Khazanah
Beranda » Berita » Menghidupkan Kembali Cahaya Jiwa yang Pernah Redup

Menghidupkan Kembali Cahaya Jiwa yang Pernah Redup

Ilustrasi cahaya jiwa yang kembali hidup di tengah kegelapan
Ilustrasi simbolis manusia yang menemukan kembali cahaya jiwanya di tengah kegelapan hidup.

Surau.co. Menghidupkan kembali cahaya jiwa bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan kebutuhan nyata yang dirasakan banyak orang. Dalam rutinitas modern yang penuh tekanan, manusia sering kehilangan arah dan semangat. Abu Zayd al-Balkhi, seorang pemikir besar abad ke-9, menulis dalam Masālih al-Abdan wa al-Anfus bahwa jiwa sama pentingnya dengan tubuh. Oleh karena itu, menjaga kesehatan jiwa menjadi cara terbaik untuk menyalakan kembali cahaya yang meredup di dalam hati.

Jiwa yang Letih dalam Kehidupan Sehari-hari

Kita semua pernah mengalami hari ketika tubuh terasa sehat, tetapi hati tetap kosong. Situasi ini biasanya dialami orang yang terlalu sibuk dengan urusan dunia hingga lupa merawat batinnya. Abu Zayd al-Balkhi menegaskan:

“النفس تحتاج إلى ما يقويها كما يحتاج البدن إلى ما يغذيه.”
“Jiwa membutuhkan sesuatu yang menguatkannya, sebagaimana tubuh membutuhkan sesuatu yang memberinya gizi.”

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa jiwa tidak boleh diabaikan. Sama seperti tubuh yang memerlukan makanan bergizi, jiwa juga membutuhkan dzikir, doa, refleksi, serta ketenangan batin.

Ketika Cahaya Jiwa Meredup

Ada kalanya kegembiraan sederhana tidak lagi terasa. Al-Balkhi menggambarkan kondisi ini dengan tajam:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

“إذا أظلمت النفس لم يضئ لها شيء من مباهج الدنيا.”
“Ketika jiwa menjadi gelap, maka tak ada satu pun keindahan dunia yang mampu meneranginya.”

Fenomena ini tampak jelas pada orang yang mengalami stres berat atau depresi. Dunia seakan kehilangan warnanya, meskipun secara lahiriah semuanya terlihat baik-baik saja. Oleh sebab itu, tanda seperti ini harus segera disadari agar cahaya jiwa dapat dipulihkan kembali.

Al-Qur’an sebagai Lentera Penuntun

Selain itu, Islam telah memberikan petunjuk agar manusia tidak larut dalam kegelapan batin. Allah berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (الفجر: 27–28)
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr: 27–28)

Ayat ini memberi harapan bahwa jiwa akan kembali damai jika mendekat kepada Allah. Dengan demikian, kedekatan spiritual menjadi obat mujarab yang tidak bisa digantikan oleh hal-hal duniawi.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Menyadari Gejala Sejak Dini

Al-Balkhi juga menekankan pentingnya mengenali tanda awal sakit jiwa. Ia menulis:

“من علامات اعتلال النفس تغير أحوالها عما كانت عليه من قبل.”
“Di antara tanda sakitnya jiwa adalah berubahnya keadaannya dari apa yang biasanya ia alami.”

Sebagai contoh, seseorang yang biasanya ceria tiba-tiba murung, atau orang yang aktif mendadak kehilangan minat. Gejala seperti ini bukan hal sepele. Oleh karena itu, kesadaran sejak dini sangat penting agar cahaya jiwa segera menyala kembali.

Sahabat yang Menguatkan Hati

Tidak hanya dzikir dan doa, sahabat yang tulus juga berperan besar dalam menjaga kesehatan jiwa. Al-Balkhi menulis:

“الصديق الصادق دواء للنفس، يشاركها أفراحها ويواسيها في أحزانها.”
“Sahabat yang tulus adalah obat bagi jiwa; ia berbagi dalam kebahagiaan dan menghiburnya dalam kesedihan.”

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa banyak orang merasa lebih ringan setelah bercerita kepada sahabat yang memahami. Akibatnya, beban yang berat menjadi terasa lebih mudah ditanggung. Inilah alasan mengapa manusia diciptakan untuk saling menguatkan, bukan berjalan sendirian dalam kegelapan.

Dari Hikmah Klasik ke Klinik Modern

Menariknya, apa yang ditulis Al-Balkhi sejalan dengan praktik psikologi modern. Konseling, terapi, hingga support group pada dasarnya berangkat dari prinsip yang sama: manusia butuh didengar, dipahami, dan diarahkan. Dengan demikian, warisan Al-Balkhi menjembatani padang pasir abad ke-9 dengan klinik modern abad ke-21.

Kesadaran ini juga mengajarkan bahwa menghidupkan cahaya jiwa tidak selalu membutuhkan langkah besar. Sebaliknya, ia bisa dimulai dari hal-hal sederhana: berbicara dengan sahabat, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, merenung dalam hening, atau sekadar menarik napas panjang sambil bersyukur atas nikmat kecil.

Refleksi: Saatnya Menyalakan Lentera Jiwa

Pada akhirnya, cahaya jiwa memang bisa redup kapan saja. Namun, ia tidak pernah benar-benar padam. Abu Zayd al-Balkhi mengingatkan bahwa dengan perhatian, dzikir, sahabat yang tulus, serta kesadaran diri, cahaya itu pasti dapat dinyalakan kembali.

Hidup bukan hanya tentang menjaga tubuh agar kuat, melainkan juga merawat jiwa agar tetap bercahaya. Karena dengan jiwa yang terang, tubuh akan melangkah lebih ringan, menghadapi segala badai kehidupan dengan hati yang penuh ketenangan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement