Khazanah
Beranda » Berita » Rujuk dan Iddah dalam Fathul Wahhab: Menyelami Hikmah Perjalanan Rumah Tangga

Rujuk dan Iddah dalam Fathul Wahhab: Menyelami Hikmah Perjalanan Rumah Tangga

Pasangan Muslim membaca kitab tentang rujuk dan iddah dalam suasana teduh
Lukisan realistik dengan nuansa filosofis, menampilkan pasangan Muslim duduk bersama di depan kitab, melambangkan keseriusan memahami rujuk dan iddah sebagai bagian penting dalam fikih keluarga.

Pernikahan adalah ikatan sakral yang Allah syariatkan sebagai jalan menjaga ketenangan hidup, kasih sayang, dan keberlangsungan generasi. Namun, tidak semua rumah tangga berjalan mulus. Ada kalanya perceraian hadir sebagai pilihan terakhir. Dalam kondisi itu, Islam masih memberi ruang melalui rujuk dan menetapkan aturan iddah sebagai masa jeda penuh hikmah.

Kitab Fathul Wahhab, karya Imam Zakariya al-Anshari, memberikan penjelasan detail tentang rujuk dan iddah dalam fikih mazhab Syafi’i. Pembahasan ini tidak sekadar hukum, tetapi juga menyimpan nilai kemanusiaan dan spiritual yang mendalam. Artikel ini akan menguraikan konsep rujuk, iddah, jenis, syarat, serta hikmahnya, lalu membandingkan pandangan Fathul Wahhab dengan Fathul Mu’in untuk memperkaya pemahaman.

Makna dan Dasar Hukum Rujuk

Rujuk Sebagai Ruang Kedua

Rujuk berarti kembalinya suami kepada istri yang sudah ditalak satu atau dua, selama masih dalam masa iddah, tanpa akad baru. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Dan suami-suaminya lebih berhak merujuki mereka dalam masa itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (perbaikan).” (QS. Al-Baqarah: 228)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ayat ini menegaskan bahwa rujuk bukan hanya hak suami, tetapi juga pintu menuju perbaikan hubungan rumah tangga. Imam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab menekankan bahwa niat rujuk harus jelas dan tidak boleh digunakan untuk mempermainkan perempuan.

Cara dan Syarat Rujuk

Ungkapan dan Saksi

Rujuk dapat dilakukan dengan ucapan seperti, “Aku rujuk kepadamu,” atau dengan tindakan yang menunjukkan kembalinya hubungan suami-istri, seperti berhubungan badan dengan niat rujuk. Fathul Wahhab menegaskan bahwa meski sah tanpa saksi, menghadirkan saksi sangat dianjurkan agar terhindar dari sengketa di kemudian hari.

Syarat Penting

  1. Rujuk hanya berlaku pada talak raj’i (talak 1 dan 2).
  2. Rujuk hanya sah selama istri masih dalam masa iddah.
  3. Niat suami harus jelas untuk memperbaiki, bukan menyakiti.

Makna dan Hikmah Iddah

Iddah Sebagai Masa Penantian

Iddah adalah masa tunggu bagi perempuan setelah perceraian atau kematian suami, sebelum ia boleh menikah lagi. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu serta meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka (para istri) menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234)

Iddah bukan sekadar aturan lahiriah, melainkan juga penghormatan terhadap pernikahan yang pernah ada. Ia menjaga kejelasan nasab, memberi ruang bagi suami-istri untuk merenung, dan menghadirkan masa transisi psikologis bagi perempuan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Jenis-Jenis Iddah dalam Fathul Wahhab

  1. Iddah karena wafat suami: empat bulan sepuluh hari, tanpa memandang kondisi hamil atau tidak.
  2. Iddah karena perceraian dalam keadaan hamil: sampai melahirkan.
  3. Iddah karena perceraian dalam keadaan tidak hamil: tiga kali suci bagi yang masih haid, dan tiga bulan bagi yang tidak haid.

Imam Zakariya al-Anshari menulis dalam Fathul Wahhab:

وَعِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثَةُ قُرُوءٍ
“Masa iddah perempuan yang ditalak adalah tiga kali quru’ (suci atau haid, sesuai pendapat yang kuat).”

Kutipan ini menegaskan perhatian detail fuqaha Syafi’iyah terhadap kejelasan masa iddah demi menghindari keraguan dalam penetapan hukum keluarga.

Hikmah Rujuk dan Iddah

Hikmah rujuk dan iddah tidak hanya terletak pada kepastian hukum, tetapi juga pada nilai spiritual. Rujuk memberi kesempatan memperbaiki rumah tangga tanpa harus memulai dari awal, sementara iddah menghadirkan jeda yang mendidik kesabaran dan keteguhan hati.

Rasulullah SAW bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

إِنَّ أَبْغَضَ الْحَلالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ
“Sesungguhnya perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini mengingatkan bahwa perceraian bukanlah tujuan utama, tetapi bila terjadi, syariat memberi jalan penuh hikmah agar manusia tetap terjaga martabatnya.

Perbandingan Fathul Wahhab dan Fathul Mu’in

Menariknya, Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin al-Malibari juga membahas rujuk dan iddah dengan gaya penjelasan yang lebih ringkas. Fathul Wahhab cenderung detail dengan fokus pada aspek hukum dan syarat, sedangkan Fathul Mu’in lebih menekankan kemudahan praktis dalam masyarakat.

Misalnya, dalam soal rujuk, Fathul Wahhab menekankan anjuran menghadirkan saksi agar tidak terjadi perselisihan. Sementara itu, Fathul Mu’in lebih menyoroti sahnya rujuk dengan ucapan yang jelas, tanpa banyak membahas urgensi saksi. Perbedaan ini menunjukkan variasi penekanan, meski keduanya tetap berada dalam bingkai mazhab Syafi’i.

Dalam hal iddah, Fathul Wahhab menaruh perhatian pada detail quru’ dan perbedaan pendapat ulama, sedangkan Fathul Mu’in lebih sederhana dalam pemaparan, agar mudah dipahami kalangan santri dan masyarakat awam.

Penutup

Rujuk dan iddah dalam Fathul Wahhab bukan sekadar hukum kaku, tetapi cerminan kasih sayang Allah yang memberi ruang perbaikan dan masa jeda penuh hikmah. Ia mengajarkan kita bahwa setiap perpisahan sekalipun masih bisa menyimpan harapan, dan setiap penantian selalu berpeluang membawa kebaikan baru.

Hidup berumah tangga ibarat mengarungi samudera. Ada gelombang yang mengguncang, ada pula pelabuhan yang menenangkan. Rujuk memberi kesempatan berlayar kembali, sedangkan iddah menjadi jeda yang menata hati sebelum melanjutkan perjalanan. Semoga setiap pasangan mampu memaknai syariat ini dengan kesabaran, cinta, dan penghormatan terhadap ajaran agama.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqra’ University


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement