Ghibah
Rasulullah SAW banyak memperingatkan umatnya tentang bahaya ghibah. Dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Beliau bersabda, “Ghibah adalah kamu menyebut sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai.”
Sahabat bertanya, “Bagaimana jika saya katakan itu benar-benar ada pada dirinya?”
Rasulullah menjawab, “Jika yang engkau katakan benar ada itu, itulah ghibah. Jika tidak ada itu, itulah fitnah.”
Hadis ini menegaskan bahwa betapapun ucapan itu benar, menggunjing tetap dosa besar. Apalagi jika sesuatu yang dibicarakan itu tidak benar, maka dosanya bertambah karena sudah termasuk fitnah.
Menghubungkan Kisah Mi’raj dengan Kehidupan Kita
Kisah yang Nabi saksikan saat Mi’raj bukan sekadar cerita untuk ditakuti, tetapi sebagai peringatan agar manusia menjaga lisannya. Rasulullah SAW menekankan bahwa kebanyakan manusia terseret ke dalam neraka justru karena lisannya. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, beliau bersabda:
“Bukankah manusia itu diseret ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka, kecuali karena hasil dari lisan mereka?”
Lisan yang tidak terjaga dapat melahirkan ghibah, fitnah, adu domba, dan keburukan lainnya. Oleh karena itu, menjaga ucapan menjadi salah satu bentuk ketakwaan yang utama.
Penutup
Peristiwa Isra Mi’raj memberikan pelajaran berharga, bukan hanya tentang kewajiban shalat, tetapi juga tentang akhlak mulia. Rasulullah SAW melihat langsung betapa pedihnya siksa orang yang gemar menggunjing. Kisah ini menjadi peringatan agar kita menjaga lisan dan kehormatan orang lain.
Di dunia, ghibah mungkin terlihat sepele dan sering dianggap hanya sekadar obrolan ringan. Namun di sisi Allah, ia termasuk dosa besar yang balasannya sangat berat. Oleh karena itu, sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita harus berusaha mengucapkan sholawat, menutup aib saudara, dan selalu mengingat firman Allah: “Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
