Dalam sistem hukum Islam, kesaksian (syahadah) memiliki peran sentral. Kesaksian saksi bukan hanya bagian teknis dari persidangan, tetapi merupakan instrumen syar’i yang memastikan tegaknya keadilan. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab membahas persoalan ini dengan detail, mulai dari syarat sah saksi, jumlah saksi, hingga kredibilitas yang harus dipenuhi.
Artikel ini menguraikan pandangan Imam an-Nawawi tentang saksi dalam persidangan syariat. Penjelasan dilengkapi dengan dalil Al-Qur’an, hadits, dan perbandingan dengan keterangan dalam Fathul Mu’in. Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat betapa Islam menempatkan kesaksian sebagai amanah yang sangat berat sekaligus mulia.
Landasan Syariah Kesaksian dalam Islam
Al-Qur’an menegaskan pentingnya kesaksian yang adil:
“وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ”
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS. At-Talaq: 2)
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan beratnya tanggung jawab saksi:
“أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّورِ…”
*“Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar? Syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua.” Beliau duduk lalu berkata: “Ingat, juga perkataan dusta dan kesaksian palsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini jelas bahwa saksi dalam Islam bukan sekadar formalitas, melainkan ibadah yang menentukan nasib orang lain. Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebut saksi sebagai orang yang menyampaikan informasi kebenaran tentang suatu peristiwa dalam persidangan. Kesaksian adalah alat bukti syar’i yang bisa menguatkan klaim dan memberi keyakinan kepada hakim.
Beliau menegaskan, saksi tidak boleh bersaksi kecuali pada hal yang ia saksikan langsung dengan pancaindra, bukan hanya sekadar kabar atau dugaan.
Rukun dan Syarat Saksi
Menurut Imam an-Nawawi, kesaksian sah jika memenuhi syarat berikut:
- Muslim, karena kesaksian non-Muslim dalam perkara umat Islam tidak diterima.
- Baligh dan berakal.
- Adil, artinya menjaga diri dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil.
- Merdeka, meski sebagian ulama membolehkan kesaksian budak dalam kondisi tertentu.
- Tidak ada kepentingan dalam perkara yang disaksikan.
Beliau juga menekankan pentingnya kejujuran saksi. Jika diketahui saksi pernah berbohong dalam urusan besar, kesaksiannya tidak diterima.
Jumlah Saksi dalam Berbagai Kasus
Imam an-Nawawi mengikuti pendapat jumhur ulama bahwa jumlah saksi berbeda sesuai kasus:
- Perkara perdata (harta): dua saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan.
- Perkara pidana (hudud): dua saksi laki-laki yang adil.
- Kasus zina: empat saksi laki-laki.
Dalam Al-Majmu’, beliau menegaskan bahwa ketentuan ini bersandar pada dalil Al-Qur’an, khususnya QS. Al-Baqarah: 282 tentang transaksi hutang, dan QS. An-Nur: 4 tentang tuduhan zina.
Hikmah Kesaksian dalam Syariat
Imam an-Nawawi menggarisbawahi hikmah kesaksian:
- Menjadi instrumen penting dalam menegakkan keadilan.
- Memberi perlindungan hukum kepada pihak yang lemah.
- Mencegah munculnya fitnah dan tuduhan tanpa bukti.
- Menjadi sarana menjaga amanah karena saksi diminta menyampaikan kebenaran tanpa manipulasi.
Dengan begitu, saksi bukan hanya alat formal, tetapi penegak moral dalam masyarakat.
Kedudukan Saksi Palsu
Imam an-Nawawi menekankan kerasnya larangan bersaksi palsu. Dalam Al-Majmu’, beliau mengutip hadits tentang dosa besar kesaksian palsu dan menegaskan bahwa hal ini bisa merusak tatanan hukum. Hakim yang salah memutus karena kesaksian palsu tidak berdosa, tetapi saksi yang berdusta menanggung dosa besar di sisi Allah.
Etika Saksi dalam Persidangan
Imam an-Nawawi menjelaskan etika yang harus dijaga saksi:
- Bersaksi hanya tentang hal yang benar-benar ia saksikan.
- Menghindari perkataan samar atau multitafsir.
- Tidak boleh diiming-imingi atau ditekan oleh pihak berperkara.
- Menyadari bahwa kesaksiannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Walaupun pembahasan Imam an-Nawawi lahir pada abad pertengahan, prinsip-prinsipnya tetap relevan. Dalam sistem hukum modern, saksi diposisikan sebagai alat bukti utama yang bisa menguatkan klaim. Standar keadilan, kejujuran, dan independensi saksi tetap sejalan dengan tuntunan fiqih klasik.
Perbandingan Al-Majmu’ dan Fathul Mu’in
Dalam Al-Majmu’, Imam an-Nawawi mengurai pembahasan saksi secara luas, menyertakan syarat, jumlah saksi dalam berbagai kasus, hingga konsekuensi kesaksian palsu. Uraiannya sistematis, dengan banyak rujukan khilafiyah antarulama.
Sementara Fathul Mu’in lebih ringkas. Kitab ini menyoroti hal-hal yang paling sering dipraktikkan, misalnya syarat saksi dalam pernikahan atau transaksi, tanpa menjabarkan seluruh perbedaan pendapat ulama. Fathul Mu’in menekankan aspek praktis agar masyarakat awam mudah mengamalkan fiqih.
Dengan demikian, Al-Majmu’ lebih cocok sebagai referensi akademik dan kajian mendalam, sementara Fathul Mu’in lebih aplikatif untuk bimbingan sehari-hari.
Penutup
Kesaksian dalam persidangan syariat, sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’, adalah pilar penting keadilan Islam. Saksi tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi menjaga amanah Allah demi tegaknya hukum di tengah masyarakat.
Di era modern, nilai-nilai kesaksian yang dijelaskan beliau tetap relevan: jujur, adil, independen, dan bertanggung jawab.
*Gerwin Satria N
Pergiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
