SURAU.CO. Menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang tidak selalu mulus. Ada masa di mana semangat begitu membara, namun ada pula saat di mana rasa kantuk, malas, dan kejenuhan tiba-tiba datang tanpa permisi. Para penuntut ilmu sering kali merasakan fenomena ini bukan hanya oleh pelajar biasa, bahkan para ulama sekalipun pernah merasakannya.
Dalam tradisi Islam, kejenuhan dalam menuntut ilmu dipandang bukan sekadar kelemahan biasa, tetapi ujian kesabaran dan manajemen diri. Sebab, kita hanya akan mencapai ilmu yang hakiki dengan perjuangan, kesungguhan, dan pertolongan Allah. Karena itu, seorang Muslim perlu memahami strategi untuk mengatasi rasa jenuh, baik melalui jalan syar’i (bersandar pada tuntunan agama) maupun qadari (berlandaskan pengalaman, akal, dan penelitian ilmiah).
Menyadari Bahwa Jenuh Itu Manusiawi
Pertama-tama, penting untuk menyadari bahwa rasa lelah, jenuh, bahkan malas adalah bagian dari sifat manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa terus berada dalam kondisi fokus tanpa jeda. Nabi Muhammad ﷺ sendiri memberikan teladan bahwa keseimbangan dalam hidup adalah kunci agar seorang hamba tidak terbebani.
Dalam hadis riwayat Muslim (no. 2750), Rasulullah ﷺ menasehati Hanzhalah bahwa manusia memang memiliki kondisi naik-turun dalam semangat ibadah, ada saatnya kuat, ada saatnya lemah. Kesadaran ini penting agar seseorang tidak merasa bersalah secara berlebihan ketika mengalami penurunan semangat. Sebaliknya, ia harus menjadikan momen itu sebagai isyarat untuk beristirahat sejenak, lalu mencari jalan untuk bangkit dan kembali bersemangat menapaki jalan kebaikan.
Sebab Syar’i: Menghadapi Rasa Jenuh dengan Doa
Islam mengajarkan bahwa doa bukan sekadar untaian kata, melainkan senjata spiritual paling kuat yang mampu menembus batas kelemahan manusia. Ketika rasa malas dan jenuh datang, seorang hamba hendaknya kembali merendahkan hati di hadapan Allah, karena hanya Dia yang mampu menyalakan kembali semangat dalam diri.
Al-Qur’an merekam doa agung Nabi Muhammad ﷺ dalam Surah Thaha ayat 114: “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu, dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” Ayat ini mengajarkan bahwa permohonan ilmu bukan sekadar kebutuhan intelektual, tetapi pengakuan penuh bahwa sumber ilmu sejati hanya Allah ﷻ.
Begitu pula doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i, dinilai hasan oleh al-Arnauth). Doa ini menegaskan bahwa ilmu sejati harusny melahirkan keberkahan hidup dan ridho Allah ﷻ, bukan sekadar memenuhi rasa ingin tahu.
Sebaliknya, Nabi ﷺ juga mengajarkan doa perlindungan dari hal-hal yang melemahkan jiwa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722). Doa ini menegaskan bahwa tidak semua ilmu membawa kebaikan, sehingga seorang Muslim harus cerdas meminta agar pengetahuannya mengakar pada akhlak, bukan hanya berputar di akal.
Dari rangkaian doa ini kita belajar bahwa proses menuntut ilmu bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi ibadah yang mensyaratkan keterhubungan langsung dengan Allah. Tanpa pertolongan-Nya, ilmu yang kita pelajari hanya akan menjadi data di kepala, bukan cahaya yang menuntun hati. Dengan doa, seorang penuntut ilmu melibatkan Allah dalam setiap langkahnya, sehingga ia memperoleh ilmu yang melahirkan hikmah, ketenangan jiwa, serta keberkahan dalam amal.
Sebab Qadari: Ikhtiar Nyata Mengatasi Kejenuhan
Selain bersandar pada doa, Islam menekankan pentingnya usaha konkret dalam menghadapi rasa jenuh ketika menuntut ilmu. Islam menginginkan penuntut ilmu aktif mencari jalan keluar dengan langkah-langkah praktis yang terbukti bermanfaat. Kita bisa melakukannya berdasarkan pengalaman ulama terdahulu maupun temuan sains modern. Salah satu cara yang efektif ialah menyalakan kembali motivasi dengan meneladani kisah perjuangan para imam besar. Seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, atau Ibnu Hajar al-Asqalani. Riwayat hidup mereka yang sarat keterbatasan dan rintangan, namun tetap teguh dalam menimba ilmu, dapat menjadi cermin bahwa jalan menuntut ilmu memang selalu ditempuh dengan pengorbanan.
