Kisah
Beranda » Berita » Kisah Yahudi Ludahi Nabi: Dari Sakit Hati Menjadi Sehat Hati

Kisah Yahudi Ludahi Nabi: Dari Sakit Hati Menjadi Sehat Hati

SURAU.CO. Di era digital ini, kita sering menyaksikan emosi yang mudah tersulut; ketika seseorang melontarkan kata-kata pedas di media sosial, orang lain langsung membalas dengan cacian yang lebih keras, lalu sindiran kecil pun berubah menjadi permusuhan panjang yang sulit berakhir. Dalam situasi seperti itu, sakit hati terus tumbuh dan menjadi penyakit umum, padahal Rasulullah Saw telah memberi teladan jelas tentang cara menyembuhkannya. Beliau pernah diludahi seorang Yahudi setiap hari, namun beliau tidak membalas dengan amarah; sebaliknya, beliau menanggapi perlakuan kasar itu dengan doa dan kasih sayang, sehingga kita belajar bagaimana akhlak mulia mampu mengubah sakit hati menjadi hati yang sehat.

Kisah Nabi Saw Diludahi Yahudi

Di sebuah jalan di Madinah, hiduplah seorang Yahudi yang menyimpan kebencian mendalam terhadap Nabi Muhammad Saw. Setiap kali beliau melewati jalan tersebut menuju masjid, orang Yahudi itu tak segan meludahinya. Bagi kebanyakan orang, perlakuan seperti ini sangatlah hina dan menyakitkan. Namun, Nabi Saw sama sekali tidak membalas perbuatan tersebut. Beliau tetap berjalan dengan tenang, menundukkan pandangan, tanpa mengeluarkan kata-kata kasar atau amarah.

Para sahabat yang menyaksikan kejadian itu seringkali merasa heran. Bagaimana mungkin seorang manusia semulia beliau bisa diperlakukan sedemikian rupa, namun tetap memilih untuk bersabar? Jawabannya sederhana: dakwah yang efektif bukan hanya tentang kata-kata, melainkan juga tentang sikap.

Hilangnya Ludah: Pertanda Awal Perubahan

Suatu pagi, Nabi Saw melangkah seperti biasa. Namun, kali ini tidak ada lagi ludah yang jatuh menghiasi jalan. Hari berikutnya pun sama. Beliau merasa heran, lalu bertanya kepada tetangga sekitar, “Di manakah orang yang biasa berada di depan rumahnya?” Mereka menjawab dengan penuh hormat, “Ya Rasulullah, orang itu sedang sakit keras.”

Bukannya merasa gembira atau puas dengan penderitaan orang tersebut, Nabi Saw justru merasa iba. Hatinya tergugah oleh rasa kemanusiaan. Beliau segera bergegas menuju rumah orang Yahudi itu untuk menjenguknya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kunjungan yang Mengubah Segalanya

Ketika pintu rumah dibuka, orang Yahudi itu sangat terkejut. Dengan suara lemah, ia bertanya, “Mengapa engkau datang, padahal aku sering menyakitimu?”

Nabi Saw menjawab dengan lembut dan penuh kasih sayang, “Aku datang karena engkau adalah tetanggaku, dan aku mendengar engkau sakit. Islam mengajarkan kami untuk menjenguk orang yang sakit.”

Jawaban Nabi Saw bagaikan air jernih yang memadamkan bara api dalam hati orang Yahudi itu. Air mata mengalir dari matanya. Hatinya luluh, ia menyadari bahwa kebencian tidak mampu menahan ketulusan dan kasih sayang Nabi Muhammad Saw. Dari situlah hidayah Allah Swt mengetuk pintu hatinya. Ia akhirnya mengucapkan syahadat, memeluk agama Islam dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Menggali Makna: Dari Sakit Hati Menuju Sehat Hati

Kisah ini, meskipun tidak tercatat dalam riwayat sahih, menyimpan makna yang sangat mendalam dan selaras dengan ajaran al-Qur’an Surat Fusilat 34:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُۗ اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Latin:
wa lâ tastawil-ḫasanatu wa las-sayyi’ah, idfa‘ billatî hiya aḫsanu fa idzalladzî bainaka wa bainahû ‘adâwatung ka’annahû waliyyun ḫamîm.

Arti:
Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia.

Nabi Saw menunjukkan kepada kita bahwa hati yang sehat lahir dari kemampuan untuk memaafkan. Jika beliau ingin membalas perbuatan orang Yahudi itu, tentu saja beliau mampu. Namun, yang beliau pilih adalah jalan kasih sayang dan kelembutan. Dari situlah lahir kekuatan yang mampu menaklukkan musuh tanpa pedang, melainkan dengan budi pekerti yang luhur.

Refleksi untuk Kita: Akhlak Nabi dalam Kehidupan Modern

Di zaman modern ini, ludah mungkin tidak lagi dilemparkan secara fisik di jalanan. Namun, bentuknya telah berubah. Kita seringkali menemukan komentar-komentar menyakitkan, fitnah digital, atau sindiran tajam yang bertebaran di dunia maya. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita merespons situasi-situasi ini? Apakah kita akan membalas sakit hati dengan sakit hati yang sama, ataukah kita akan meneladani akhlak Nabi Saw?

Menjadi pemaaf bukanlah tanda kelemahan. Justru, itulah kekuatan sejati. Mampu menahan amarah, mengganti dendam dengan doa, dan merespons kebencian dengan kebaikan adalah kunci utama. Sebab, akhlak yang baik tidak hanya menyembuhkan hati orang lain, tetapi juga menyehatkan hati kita sendiri.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Mengikuti Jejak Rasulullah Saw

Nabi Muhammad Saw telah membuktikan melalui sikapnya bahwa dakwah yang sejati tidak selalu membutuhkan kata-kata. Kadang kala, satu sikap sabar dan penuh kasih sayang lebih berdampak daripada seribu argumen yang panjang.

Dari kisah sederhana ini, kita belajar bahwa sakit hati hanya bisa disembuhkan dengan memiliki hati yang sehat. Dan hati yang sehat, tak lain adalah hati yang senantiasa mengikuti jejak akhlak mulia Rasulullah Saw. Marilah kita berusaha untuk selalu meneladani akhlak beliau dalam setiap aspek kehidupan kita.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement