Surau.co. Dari padang pasir abad ke-9 hingga klinik modern abad ke-21, ada satu hikmah yang tidak berubah: manusia tidak hanya terdiri dari tubuh, tetapi juga jiwa. Kitab Masālih al-Abdan wa al-Anfus karya Abu Zayd al-Balkhī (w. 934 M) hadir sebagai jembatan pemikiran yang menakjubkan. Ia mengingatkan kita bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan keduanya menjadi cara terbaik untuk mengarungi kehidupan tanpa terjerat retakan batin maupun kelemahan tubuh.
Jiwa dan Tubuh: Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan
Al-Balkhī menegaskan bahwa tubuh dan jiwa selalu saling memengaruhi. Ia menulis:
“البدن والنفس أخوان، إذا تأذى أحدهما شاركه الآخر في ألمه.”
“Tubuh dan jiwa adalah dua saudara; jika salah satunya sakit, yang lain ikut merasakan penderitaannya.”
Fenomena ini jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, stres membuat kepala pusing, perut mual, atau tubuh lelah. Sebaliknya, saat tubuh sakit, suasana hati pun menjadi gelisah. Dengan demikian, prinsip yang ditulis lebih dari seribu tahun lalu tetap relevan dengan dunia medis modern yang menekankan pendekatan biopsikososial.
Luka Batin yang Tak Kasat Mata
Orang sering menyepelekan luka batin karena tidak terlihat. Namun, Al-Balkhī sudah mengingatkan:
“النفس إذا مرضت لم ينفعها موعظة ولا ذكرى، كما أن الجسد إذا اعتل لم ينفعه غذاء ولا دواء.”
“Jiwa yang sakit tidak bermanfaat baginya nasihat atau peringatan, sebagaimana tubuh yang sakit tidak berguna baginya makanan maupun obat.”
Kenyataan ini tampak pada orang yang mengalami depresi. Sekadar menasihati “sabar” tanpa empati tidak pernah cukup. Luka jiwa membutuhkan perawatan halus, sama seperti luka fisik yang memerlukan obat. Oleh karena itu, kita perlu memperlakukan luka batin dengan keseriusan yang sama.
Al-Qur’an dan Jalan Ketenangan
Islam memberikan pedoman agar manusia tidak terseret dalam jurang kegelisahan. Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Al-Balkhī sejalan dengan ayat ini ketika menulis bahwa kekuatan jiwa tumbuh dari ketenangan batin:
“النفس إذا قويت بالطمأنينة هان عليها البلاء وخف عليها الألم.”
“Jiwa yang diperkuat dengan ketenangan akan ringan menghadapi musibah dan terasa ringan dalam menanggung rasa sakit.”
Oleh sebab itu, ketenangan tidak hanya sekadar kondisi emosional, melainkan juga fondasi untuk menghadapi tantangan hidup.
Menyadari Gejala Sejak Awal
Selain itu, salah satu keunggulan pemikiran Al-Balkhī adalah penekanannya pada pencegahan. Ia menulis:
“من دلائل اعتلال النفس تغير عاداتها وانصرافها عما كانت تألفه.”
“Di antara tanda sakitnya jiwa adalah berubahnya kebiasaannya dan berpaling dari hal-hal yang sebelumnya disenangi.”
Sebagai contoh, seseorang yang biasanya aktif bergaul tiba-tiba mengurung diri, atau orang yang senang bekerja tiba-tiba kehilangan semangat. Perubahan seperti ini merupakan sinyal yang tidak boleh diabaikan. Di klinik modern, prinsip serupa dipakai: deteksi dini gangguan mental sangat menentukan kesembuhan.
Hidup Sederhana sebagai Perisai Jiwa
Selain pencegahan, Al-Balkhī juga menekankan kesederhanaan. Ia percaya bahwa ambisi dunia yang berlebihan justru memicu kegelisahan. Hidup sederhana, sebaliknya, menjaga jiwa tetap kuat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“قد أفلح من أسلم ورُزق كفافًا وقنعه الله بما آتاه.”
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah menjadikannya qana‘ah dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Dengan kata lain, kesederhanaan tidak menjadikan hidup miskin makna, melainkan memperkuat daya tahan dari tekanan hidup.
Menjembatani Hikmah Lama dan Ilmu Baru
Apa yang ditulis Abu Zayd al-Balkhī dalam Masālih al-Abdan wa al-Anfus bukan sekadar catatan kuno. Sebaliknya, ia adalah warisan pemikiran yang bisa dijadikan fondasi oleh dunia psikologi modern. Klinik hari ini banyak menggunakan terapi perilaku kognitif, konseling, dan deteksi dini gangguan mental. Pada hakikatnya, semua ini sudah digagas lebih dari seribu tahun lalu.
Oleh karena itu, jembatan antara padang pasir tempat lahirnya karya ini dan klinik modern masa kini membuktikan bahwa hikmah sejati tidak lekang dimakan zaman.
Refleksi: Saatnya Menjaga Jiwa Seperti Menjaga Tubuh
Pada akhirnya, banyak orang rela berolahraga, minum suplemen, bahkan menghabiskan uang demi menjaga tubuh. Akan tetapi, masih sedikit yang merawat jiwanya dengan kesungguhan yang sama. Pesan Al-Balkhī sederhana: jiwa dan tubuh harus dijaga secara bersamaan.
Kita bisa memulainya dari langkah kecil: menjaga rutinitas ibadah, hidup sederhana, mendengarkan tubuh, menyadari perubahan suasana hati, serta tidak ragu mencari bantuan sahabat atau ahli ketika mulai merasa goyah.
Seperti jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, hikmah dari Masālih al-Abdan wa al-Anfus tetap menjadi pelita bagi kehidupan yang lebih sehat, lahir dan batin.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