Di sisi lain, tubuh dan pikiran pun memerlukan penyegaran sederhana. Islam sangat menganjurkan menjaga kebersihan dan kesehatan, sementara penelitian modern menunjukkan bahwa tindakan kecil pada tubuh mampu memperbaiki fokus otak secara signifikan. Seperti mencuci muka dengan air dingin, berjalan sebentar menghirup udara segar, atau mengubah posisi duduk.
Selain itu, variasi dalam metode belajar juga berperan besar. Ketika bosan dengan bacaan, seorang penuntut ilmu bisa mendengarkan kajian, menyimak video ilmiah, atau berdiskusi dengan teman. Cara ini tidak hanya mengusir rasa monoton, tetapi juga memperluas sudut pandang terhadap materi yang dipelajari.
Interaksi dengan keluarga pun menjadi kunci penting. Rasulullah ﷺ sendiri memberi teladan dalam menjaga keseimbangan hidup dengan bercengkerama bersama istri, anak, dan cucunya. Dalam psikologi modern, dukungan sosial terbukti mampu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan daya tahan mental. Karenanya, menghabiskan waktu bersama keluarga secara wajar dapat menumbuhkan kembali semangat untuk menuntut ilmu.
Terakhir, Islam memberi ruang bagi hamba-Nya untuk beristirahat dengan cara yang halal. Rekreasi singkat, berjalan di alam terbuka, minum secangkir teh hangat, hingga berlibur sesekali, semuanya bisa menjadi sarana menyegarkan hati dan pikiran, asalkan tidak melalaikan kewajiban utama. Dari sini kita belajar bahwa mengelola kejenuhan bukan berarti menyerah, melainkan menyusun strategi yang bijak agar energi ruhani, fisik, dan intelektual tetap terjaga dalam harmoni.
Menjaga Keseimbangan Jiwa
Banyak orang keliru menafsirkan istirahat seolah-olah ia identik dengan kemalasan tanpa arah. Padahal, dalam pandangan Islam, istirahat justru bernilai ibadah bila melakukannya dengan niat menjaga kekuatan fisik dan kejernihan jiwa. Sehingga kita dapat menjalani aktivitas berikutnya dengan lebih optimal.
Nabi Muhammad ﷺ menegaskan prinsip ini dalam sabdanya: “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari no. 5199).
Hadis ini mengajarkan bahwa kehidupan seorang Muslim harus berlandaskan keseimbangan. Tubuh memerlukan pemulihan, mata butuh istirahat dari kepenatan, dan keluarga berhak memperoleh perhatian serta kasih sayang. Menafikan salah satu dari hak-hak ini justru akan menciptakan ketimpangan, baik pada aspek spiritual maupun sosial.
Karena itu, seorang penuntut ilmu maupun pekerja tidak boleh memaksakan diri hingga titik kelelahan total. Islam tidak menghendaki kita melakukan ibadah atau aktivitas dengan semangat membara sesaat lalu terhenti karena kehabisan tenaga. Sebaliknya, Islam menuntun agar kita menjaga kesinambungan amal melalui ritme yang teratur, dengan menyisipkan jeda untuk beristirahat. Rehat yang proporsional mencegah futur (rasa malas yang berkepanjangan) dan membantu menjaga motivasi tetap stabil.
Dengan demikian, istirahat dalam Islam bukanlah sikap pasif, melainkan bagian dari strategi hidup yang cerdas. Ia menata ulang energi, menenangkan jiwa, dan mengembalikan fokus, sehingga seorang Muslim mampu menghadirkan kualitas terbaik dalam ibadah, menuntut ilmu, maupun pengabdian sosial.
Menuntut Ilmu Adalah Maraton, Bukan Sprint
Menuntut ilmu tidak bisa diperlakukan seperti lomba lari cepat. Ia lebih mirip maraton panjang yang membutuhkan stamina, konsistensi, dan strategi. Ada masa di mana langkah terasa ringan, ada pula masa di mana setiap langkah terasa berat. Namun, siapa pun yang mampu melewati fase kejenuhan dengan sabar, doa, dan ikhtiar, insyaAllah akan sampai pada tujuan mulia: ilmu yang bermanfaat dan keberkahan dalam hidup.
Kejenuhan dalam menuntut ilmu adalah ujian yang wajar. Islam memberikan dua solusi utama yaitu bersandar pada Allah melalui doa dan berusaha secara nyata dengan manajemen diri yang baik. Dengan menggabungkan keduanya, seorang Muslim dapat menjaga semangat menuntut ilmu tetap menyala tanpa mengorbankan keseimbangan hidup. Maka, janganlah putus asa saat jenuh melanda. Mempelajari setiap ilmu dengan sabar adalah investasi abadi yang akan menerangi perjalanan, baik di dunia maupun di akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
