SURAU.CO. Di zaman era modern ini kita sering kali mengingin segala sesuatu serba instan, termasuk dalam menuntut ilmu. Mengikuti kursus pendek, kursus online, menggunakan berbagai aplikasi dalam mempelajari segala sesuatu dan kemudian merasa telah menguasai ilmu tertentu. Atau kita pernah merasa malas membuka buku, bosan mengikuti kelas, atau menunda belajar dengan alasan sepele?
Padahal, sejarah mencatat begitu banyak ulama besar yang rela mengorbankan kenyamanan, harta, bahkan kesehatan demi menuntut ilmu. Mereka menjadikan ilmu sebagai napas kehidupan dan tidak pernah berhenti mencarinya hingga akhir hayat. Kisah-kisah perjuangan mereka bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan pelajaran berharga bagi kita di era modern yang penuh kemudahan.
Jika para ulama terdahulu bisa berjalan kaki ribuan kilometer hanya untuk menghadiri satu majelis ilmu, maka apa alasan kita untuk tidak bersungguh-sungguh belajar dengan segala fasilitas canggih yang tersedia hari ini?
Ilmu Adalah Ibadah
Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan ibadah yang bernilai tinggi. Imam Syafi’i bahkan mengatakan, “Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan shalat sunnah.” (Musnad asySyafi’i (1/249), Tafsir alBaghowy (4/113), Faidhul Qodiir (4/355).
Hal ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan ilmu. Dengan ilmu, seorang muslim mampu memahami agamanya, mengatur kehidupannya, dan memberi manfaat bagi sesama. Maka tidak heran bila para ulama dahulu menempuh perjalanan panjang dan penuh pengorbanan demi memperoleh pengetahuan.
Keteguhan dalam Kesulitan
Sejarah mencatat betapa luar biasanya kesabaran para ulama. Kita bisa melihat kisah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi sang pemburu hadist. Ia lahir di Baitul Maqdis sekitar tahun 448H dan wafat tahun 507H, tercatat dalam sejarah sebagai seorang hafizh dan ahli Maqdisi.
Muhammad bin Thahir al-Maqdisi sampai harus mengalami sakit parah hingga kencing darah sebanyak dua kali karena kelelahan dalam menuntut ilmu hadist ketika di Baghdad dan di Mekkah. Ia rela berjalan bertelanjang kaki di bawah terik matahari sambil memanggul kitab di punggungnya. Kisah ini menggambarkan bahwa ilmu memang menuntut perjuangan, bukan kemudahan instan.
Belajar Tanpa Henti
Ada pula kisah Imam an-Nawawi yang setiap harinya mempelajari 12 disiplin ilmu berbeda. Mulai dari fiqh, tafsir, hingga hadits. Bayangkan, di saat sebagian dari kita kesulitan konsisten membaca satu buku sebulan, beliau dengan penuh semangat menekuni ilmu setiap hari. Semangat ini menunjukkan bahwa belajar bukan aktivitas musiman, melainkan perjalanan seumur hidup.
Imam An-Nawawi dikenal sebagai seorang fukaha, ahli hadis fiqih dan ulama Mazhab Syafi’i. Semasa hidupnya dia selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, dan melaksanakan ibadah. Imam Nawawi meninggalkan lebih dari 40 kitab hasil karyanya dan banyak yang terkenal.
Ilmu sebagai Teman Setia
Bagi para ulama, buku adalah sahabat paling setia. Ibnul Jauzi, misalnya, membaca lebih dari 20.000 jilid kitab sepanjang hidupnya. Ia meninggalkan karya tulis hingga mencapai 300-an judul. Salah satu yang terkenal adalah Maudluat Kubra yaitu kitab kumpulan hadis-hadis palsu
Abul Faraj Ibnul Jauzi atau yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jauzi adalah seorang ahli fikih, sejarawan, ahli tata bahasa, ahli tafsir, pendakwah, dan syekh yang merupakan tokoh penting dalam berdirinya kota Baghdad. Ia merupakan pedakwah mazhab Hambali yang terkemuka di masanya. Garis keturunan keluarganya apabila ditelusuri akan mencapai kepada sahabat nabi Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kemudian, ada Al-Hasan al-Lu’lu-i yang bahkan selama 40 tahun tidak pernah tidur kecuali dengan kitab di atas dadanya. Al-Hassan bin Ziyad al-lu’lu’I merupakan salah seorang murid Imam Hambali yang termahsyur. Ia terkenal sebagai orang yang meriwayatkan hadits dan fatwa / pendapat Imam Abu Hanifah.
Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa ilmu adalah teman sejati yang selalu hadir, bahkan dalam keheningan malam. Buku dan ilmu dapat menjadi teman setia dalam keseharian.
Pengorbanan Demi Ilmu
Ada pula ulama yang rela mengorbankan harta benda demi menuntut ilmu. Al-Hafidz Abul ‘Alaa al-Hamadzaaniy bahkan menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaliqy. Hal ini memberi pesan mendalam bahwa ilmu memiliki nilai lebih tinggi daripada harta. Rumah bisa dibangun kembali, tetapi ilmu yang diperoleh akan terus menjadi cahaya sepanjang hidup.
