SURAU.CO – Habib Abdullah bin Mukhsin al-Athas, seorang ulama besar yang lebih dikenal dengan julukan Habib Keramat Empang, telah menorehkan jejak spiritual yang mendalam di Indonesia, khususnya di kota Bogor. Lahir di al-Kasri, Hadramaut, pada tanggal 17 April 1849, Habib Abdullah tumbuh besar dalam lingkungan keilmuan yang kaya. Kehidupan beliau menjadi cermin keteladanan bagi banyak umat Islam. Setelah mengabdikan hidupnya untuk dakwah, Habib Abdullah wafat di Bogor pada 26 April 1933. Kini, makamnya berada di samping Masjid Empang Bogor (Masjid Nur), sebuah tempat yang senantiasa ramai dikunjungi para peziarah, membuktikan kemuliaan dan keberkahan beliau.
Akar Ilmu dan Perjalanan Spiritual dari Hadramaut
Ayah beliau, Habib Mukhsin bin Muhammad al-Athas, merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter dan keilmuan Habib Abdullah. Sejak usia muda, Habib Abdullah menimba ilmu agama dari sejumlah ulama terkemuka di Hadramaut. Beliau belajar dengan tekun kepada Syekh Umar bin Faraj bin Sabbah, Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Athas, Habib Abdullah bin Alwi bin Alaydrus, serta Habib Shaleh bin Abdullah al-Athas. Guru-guru inilah yang membekali beliau dengan pemahaman agama yang kokoh dan mendalam, membentuknya menjadi seorang ahli ilmu yang disegani.
Pada usia 18 tahun, Habib Abdullah menjalankan ibadah haji pertamanya ke Makkah. Kesempatan ini tidak hanya ia gunakan untuk menunaikan rukun Islam, melainkan juga untuk bersilaturahmi dan menimba ilmu dari para ulama Makkah sebelum kembali ke Hadramaut. Setahun kemudian, beliau kembali menunaikan ibadah haji yang kedua. Momen haji kedua ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Di sinilah, setelah mengalami sebuah mimpi, Habib Abdullah memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju Indonesia, sebuah negeri yang kemudian menjadi rumah dan ladang dakwahnya.
Dakwah di Nusantara dan Pembangunan Masjid Empang
Setibanya di Indonesia, Habib Abdullah tidak lantas langsung berdakwah. Beliau terlebih dahulu memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Habib Ahmad bin Hamzah al-Athas di Pekojan, Jakarta. Proses menimba ilmu ini menunjukkan kerendahan hati dan semangatnya yang tak pernah padam dalam mencari kebenaran. Setelah merasa cukup, Habib Abdullah bin Mukhsin pun memulai perjalanannya menyebarkan ajaran Islam di Jakarta. Perjalanan dakwahnya kemudian membawanya hingga ke kawasan Empang, Bogor.
Melihat antusiasme dan kebutuhan masyarakat Empang akan bimbingan agama, warga setempat sangat mengharapkan kesediaan Habib Abdullah untuk menetap di daerah mereka. Dakwah yang semula bersifat nomaden, kini berubah menjadi dakwah yang menetap di Empang. Atas inisiatif dan bimbingannya, beliau membangun Masjid an-Nur, yang kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Empang Bogor. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan, tempat umat Islam dari berbagai penjuru datang untuk berguru dan menimba ilmu darinya. Semakin hari, jumlah murid dan jamaah yang belajar kepada beliau terus bertambah, menunjukkan dampak positif dakwahnya.
Kecintaan pada Al-Qur’an
Habib Abdullah bin Mukhsin memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap Al-Qur’an dan shalawat. Setiap harinya, beliau selalu rutin membaca kitab shalawat Dalail Khairat, sebuah amalan mulia yang beliau pertahankan hingga akhir hayatnya. Kecintaan dan kekhusyukan beliau dalam beribadah sangat menginspirasi banyak orang. Oleh karena itu, masyarakat setempat memberikan gelar “Habib Keramat Empang” kepada beliau, sebuah gelar yang merepresentasikan kekeramatan dan kemuliaan yang terpancar dari sosok Habib Abdullah.
Bukti-bukti Kekeramatan
Tanda kekeramatan Habib Abdullah terbukti nyata dalam beberapa peristiwa menakjubkan. Salah satunya terjadi saat beliau dipenjara oleh penjajah Belanda. Kepala penjara berniat merantai leher beliau, namun secara ajaib, rantai itu tiba-tiba terlepas. Setelah kejadian itu, kepala penjara dan seluruh keluarganya menderita sakit keras yang tak kunjung sembuh. Dalam keputusasaan, kepala penjara akhirnya menyadari kesalahannya dan memohon doa kepada Habib Abdullah bin Mukhsin. Dengan penuh kebijaksanaan, Habib Abdullah berpesan, “Ambillah rantai yang akan mengikatku kemarin. Ikatkan pada leher dan kaki si kepala penjara.” Kepala penjara dengan patuh menjalankan perintah tersebut, dan atas izin Allah, ia beserta keluarganya sembuh total dari penyakit mereka. Peristiwa ini menjadi kesaksian nyata akan karomah yang dianugerahkan kepada Habib Abdullah.
Bahkan selama masa penahanan, keajaiban lain pun terjadi. Pengunjung selalu datang menjenguk Habib Abdullah di penjara setiap waktu, menciptakan pemandangan yang tak biasa. Para penjaga penjara merasa heran, namun pada saat yang sama, mereka juga merasakan manfaat dari banyaknya pengunjung yang datang. Melihat kondisi ini, para penjaga kemudian memutuskan untuk membebaskan Habib Abdullah bin Mukhsin lebih awal. Namun, dengan rendah hati beliau menolak tawaran tersebut. Ia menegaskan keinginannya untuk keluar hanya setelah masa hukumannya selesai, menunjukkan prinsip dan keteguhan hatinya.
Suatu hari, seorang penduduk Bogor datang ingin menguji kekeramatan Habib Abdullah bin Mukhsin al-Athas. “Buktikan bahwa Habib memiliki keramat,” tantang orang tersebut. Saat itu, Habib Abdullah sedang menikmati hidangan ikan goreng yang tersisa sebelah. Dengan tenang, beliau berkata, “Wahai ikan, kalau benar-benar cinta padaku, tunjuk-kanlah.” Seketika itu juga, atas izin Allah, ikan goreng tersebut tiba-tiba melompat masuk ke dalam empang di dekatnya. Peristiwa inilah yang semakin mengukuhkan nama beliau sebagai Habib Keramat Empang di kalangan masyarakat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
