SURAU.CO – Habib Utsman bin Yahya, atau dikenal sebagai Sayyid Utsman Batavia, adalah seorang ulama terkemuka. Ia lahir di Kampung Arab Pekojan, Batavia (Jakarta) pada tahun 1822. Ayahnya, Habib Abdullah bin Aqil, dan ibunya, Aminah, putri ulama Mesir Syekh Abdurrahman al-Mishri, menetap di Batavia. Habib Utsman dikenal sebagai mufti agung di Batavia selama pemerintahan Belanda. Ia wafat di Jakarta pada tahun 1913 dan dimakamkan di Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Masa Kecil dan Perjalanan Pencarian Ilmu
Sejak kecil, Habib Utsman bin Yahya menimba ilmu agama dari kakeknya, Habib Aqil. Ia tidak belajar dari ayahnya karena sang ayah bermukim di Makkah saat Habib Utsman berusia tiga tahun. Ia juga belajar dari kakeknya dari pihak ibu, Syekh Abdurrahman al-Mishri. Ketika berusia 18 tahun, kakeknya wafat. Habib Utsman lalu memutuskan menyusul ayahnya ke Makkah untuk mendalami ilmu agama lebih lanjut.
Guru pertamanya di Makkah adalah ayahnya sendiri. Kemudian, ia berguru kepada ulama besar seperti Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Dimyathi, dan Syekh Muhammad bin Husein al-Habsyi. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Hadramaut, Tarim, tanah leluhurnya. Di sana, ia belajar dari Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Sayyid Hasan bin Shalih al-Bahr, dan banyak ulama lainnya.
Habib Utsman bermukim di Hadramaut selama delapan tahun. Kemudian, ia menuju Mesir, tanah leluhur ibunya. Tak sampai setahun, ia meneruskan perjalanan ke Tunisia. Ia berguru kepada Syekh Muhammad bin Manshur dan Syekh Muhammad Abdul Jawad. Berbagai kota dan negara ia jelajahi, termasuk Aljazair, Maroko, Syiria, Turki, dan Palestina. Total 22 tahun ia habiskan untuk belajar agama di berbagai negara. Saat usianya menginjak 40 tahun, ia kembali ke tanah air.
Kiprah sebagai Mufti Agung dan Pembaharu
Setelah kembali, Habib Utsman bin Yahya mengajar di Masjid Pekojan. Ia menggantikan Syekh Abdul Ghani Bima yang sudah sepuh. Di sinilah kiprahnya di Jakarta (Batavia) dimulai. Pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai mufti agung. Tugasnya adalah mengatur kehidupan beragama di Jakarta. Posisi ini sempat ditolaknya. Namun, setelah merenungkan tujuannya baik untuk umat Islam, ia menerimanya.
Sebagai mufti agung, Habib Utsman menerapkan berbagai kebijakan penting. Ia membina para hakim agama agar menguasai syariah Islam. Ia juga memberikan gaji kepada hakim agama. Kebebasan beribadah bagi kaum muslim juga menjadi fokus utamanya.
Karya-Karya Ilmiah yang Abadi
Habib Utsman bin Yahya dikenal sangat produktif. Ia menulis banyak kitab di berbagai bidang ilmu. Tercatat setidaknya 120 karangan karyanya. Karya-karyanya meliputi fikih, akidah, akhlak, tasawuf, hadis, doa, dan bahasa Arab. Karya-karya tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan Jawi (Arab Melayu).
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:
Raudhatul Basim (kitab sirah nabawiyah)
Sifat Dua Puluh (kitab tentang tauhid)
Risalah Dua Ulama (kitab tentang akhlak)
Maslak al-Akhyar (kumpulan doa)
Adabul Insan (kitab tentang akhlak)
Manhajul Istiqamah fid Din bis Salamah (kitab tentang kehidupan beragama)
Buku Perhiasan Bagus (tentang akhlak perempuan)
Tamyizul Haq min ad-Dhalal (kitab ilmu falak)
Tahrir Aqwal al-Adillah fi Tahsil al-Qiblah (kitab ilmu falak)
Kitabul Qawanin (kitab tentang peradilan Islam)
Karya pertamanya adalah Manasik Haji dan Umrah (1875). Sementara itu, karangan terakhirnya berjudul Fardhu Nasihat (1912). Kitab Sifat Dua Puluh (1880) menjadi perhatian khusus. Kitab ini berisi ajaran tauhid Ahlussunnah wal Jamaah.
