Surau.co. Kenabian dan jiwa adalah tema penting yang dibahas oleh Al-Fārābī dalam kitab Risāla fī al-Nafs. Filsuf besar ini tidak hanya berbicara tentang struktur jiwa manusia, tetapi juga tentang bagaimana jiwa yang sempurna dapat menjadi wadah wahyu. Sejak paragraf pertama, kita dapat melihat bahwa pembahasan tentang kenabian dan jiwa tidak hanya filosofis, tetapi juga menyentuh aspek kehidupan sehari-hari: bagaimana manusia mencari makna, mengikuti teladan, dan menghubungkan dirinya dengan Tuhan.
Dalam pandangan Al-Fārābī, jiwa nabi memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki manusia biasa, terutama dalam kekuatan imajinasi dan keterhubungan dengan Akal Aktif. Pemahaman ini membuat topik “kenabian dan jiwa” relevan untuk dibahas dalam konteks modern: bagaimana manusia meneladani kesempurnaan jiwa seorang nabi untuk meraih kebahagiaan intelektual dan spiritual.
Jiwa dan Kekuatan Imajinasi
Keseharian kita penuh dengan imajinasi. Seorang seniman membayangkan lukisannya sebelum ia menyapukan kuas. Seorang pedagang merancang strategi sebelum membuka tokonya. Namun, Al-Fārābī menjelaskan bahwa imajinasi seorang nabi berada pada level tertinggi. Dalam Risāla fī al-Nafs ia menulis:
“إِنَّ لِلنَّبِيِّ قُوَّةً مُتَخَيِّلَةً تُدْرِكُ الْمَعْقُولَاتِ كَمَا تُدْرِكُ الْمَحْسُوسَاتِ”
“Sesungguhnya nabi memiliki kekuatan imajinatif yang mampu menangkap hal-hal rasional sebagaimana ia menangkap hal-hal indrawi.”
Imajinasi nabi bukan sekadar lamunan, tetapi sarana untuk menerima pesan ilahi dalam bentuk simbol, perumpamaan, dan gambaran yang dapat dipahami manusia.
Akal Aktif dan Perantara Wahyu
Al-Fārābī menyebut adanya hubungan antara jiwa nabi dengan Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa‘‘āl), sebuah konsep penting dalam filsafat Islam. Akal Aktif berfungsi sebagai penghubung antara dunia ilahi dan manusia. Dalam Risāla fī al-Nafs ia menulis:
“النَّبِيُّ يَتَّصِلُ بِالْعَقْلِ الْفَعَّالِ فَيَسْتَقْبِلُ مِنْهُ الْمَعْرِفَةَ وَالْحِكْمَةَ”
“Seorang nabi terhubung dengan Akal Aktif, darinya ia menerima pengetahuan dan kebijaksanaan.”
Ini menjelaskan mengapa wahyu bukan sekadar suara batin biasa, melainkan pancaran kebenaran yang murni dan pasti.
Jiwa Nabi sebagai Teladan Manusia
Di masyarakat, kita sering mencari sosok panutan: guru, pemimpin, atau tokoh yang memberi arah. Al-Fārābī menekankan bahwa nabi adalah puncak teladan karena jiwanya mencapai kesempurnaan. Ia menulis:
“نَفْسُ النَّبِيِّ كَامِلَةٌ فِي فُضُولِهَا، مُسْتَعِدَّةٌ لِتَقَبُّلِ الْحَقِّ بِلا وَسَاطَةٍ”
“Jiwa nabi sempurna dalam keutamaannya, siap menerima kebenaran tanpa perantara.”
Kesempurnaan ini membuat nabi bukan hanya pribadi mulia, tetapi juga pembimbing spiritual dan sosial.
Perspektif Al-Qur’an tentang Wahyu
Al-Qur’an menggambarkan proses turunnya wahyu sebagai peristiwa yang agung. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا (QS. Ash-Shūrā: 51)
“Dan tidaklah mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan.”
Ayat ini selaras dengan gagasan Al-Fārābī tentang perantara antara Tuhan dan manusia, di mana Akal Aktif menjadi jalur bagi masuknya pengetahuan ilahi ke dalam jiwa nabi.
Kenabian sebagai Puncak Aktualisasi Jiwa
Setiap manusia memiliki potensi untuk mengembangkan jiwanya: dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar hingga mencapai pengetahuan tertinggi. Namun, menurut Al-Fārābī, nabi mencapai puncak aktualisasi jiwa yang tak bisa dijangkau manusia biasa. Dalam Risāla fī al-Nafs ia menulis:
“غَايَةُ النَّفْسِ هِيَ أَنْ تَصِلَ إِلَى الْعَقْلِ الْفَعَّالِ، وَقَدْ بَلَغَهُ النَّبِيُّ فَصَارَ هَادِيًا لِلنَّاسِ”
“Tujuan akhir jiwa adalah sampai kepada Akal Aktif, dan nabi telah mencapainya sehingga ia menjadi petunjuk bagi manusia.”
Dengan kata lain, kenabian adalah realisasi tertinggi dari potensi manusia: kebijaksanaan, kesempurnaan moral, dan keterhubungan langsung dengan kebenaran.
Refleksi Kehidupan Sehari-hari
Meski kita bukan nabi, pelajaran dari pandangan Al-Fārābī tetap relevan. Saat seorang guru mendidik muridnya dengan sabar, ia sedang meniru peran nabi sebagai pembimbing. Ketika seorang pemimpin berlaku adil, ia meneladani jiwa nabi yang penuh hikmah. Bahkan ketika kita berusaha menyeimbangkan akal dan hati, kita sedang menapaki jejak kecil dari jalan panjang yang ditempuh jiwa nabi.
Penutup: Jiwa Nabi sebagai Cahaya Umat
Pandangan Al-Fārābī tentang kenabian dan jiwa mengajarkan bahwa nabi bukan sekadar penyampai wahyu, melainkan juga teladan bagaimana jiwa dapat mencapai puncak kesempurnaan. Dari imajinasi yang luar biasa, keterhubungan dengan Akal Aktif, hingga kesempurnaan moral, semuanya menyatu dalam diri nabi.
Bagi kita, mengambil pelajaran dari konsep ini berarti terus berusaha menyucikan jiwa, menggunakan akal secara sehat, dan menjadikan nabi sebagai panutan dalam kehidupan. Dengan demikian, jiwa kita, meski tidak sempurna, dapat diarahkan menuju cahaya kebenaran.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
