SURAU.CO – Madinah, kota yang penuh berkah di masa Rasulullah SAW, menjadi saksi bisu sebuah kisah inspiratif tentang kepatuhan seorang istri kepada suaminya. Kisah ini mengajarkan kita pentingnya ketaatan dan kesetiaan dalam rumah tangga Muslim, sebuah fondasi yang menguatkan ikatan suami istri di hadapan Allah SWT.
Dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang dikenal sangat shalih di kota Madinah. Kehidupan mereka sederhana, namun dipenuhi keimanan dan ketaatan. Suatu ketika, Rasulullah SAW mengumumkan perintah penting: seluruh laki-laki dewasa harus berangkat berperang melawan kaum musyrikin. Hanya anak-anak dan orang tua renta yang mendapat pengecualian. Suami dari wanita shalihah ini pun bersiap memenuhi panggilan jihad.
Sebelum melangkahkan kaki menuju medan perang, sang suami menatap istrinya dengan penuh harap. Dia menitipkan pesan penting: istrinya tidak boleh meninggalkan rumah sampai ia kembali dari peperangan. Sebuah amanah yang berat, namun sang istri menerimanya dengan penuh keikhlasan dan tekad.
Ujian Kepatuhan Sang Istri
Tak lama setelah pasukan Islam berangkat, sebuah kabar duka datang menghampiri rumah sang istri. Seorang utusan memberitahunya bahwa ayahnya sedang sakit keras dan meminta dirinya untuk segera menjenguk. Namun, hati sang istri merasa dilema. Ia teringat jelas pesan suaminya agar tidak keluar rumah. Dengan berat hati, ia membatalkan niatnya menjenguk sang ayah, memprioritaskan ketaatan pada pesan suaminya.
Keesokan harinya, kabar kembali datang. Kondisi ayahnya semakin memburuk dan ia diminta segera datang. Lagi-lagi, pesan suaminya terngiang di benaknya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk kedua kali.
Pada hari ketiga, cobaan terberat datang. Utusan itu menyampaikan kabar pilu: ayahnya telah meninggal dunia. Ia diminta untuk segera melihat jasad ayahnya. Air mata membasahi pipinya, namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Pesan suaminya adalah prioritas utama. Dengan menahan kesedihan mendalam, ia kembali mengurungkan niat untuk meninggalkan rumah.
Kisah tentang kepatuhan luar biasa ini segera menyebar luas di seluruh Madinah. Banyak orang yang mencela dan bahkan mencapnya sebagai anak durhaka. Mereka tidak memahami alasan di balik tindakannya.
Pujian Rasulullah SAW dan Hikmah di Baliknya
Setelah pasukan Islam kembali dari pertempuran, sebagian umat Islam segera menghadap Rasulullah SAW. Mereka menceritakan perihal wanita tersebut dan suaminya, termasuk cibiran yang diterima sang istri. Rasulullah SAW mendengarkan dengan seksama seluruh cerita.
Maka, setelah memahami persoalan dengan utuh, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT telah mengampuni seluruh dosa ayah perempuan itu, dan akan memasukkannya ke dalam surga karena telah memiliki anak yang shalihah dan patuh kepada suaminya.”
Sungguh sebuah pernyataan yang mengharukan dan menegaskan betapa besar nilai kepatuhan seorang istri di hadapan Allah SWT. Kisah ini mengajarkan kita pelajaran berharga tentang hakikat ketaatan istri kepada suaminya. Membantah atau melawan perintah suami adalah dosa besar. Begitu pula, mengkhianati amanah yang diberikan suami, baik berupa harta, kehormatan, maupun hal lainnya, merupakan perbuatan tercela.
Empat Hal Kebajikan Dunia dan Akhirat
Ibnu Abbas meriwayatkan dalam sebuah hadits , Rasulullah SAW menyebutkan empat hal yang menjadi kunci kebaikan dunia dan akhirat. Sabda beliau:
“Artinya: ‘Ada empat hal, siapa yang diberikan kepadanya berarti dia telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat; lidah yang berzikir, hati yang bersyukur, tubuh yang sabar atas segala cobaan, dan isteri shalihah yang tidak pernah berkeinginan untuk mengkhianati suaminya baik terhadap dirinya maupun harta suaminya’.” (H.R. Tarmizi)
Hadits ini secara jelas menunjukkan posisi penting seorang istri shalihah yang menjaga amanah suami, baik pada dirinya sendiri maupun harta suaminya. Ketaatan dan kesetiaan ini menjadi penentu kebahagiaan di dunia dan bekal mulia di akhirat.
Konsekuensi Bagi Istri yang Nusyuz (Durhaka)
Sebaliknya, seorang istri yang melanggar atau membantah perintah suaminya termasuk dalam kategori istri yang durhaka, atau nusyuz. Ia tidak hanya berhak mendapat hukuman dan ganjaran dari suaminya, tetapi juga berhak atas laknat dan kutukan Allah SWT serta para malaikat-Nya.
Bagi istri yang durhaka, ia tidak berhak mendapat belanja dan nafkah dari suaminya. Bahkan, suaminya boleh berpisah ranjang dengannya. Dalam kondisi tertentu, suami bahkan boleh memukulnya sebagai upaya mendidik agar ia sadar akan kesalahannya. Ini merupakan bentuk terakhir dari tahapan mendidik istri yang nusyuz, sebagaimana dalam surat An-Nisa’ ayat 34:
“Artinya: ‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar’.”
Ayat ini menggarisbawahi peran kepemimpinan suami dan tanggung jawabnya dalam menafkahi istri. Di sisi lain, ayat ini juga secara eksplisit menjelaskan langkah-langkah dari suami ketika seorang istri menunjukkan perilaku nusyuz, mulai dari nasihat, pisah ranjang, hingga pukulan ringan yang tidak melukai, dengan tujuan utama untuk mendidik dan mengembalikan ketaatan.
Kisah dari Madinah dan petuah Rasulullah SAW ini menegaskan bahwa kepatuhan istri adalah pilar penting dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan mendapat ridha dari Allah SWT. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