Pemikiran Kontroversial
Pemikiran Habib Utsman kerap mengundang perhatian cendekiawan. Ia menunjukkan sikap kontroversial dalam beberapa hal. Muhammad Noupal mencatat, ia menolak membaca doa di acara Arab. Acara itu menampilkan gambar Ratu Wilhelmina. Namun, ia membacakan doa kesejahteraan Ratu pada hari ulang tahunnya tahun 1898. Ia juga menolak ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Namun, ia menerima kolonisasi non-Muslim di wilayah Muslim.
Kritik Terhadap Wahabi
Meskipun kontroversial, Sayyid Utsman tetap teguh pada Ahlussunnah wal Jamaah. Buktinya adalah kritikannya terhadap aliran Wahabi dan Rafidhah. Pandangan kritisnya terangkum dalam karyanya I’anat al-Mustarsyidin (1991).
Ia mengkritik Wahabi yang menganggap syirik tawassul dan ziarah kubur. Wahabi juga melarang wirid Dala’il al-Khairat. Kaum Wahabi menganggap Nabi dan wali tidak punya pangkat setelah wafat. Mereka juga menyamakan ziarah kubur dengan penyembahan berhala. Habib Utsman membantah keras pandangan ini. Ia menjelaskan bahwa ziarah kubur dengan niat baik tidaklah syirik. Ia mengemukakan dalil-dalil syariat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalil-dalil ini mendukung kebolehan ziarah kubur.
Demikian pula dalam masalah tawassul dan istighotsah. Sayyid Utsman mengemukakan argumentasi kuat dari syariat. Ia menegaskan, Ahlussunnah membolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad. Ini berlaku baik saat Nabi hidup maupun setelah wafat. Termasuk juga kepada Nabi dan Rasul lainnya. Mengenai karamah kewalian, ia menjelaskan itu anugerah Allah. Bukan karena perbuatan manusia. Ahlussunnah meyakini pengaruh hanya datang dari Allah.
Kritik Terhadap Gerakan Rafidhah
Terhadap gerakan Rafidhah, Sayyid Utsman mengkritik cacian mereka. Mereka sering mencaci para sahabat Nabi. Beliau menegaskan keutamaan dan keadilan para sahabat. Al-Qur’an, Sunnah, dan ulama telah menjelaskan ini. Ahlussunnah sepakat wajib menghormati sahabat. Menghina mereka adalah haram. Ia mengutip kitab al-Tiryaq al-Nafi’ tentang dosa besar mencaci sahabat.
Dalam menyikapi kedua aliran tersebut, Sayyid Utsman berlandaskan pada ulama Ahlussunnah. Ia terkoneksi dengan ulama di Makkah, Madinah, dan Hadramaut. Di antaranya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Ibnu Hajar al-Haitami. Tidak heran jika ia menyatakan kedua aliran tersebut bidah dan sesat. Ia menganggapnya musibah besar bagi umat Islam. Ia bertanggung jawab menyampaikan pandangannya kepada masyarakat. Tujuannya agar tidak ternodai pemahaman yang menyesatkan.
Pandangannya didasari dalil Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama. Penafsirannya juga sesuai paham Ahlussunnah wal Jamaah. Ini ia lakukan berdasarkan hadis Nabi. Hadis itu berkata, “Jika tampak bidah sementara orang berilmu berdiam diri, laknat Allah baginya.”
Penentangan Sayyid Utsman menegaskan tradisi Muslim Nusantara. Ziarah, tawassul, dan istighotsah sesuai syariat Islam. Semua itu memiliki dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Penentangan ini juga membentengi umat dari aliran sesat. Ini sejalan dengan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Sikapnya menentang ide-ide pembaharuan adalah jawaban positif. Tujuannya agar umat Islam tidak sekadar menyerap dari luar. Pemaknaan mendalam diperlukan agar tidak mudah tergoyahkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
