Setiap Muslim pasti akrab dengan lantunan adzan yang berkumandang lima kali sehari. Suara yang menembus dinding kota hingga pelosok desa ini bukan sekadar panggilan shalat, melainkan syiar Islam yang paling nyata. Adzan mengingatkan manusia untuk kembali kepada Allah, sementara iqamah menjadi tanda dimulainya shalat berjamaah.
Imam an-Nawawi, seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, melalui karya monumentalnya Al-Majmu’, menyingkap secara detail fiqih adzan dan iqamah. Beliau tidak hanya menuliskan tata cara, tetapi juga membedah kedalaman makna, hukum, serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan gaya penjelasan yang rinci dan komprehensif, Al-Majmu’ menjadi rujukan penting bagi umat Islam hingga hari ini.
Landasan Adzan dan Iqamah dalam Syariat
Adzan dan iqamah memiliki dasar yang kuat dalam syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
(HR. Bukhari dan Muslim)Artinya: “Apabila waktu shalat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang paling tua di antara kalian menjadi imam.”
Ayat Al-Qur’an pun menyinggung panggilan menuju shalat, meskipun tidak menyebut adzan secara langsung:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ ٱتَّخَذُوهَا هُزُوًۭا وَلَعِبًۭا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌۭ لَّا يَعْقِلُونَ
(QS. Al-Ma’idah: 58)Artinya: “Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk melaksanakan shalat, mereka menjadikannya sebagai olok-olokan dan permainan. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.”
Adzan dalam Pandangan Imam an-Nawawi
Definisi dan Kedudukan
Menurut Imam an-Nawawi, adzan adalah kalimat-kalimat khusus yang dikumandangkan untuk menginformasikan masuknya waktu shalat fardhu. Ia berfungsi sebagai syiar dan identitas umat Islam.
Adzan menurut mazhab Syafi’i dihukumi sunnah muakkadah bagi shalat berjamaah, baik di masjid maupun di tempat lain. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa adzan memiliki hikmah sosial yang besar, karena mengingatkan umat Islam secara kolektif akan kewajiban mereka.
Lafadz dan Tata Cara
Beliau menegaskan bahwa lafadz adzan sudah baku sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada Bilal bin Rabah. Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan. Namun, perbedaan kecil seperti tarji’ (mengulang dua kali kalimat syahadat dengan suara pelan sebelum keras) dibolehkan karena ada riwayatnya.
Iqamah dalam Pandangan Imam an-Nawawi
Definisi dan Kedudukan
Iqamah adalah seruan untuk menandakan shalat berjamaah akan segera dimulai. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa iqamah memiliki hukum sunnah muakkadah sebagaimana adzan, bahkan dalam shalat sendirian juga disunnahkan meskipun tidak sekuat sunnahnya iqamah berjamaah.
Lafadz dan Tata Cara
Lafadz iqamah menurut Imam an-Nawawi hampir sama dengan adzan, hanya saja lebih ringkas. Contohnya, kalimat “Allahu Akbar” diucapkan dua kali, bukan empat kali, dan seruan “Qad qamatis shalah” ditambahkan sebagai penanda dimulainya shalat.
Hikmah dan Spiritualitas Adzan dan Iqamah
Adzan bukan sekadar pemberitahuan waktu, melainkan sebuah panggilan ruhani. Lafadz Allahu Akbar yang diulang-ulang menanamkan kesadaran bahwa Allah lebih besar dari segala urusan dunia. Kalimat syahadat yang dilantunkan meneguhkan iman setiap kali terdengar.
Iqamah, dengan lafadznya yang singkat, memberikan dorongan bagi jamaah untuk segera berdiri, meninggalkan kesibukan, dan menyatukan diri dalam barisan shalat. Imam an-Nawawi memandang bahwa hikmah iqamah adalah mengatur jamaah agar siap beribadah secara serentak dan teratur.
Syarat dan Etika Muadzin
Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebutkan syarat bagi seorang muadzin, antara lain:
- Muslim dan berakal.
- Mengetahui waktu shalat dengan baik.
- Memiliki suara lantang dan jelas.
- Dipercaya oleh jamaah.
Beliau juga menekankan etika, seperti menghadap kiblat, menutup telinga dengan jari saat mengumandangkan adzan, serta menjaga kebersihan diri.
Perbandingan dengan Kitab Fathul Wahhab
Jika dibandingkan dengan Fathul Wahhab karya Zakariya al-Anshari, pembahasan tentang adzan dan iqamah terlihat lebih ringkas. Fathul Wahhab menekankan hukum praktis dan tata cara secara langsung, misalnya jumlah lafadz atau hukum sunnahnya.
Sementara Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ menambahkan uraian mendalam dengan menyebut berbagai pendapat ulama, dalil Al-Qur’an, dan hadis. Beliau juga membahas hikmah di balik setiap lafadz, sehingga lebih komprehensif.
Perbandingan dengan Kitab Fathul Mu’in
Berbeda dengan Al-Majmu’ yang bersifat ensiklopedis, Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibari lebih menekankan aspek praktis yang mudah diamalkan oleh masyarakat awam. Misalnya, ia lebih banyak menjelaskan tentang kapan adzan wajib atau sunnah, serta kondisi tertentu di mana iqamah cukup dilakukan tanpa adzan.
Kedua kitab ini saling melengkapi: Al-Majmu’ sebagai rujukan ilmiah mendalam, sementara Fathul Mu’in sebagai panduan praktis di tengah masyarakat.
Penutup
Di tengah gemerlap kota yang sibuk, adzan menjadi oase spiritual. Suara muadzin menembus hiruk-pikuk lalu lintas, mengingatkan bahwa ada panggilan yang lebih tinggi dari sekadar urusan dunia. Imam an-Nawawi melalui Al-Majmu’ memberikan pedoman agar syiar ini tetap terjaga keasliannya, meskipun zaman terus berubah.
Di setiap penjuru dunia, suara adzan bergema silih berganti, seakan tidak pernah berhenti. Ia adalah panggilan cinta Allah kepada hamba-Nya, panggilan untuk kembali, untuk bersujud, untuk menyatukan diri dalam keheningan ibadah.
Maka, menjaga kemurnian adzan dan iqamah sebagaimana diajarkan Rasulullah ﷺ adalah menjaga jantung kehidupan Islam itu sendiri.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqra’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