Kisah Al-Hafidz Abul ‘Alaa al-Hamadzaaniy sering diceritakan sebagai teladan bagi para penuntut ilmu untuk menunjukkan betapa pentingnya ilmu dan kesungguhan dalam meraihnya. Al-Hafidz Abul ‘Alaa al-Hamadzaaniy adalah seorang tokoh ulama ahli hadits yang terkenal karena semangatnya yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Gelar “Al-Hafidz” sendiri menunjukkan kemampuannya dalam menghafal dan menguasai ilmu hadits.
Konsistensi yang Mengagumkan
Keteguhan ulama juga tampak dari kebiasaan mereka mengulang bacaan. Imam al-Muzani mengaku telah membaca ar-Risalah karya Imam Syafi’i selama lebih dari 50 tahun, dan setiap kali membacanya ia selalu menemukan pelajaran baru. Ini menunjukkan bahwa ilmu tidak pernah habis untuk digali.
Imam Al-Muzani merupakan seorang fakih dan ahli akudah dari mazhab Syafi’i. Ia berasal dari Kairo dan merupakan murid terdekat, serta sahabat dari imam Syafi’i. Imam Al-Muzani ahli dalam mengeluarkan fatwa dan menjadi penerus dari Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata tentangnya bahwa: “Al-Muzani adalah pembawa panji dari mazhabku”.
Semangat Mencatat dan Menulis
Selain membaca, para ulama juga sangat bersemangat menulis dan mencatat. Imam al-Bukhari, misalnya, sering terbangun di malam hari hingga 18 kali hanya untuk mencatat ide yang terlintas di benaknya. Imam Bukhari terkenal dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits yaitu pemimpin orang-orang yang beriman dalam hal ilmu hadis. Dalam buku-buku fiqih dan hadis, hadis-hadisnya memiliki derajat yang tinggi dan hampir semua ulama di dunia merujuk pada hadisnya.
Sementara itu, dalam kisah lain Ahmad bin Abid Da’im al-Maqdisiy mampu menyalin lebih dari 2000 jilid kitab sepanjang hidupnya. Mereka sadar, ilmu yang tidak ditulis akan mudah hilang. Semangat mereka dalam belajar, baik membaca ataupun menulis patut menjadi teladan.
Bersama Ilmu Hingga Ajal Menjemput
Yang paling menggetarkan, sebagian ulama tetap bersama ilmu bahkan di detik-detik terakhir hidupnya. Abu Zur’ah ar-Raazi, ketika menjelang ajal, masih sempat mengucapkan hadits tentang talqin Laa Ilaaha Illallaah. Pemilik nama lengkap Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farukh ar-Razi ini merupakan seorang ahli hadis Sunni dari abad ke-3 Hijriah. Ia berasal, tinggal dan wafat di kota Ray, Persia. Ia merupakan kerabat dari ahli hadis terkenal lainnya yang bernama Abu Hatim ar-Razi dan anaknya Ibnu Abu Hatim.
Demikian pula Abu Hatim ar-Raazi yang masih menjawab pertanyaan ilmiah di ambang wafatnya. Abu Hatim ar-Raazi yang merupakan kerabat Abu Zur’ah ar-Raazi memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris bin al-Mundzir bin Daud bin Mihran al-Hanzhali al-Ghathfani. Ia keturunan Tamim bin Hanzhalah bin Yarbu’, ia dikenal dengan al-Hanzhali karena ia tinggal di jalan raya Hanzhalah, di kota Ray.
Kisah para ulama ini menegaskan bahwa bagi mereka, ilmu adalah bagian dari jiwa yang tidak pernah terpisah hingga akhir hayat.
Belajar dari Kisah Ulama Besar
Jika kita renungkan, kisah-kisah ini mengandung pesan besar. Pertama, ilmu menuntut pengorbanan. Tidak ada jalan instan untuk meraihnya. Kedua, ilmu menuntut konsistensi. Para ulama tidak berhenti belajar meski telah mencapai kedudukan tinggi. Ketiga, ilmu membutuhkan adab. Menghormati guru, menjaga niat, dan mengamalkan ilmu adalah kunci keberkahan.
Di zaman modern, kita memang tidak perlu berjalan kaki ribuan kilometer atau menjual rumah demi membeli buku. Namun tantangannya berbeda, bagaimana menjaga fokus di tengah derasnya distraksi, bagaimana tetap konsisten di era serba instan, dan bagaimana memanfaatkan teknologi agar menjadi jalan menuju ilmu, bukan sekadar hiburan tanpa arah.
Kisah para ulama menuntut ilmu adalah cermin bagi kita hari ini. Mereka rela berkorban, bersabar, dan terus berjuang hingga akhir hayat. Sementara kita sering kali kalah oleh rasa malas, gadget, atau kesibukan duniawi. Padahal, jalan menuju ilmu kini terbuka lebar dengan segala fasilitas.
Ilmu adalah cahaya yang tak pernah padam, dan menuntutnya adalah ibadah yang akan terus bernilai hingga akhir hayat. Semoga kisah-kisah ini membangkitkan semangat kita untuk lebih serius, tekun, dan ikhlas dalam menuntut ilmu. Semoga kita bisa menjadi bagian dari pewaris cahaya yang menerangi jalan hidup manusia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
