Mode & Gaya
Beranda » Berita » Nikah Yes, Pacaran No: Membangun Cinta yang Bermartabat

Nikah Yes, Pacaran No: Membangun Cinta yang Bermartabat

SURAU.CO. Di taman kota yang ramai, Nisa dan Fajar (bukan nama sebenarnya) duduk bersama, tertawa, dan saling menatap mesra. Dunia seakan milik mereka berdua. Namun, di balik senyum itu tersimpan risiko besar yang kerap luput dari kesadaran: hati yang cepat terpaut, nafsu yang membara, dan masa depan yang mudah terguncang. Apa yang terlihat indah sesaat bisa berubah menjadi penyesalan panjang. Itulah pacaran.

Fenomena ini bukan cerita fiksi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2023) menunjukkan peningkatan kehamilan remaja sebesar 10% dalam lima tahun terakhir. Angka tersebut menjadi peringatan bahwa pacaran bebas bukan hanya perkara romantisme, tetapi juga ancaman serius bagi masa depan generasi muda.

Cinta: Anugerah yang Harus Dijaga dan Dijemput dengan Benar

Manusia diciptakan dengan fitrah untuk mencintai lawan jenis. Cinta adalah anugerah dari Allah Swt. Cinta akan menjadi indah jika dijalani sesuai dengan aturan-Nya. QS. Ali-‘Imran:14 menegaskan kecintaan pada wanita, anak, dan harta adalah kesenangan hidup dunia.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

Latin:
zuyyina lin-nâsi ḫubbusy-syahawâti minan-nisâ’i wal-banîna wal-qanathîril-muqantharati minadz-dzahabi wal-fidldlati wal-khailil-musawwamati wal-an‘âmi wal-ḫarts, dzâlika matâ‘ul-ḫayâtid-dun-yâ, wallâhu ‘indahû ḫusnul-ma’âb

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Arti:
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.

Rasulullah Saw memberikan teladan. Beliau menyalurkan cintanya melalui pernikahan. Ini mengajarkan kita: cinta tanpa batas syariat bisa menjerumuskan. Sementara cinta yang halal memberi ketenangan, berkah, dan kehormatan dan cinta yang dibimbing agama melatih kesabaran dan tanggung jawab.

Pengalaman remaja di kota besar menjadi contoh nyata. Beberapa mengaku “hanya ingin mencoba pacaran sebentar”. Namun, hati yang mudah melekat menyebabkan trauma. Bahkan, ada yang mengalami kehamilan atau tekanan psikologis akibat putus cinta. Hal ini bisa dihindari jika cinta disalurkan secara halal.

Pacaran: Jebakan yang Menggoda, Menyesatkan Jiwa

Nisa dan Fajar bertukar pesan dengan senyum merekah. Namun, kebersamaan itu melanggar etika Islam. Syariat sudah jelas: tundukkan pandangan, jaga aurat, dan hindari berdua-duaan. Begitu mata terus memandang dan hati mulai melekat, dosa pun mengintai.

Pacaran bukan sekadar rasa, melainkan jalan yang mudah membuka pintu maksiat. Obrolan kecil, pesan mesra, atau canda ringan, bila berulang, bisa menyeret pada dosa besar. Banyak remaja terjebak dengan alasan “sekadar coba-coba.”

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Sebagian mencoba menamai hubungan mereka “pacaran islami” atau “pacaran syar’i.” Padahal, setiap interaksi yang menumbuhkan khayalan dan menggetarkan hati tetap menyalahi syariat. Pacaran syar’i hanyalah ilusi. Allah Swt memberi batasan bukan untuk mematikan cinta, tetapi menjaga hati tetap bersih dan mulia.

Ta’aruf dan Pernikahan: Solusi Indah untuk Merajut Cinta Halal

Pernikahan hadir sebagai solusi terbaik bagi fitrah cinta. Melalui proses ta’aruf, calon pasangan saling mengenal dengan jujur. Mereka menilai karakter, menimbang niat, dan mengukur kecocokan. Semua berlangsung secara sah dengan bimbingan serta pengawasan orang tua. Dengan cara ini, cinta bukan sekadar perasaan, melainkan ibadah yang menghadirkan keberkahan. Remaja meraih rasa aman, orang tua menikmati ketenangan, dan masyarakat ikut merasakan manfaat.

Rendi, seorang remaja berusia 19 tahun, sempat tergoda untuk berpacaran. Namun, setelah berbincang dengan orang tuanya dan mengikuti bimbingan ta’aruf, ia memilih menunggu hingga pernikahan. Keputusan itu membuatnya lebih tenang. Hatinya terasa damai. Rasa cintanya kini tertuju pada tujuan yang lebih mulia. Dari kisah ini, kita belajar bahwa cinta dapat berjalan dengan berkah, tanpa risiko, dan selalu memberi arah yang jelas.

Sebuah Refleksi: Menjaga Diri, Meraih Cinta yang Suci

“Nikah Yes, Pacaran No” bukan sekadar slogan. Ia hadir sebagai peringatan, pengingat, sekaligus panduan hidup. Pacaran menyimpan risiko nyata: hati yang terluka, kehamilan di luar nikah, konflik sosial, hingga tekanan psikologis. Sebaliknya, pernikahan menyalurkan cinta dalam koridor halal. Di sanalah tumbuh tanggung jawab, lahir keluarga harmonis, dan terjaga martabat manusia. Pada akhirnya, keselamatan dunia dan akhirat tidak bergantung pada perasaan semata, melainkan pada kepatuhan kepada Allah Swt, akhlak yang baik, dan kemampuan menjaga diri.

Dengan kesadaran ini, remaja dapat merasakan cinta yang berbuah berkah. Orang tua menemukan ketenangan hati. Masyarakat pun merasakan manfaat dari lahirnya keluarga yang sehat dan penuh kasih. Cinta sejati tidak melukai, tidak menjerumuskan, dan tidak merusak masa depan. Justru sebaliknya, cinta yang benar mengantarkan pada keberkahan dunia dan akhirat. Karena itu, mari menempatkan pernikahan sebagai jalan cinta yang mulia, dan menolak pacaran sebagai bentuk menjaga diri, iman, serta masa depan. (kareemustofa)

Frugal Living: Seni Hidup Sederhana dan Secukupnya


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement