Surau.co. Ketika kita membicarakan kesehatan mental dan fisik, sering kali keduanya dipisahkan seolah-olah tidak saling berhubungan. Namun, filsuf besar dari abad pertengahan, Al-Fārābī, melalui karyanya Risāla fī al-Nafs (Risalah tentang Jiwa), menegaskan bahwa jiwa dan tubuh tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, manusia hanya bisa mencapai kesempurnaan ketika keduanya bekerja secara selaras. Pandangan ini bukan hanya relevan di zamannya, tetapi juga terasa dekat dengan tantangan kehidupan modern, di mana stres, kebiasaan hidup, dan pola pikir sangat memengaruhi kesehatan kita.
Al-Fārābī menulis:
“النفس جوهر روحاني به قوام البدن وحياته”
“Jiwa adalah substansi ruhani yang dengan keberadaannya tubuh menjadi tegak dan hidup.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa jiwa adalah pusat yang memberi makna pada tubuh. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah wadah kosong. Dalam konteks modern, hal ini dapat kita ibaratkan seperti komputer tanpa listrik: perangkat kerasnya lengkap, tetapi tidak bisa berfungsi.
Jiwa sebagai Pengatur Kehidupan Sehari-hari
Pernahkah kita merasakan tubuh sehat secara fisik, tetapi hati terasa gelisah? Atau sebaliknya, ketika pikiran tenang, sakit fisik pun terasa lebih ringan? Inilah yang dimaksud Al-Fārābī dengan keterkaitan jiwa dan tubuh.
Ia menulis:
“كما يحتاج البدن إلى الغذاء، تحتاج النفس إلى الحكمة والفضيلة”
“Sebagaimana tubuh memerlukan makanan, jiwa pun memerlukan kebijaksanaan dan kebajikan.”
Kutipan ini memberikan refleksi mendalam: kita tidak bisa hanya fokus memberi nutrisi pada tubuh tanpa memberi nutrisi pada jiwa. Dalam keseharian, banyak orang menjaga pola makan dan olahraga, tetapi lupa bahwa kesehatan mental juga harus dirawat. Membaca, berdiskusi, merenung, bahkan berdoa, adalah “makanan jiwa” yang menjaga kita tetap seimbang.
Keselarasan Jiwa dan Tubuh dalam Perspektif Qur’ani
Al-Qur’an juga menyinggung pentingnya keseimbangan batin dan fisik. Allah berfirman:
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (QS. Ar-Ra’d: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Ayat ini menegaskan bahwa ketenteraman jiwa adalah fondasi yang berdampak pada kesehatan fisik. Seorang yang gelisah biasanya mudah jatuh sakit, sementara jiwa yang tenteram akan memperkuat daya tahan tubuh. Dengan kata lain, spiritualitas adalah bagian dari kesehatan holistik yang dibicarakan Al-Fārābī.
Etika Jiwa: Jalan Menuju Kehidupan Bermakna
Bagi Al-Fārābī, jiwa bukan sekadar penggerak tubuh, tetapi juga pusat moralitas. Dalam Risāla fī al-Nafs, ia menyebut:
“كمال الإنسان في تهذيب نفسه وإصلاح أخلاقه”
“Kesempurnaan manusia terletak pada pengendalian jiwa dan perbaikan akhlaknya.”
Kutipan ini terasa relevan di tengah budaya modern yang sering mengukur kebahagiaan dengan materi. Al-Fārābī justru mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada jiwa yang terdidik, yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan mengarahkan diri pada kebaikan.
Fenomena sehari-hari memperlihatkan hal itu. Misalnya, banyak orang yang bergelimang harta tetapi hatinya tidak bahagia. Sebaliknya, ada orang sederhana namun wajahnya selalu cerah karena jiwanya tenang. Inilah bukti nyata bahwa moralitas dan kesehatan mental tidak bisa dipisahkan.
Jiwa sebagai Cermin Kesehatan Moral
Menariknya, Al-Fārābī memandang jiwa sebagai cermin moralitas manusia. Ia menulis:
“النفس المريضة تورث البدن سقماً، كما أن البدن المريض يضعف النفس”
“Jiwa yang sakit akan menurunkan penyakit pada tubuh, sebagaimana tubuh yang sakit akan melemahkan jiwa.”
Pernyataan ini sejalan dengan ilmu kedokteran modern yang menemukan keterkaitan erat antara kesehatan mental dan fisik. Misalnya, stres kronis dapat memicu penyakit jantung, sementara tubuh yang sehat mampu meningkatkan suasana hati seseorang.
Refleksi untuk Kehidupan Modern
Jika kita cermati, gagasan Al-Fārābī dalam Risāla fī al-Nafs bukan hanya sekadar teori filsafat, tetapi juga panduan praktis. Ia mengajarkan bahwa hidup sehat harus mencakup:
- Perawatan tubuh melalui makanan sehat, olahraga, dan pola hidup seimbang.
- Perawatan jiwa melalui ilmu, kebajikan, doa, dan refleksi diri.
- Keselarasan spiritual melalui kedekatan dengan Allah.
- Dengan menyatukan ketiganya, manusia bisa mencapai kehidupan yang utuh, bahagia, dan bermakna.
Penutup: Menghidupkan Pandangan Al-Fārābī Hari Ini
Di era modern yang penuh tantangan, pandangan Al-Fārābī terasa semakin relevan. Ia mengingatkan kita bahwa jiwa dan tubuh adalah dua sisi dari satu koin. Mengabaikan salah satunya akan membuat hidup timpang.
Menghidupkan pandangan ini berarti membangun rutinitas yang tidak hanya menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga menyehatkan jiwa. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup yang lebih selaras, tenang, dan bermakna.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
